THE INVISIBLE MAN (2020)

5 komentar
Leigh Whannell (Saw, Insidious, Upgrade) membuka filmnya lewat sekuen menegangkan yang nyaris seluruhnya diisi kesunyian ditambah pemakaian tata suara dan hentakan dengan presisi sempurna. Pemandangan serupa takkan kita temukan pada versi 1933-nya, yang menegaskan status modernisasi milik adaptasi teranyar dari novel The Invisible Man karya H. G. Wells ini. Dan sungguh modernisasi yang tepat guna dan memuaskan.

Sekuen pembuka di atas memperlihatkan usaha protagonis kita, Cecilia Kass (Elisabeth Moss), kabur dari kediaman kekasihnya, Adrian Griffin (Oliver Jackson-Cohen). Bukan cuma ilmuwan jenius sekaligus pebisnis sukses di bidang optik, Adrian juga kekasih abusive dan manipulatif. Dibantu sang adik, Emily (Harriet Dyer), Cecilia berhasil melarikan diri, lalu menetap sementara di kediaman kawan lamanya yang juga seorang polisi, James (Aldis Hodge).

Tapi rasa aman tidak serta merta didapat. Kecemasan terus menghinggapi Cecilia. Dia takut melangkah keluar rumah, bahkan khawatir Adrian bakal meretas webcam di laptopnya untuk memata-matai. Respon tersebut wajar dialami Cecilia. Adrian mengatur segalanya, dari cara berpakaian, perkataan, bahkan pikirannya. Sebelum elemen horornya menerjang masuk, naskah Leigh Whannell sudah terlebih dahulu memulai tuturannya mengenai perjuangan seorang perempuan merebut kebebasan dari kontrol figur patriarki.

Dan tidak segampang itu kebebasan diraih. Whannell menunjukkan, bahwa setelah fisiknya terbebas pun, dampaknya masih menguasai psikis si wanita. Bukan cuma di paruh awal saja, sebab keseluruhan The Invisible Man pun secara tersirat juga menyinggung soal kontrol lelaki, bahkan tatkala sosoknya tak kasat mata. Penonton diajak mengutuk Adrian dan mendukung Cecilia, yang mana berhasil. Sampai di satu titik, ketika Adrian dikabarkan mati bunuh diri dan ketenangan mulai didapatkan, saya ingin ketenangan itu berlanjut, dan tidak mempermasalahkan andai filmnya bertransformasi jadi dokumenter tanpa konflik tentang kedamaian hidup Cecilia.

Tentu kedamaian tersebut tak berlangsung lama. Peristiwa-peristiwa aneh mulai menimpa Cecilia, dan ia percaya, Adrian adalah pelakunya. Menurut Cecilia, sang mantan memalsukan kematiannya, lalu memanfaatkan kejeniusannya di bidang optik, menemukan cara guna membuat tubuhnya tembus pandang. Bisa ditebak, semua orang kesulitan mempercayai Cecilia dan mengira mentalnya terganggu. Demikian pula penonton, yang turut dibuat bertanya-tanya, apakah memang sudah kehilangan kewarasannya.

Kemampuan menghadirkan pertanyaan tersebut, salah satunya hadir berkat penampilan Elisabeth Moss, yang dari kegamangan matanya saja, mencerminkan individu dengan masalah psikis. Hanya dari raut mukanya, keraguan akan kebenaran pernyataan Cecilia langsung timbul. Selain itu, bukti-bukti kuat mengenai kematian Adrian juga jadi pembantah keyakinan bahwa ia masih hidup. Bukti-bukti yang berperan membangun misteri alurnya.

Sayang, Whannell tidak pernah menggali misteri tersebut lebih lanjut. Selain berujung meninggalkan setumpuk pertanyaan tanpa jawaban begitu film usai, alurnya sempat mengalami stagnansi, sebatas mengetengahkan teror yang protagonisnya alami. Tapi setidaknya, urusan membangun teror, Whannell yang mengawali karir penyutradaraannya secara solid (walau tak spesial) lewat Insidious: Chapter 3 (2015), mampu membuktikan kapasitasnya tak tertinggal jauh dari sang rekan, James Wan.

Whannell mementahkan anggapan jika teror mustahil dibangun di horor arus utama apabila di mayoritas durasi antagonis tak menampakkan wujudnya. Justru faktor itu jadi kunci utama penyusun ketegangan The Invisible Man, saat kita secara otomatis dibuat memperhatikan gerakan-gerakan kecil di sekitar Cecilia, yang mungkin saja merupakan ulah si pria tak kasat mata. Hasilnya adalah penantian sarat kecemasan.

Intensitas itu agak menurun kala terornya semakin frontal dan melibatkan serangan fisik secara langsung. Meski dibungkus efek spesial mumpuni, ditambah totalitas akting Moss yang membuat pergulatan Cecilia dengan sosok tak terlihat berlangsung meyakinkan, ketegangan atmosferik yang menyelimuti separuh pertama durasi tak pernah kembali. Setidaknya, di paruh kedua, kita sempat menyaksikan lagi kemampuan Whannell mengekskusi aksi beroktan tinggi di lorong rumah sakit, yang sebelumnya ia pamerkan kala menggarap Upgrade (2018).

Selain metode teror, modernisasi juga diterapkan pada satu unsur substansial seputar si pria tak terlihat, yang tak bisa saya jabarkan demi menghindari spoiler. Modernisasi yang sesuai, tidak dipaksakan, juga secara subtil, menyimpan relevansi dengan isu surveillance. Memang beginilah seharusnya. Ketimbang mencanangkan shared cinematic universe sebagaimana rencana Universal dulu, ketepatan modernisasi memang lebih substansial diterapkan kepada monster-monster klasik ini.

5 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

jadi yang sebenernya jahat siapa ya?

Adit mengatakan...

Bisa beri kesimpulah cerita nya bang rasyid, tapi tunggu 2 minggu ajh, takut spoiler, hee

Badminton Battlezone mengatakan...

Teori saya (spoiler):
pelaku sebagai invisible man sedari awal sampai akhir memang Adrian. Buktinya

1. Saat cecil mau menyayat tangan dan mau membunuh bayinya,hanya Adrian yang peduli akan hal itu.

2. Adrian memang mempunyai kemampuan memanipulasi dan mempengaruhi orang lain untuk melakukan seperti yang dia inginkan (Tom dipengaruhi untuk menjadi fake invisible man),sehingga Adrian bisa play victim bahwa dia bukan pelakunya.

3.suara intonasi "suprise" sangat mirip ketika kejadian penembakan di markas polisi. Hal ini juga yang akhirnya meyakinkan Cecil bahwa the real invisible man adalah Adrian,dan dia harus dibunuh.

Rasyidharry mengatakan...

Cukup perhatiin perbedaan cara beraksi si invisible man sebelum & selama di kantor polisi sebenernya udah ketahuan kok ada berapa orang

Visible Man mengatakan...

Udah nonton,lumayan bikin tegang sepanjang film,harus nya ending nya di bikin gantung,biar ada yg mikir itu bunuh diri beneran 😀