REVIEW - THE TRUTH

4 komentar

Hirokazu Kore-eda terkenal atas sensitivitas tinggi, menjadikannya satu dari sedikit sineas yang dapat “menghubungkan” penggemar film arus utama dan arthouse. Bahkan saat untuk pertama kalinya membuat film dengan latar, pemain, kru, serta bahasa di luar Jepang, sensitivitas itu tetap ada—walau jika dibandingkan judul-judul macam Like Father, Like Son atau Shoplifters, The Truth memang termasuk karya minor sang sutradara.

Unik. Itulah kesan pertama yang saya dapat selama menyaksikan The Truth. Bagaimana ini jelas-jelas film Prancis lengkap dengan segala kulturnya, namun punya rasa yang “sangat Kore-eda”, di mana kisah bergerak lambat nyaris sepanjang durasi, untuk kemudian emosinya meletup secara elegan, pada momen yang oleh sutradara lain, jarang dipakai sebagai titik puncak drama. Di sini, Kore-eda lebih sering mengajak penonton menjadi spektator, mengamati peristiwa dari luar, tanpa masuk tepat ke tengah ruang intim karakternya.

Mungkin karena begitulah nature dari filmnya, yang bicara mengenai ambiguitas antara fiksi dan realita, antara kebohongan dan fakta. Bagaimana bisa memasuki ruang intim itu jika kita belum tahu kebenarannya? Profesi protagonisnya sendiri dekat dengan kebohongan. Dialah Fabienne Dangeville (Catherine Deneuve), aktris legendaris Prancis, yang segera menerbitkan otobiografi berjudul The Truth. Tapi benarkah buku tersebut berisi kebenaran?

I’m an actress. I won’t tell the unvarnished truth. It’s far from interesting”, kata Fabienne, sewaktu sang puteri, Lumir (Juliette Binoche), mengonfrontasinya perihal beberapa kebohongan yang ia temukan dalam buku. Salah satunya cerita saat Fabienne menjemput Lumir sepulang sekolah. Sesuatu yang tak pernah terjadi, karena Fabienne, yang berprinsip “I prefer to have been a bad mother, a bad friend and a good actress”, selalu pergi untuk membuat film.

Lumir adalah penulis naskah yang tinggal di Amerika. Suaminya, Hank (Ethan Hawke), merupakan aktor televisi medioker yang sedang berusaha lepas dari alkoholisme dan menyembunyikan fakta dari puteri mereka, Charlotte (Clémentine Grenier), bahwa ia sempat pergi untuk menjalani rehabilitasi. Naskah buatan Kore-eda, yang ditulis dalam Bahasa Jepang sebelum diterjemahkan ke Bahasa Prancis oleh Lea Le Dimna, kemudian memperkenalkan satu demi satu subplot, yang terkoneksi oleh satu gagasan besar berupa pertanyaan terhadap fakta.

Seperti biasa penulisan dialog Kore-eda begitu kaya, pun tidak jarang menggelitik. Dinding bahasa tampak tak memberikan halangan, walau filmnya cukup melelahkan di pertengahan jalan, karena kali ini, sepertinya sang maestro sedikit lepas kontrol, memberikan materi obrolan lebih banyak dari kebutuhan, sehingga sempat terasa stagnan. Tapi siapa tidak tergoda melakukan itu jika filmnya diisi nama-nama terbaik dunia seni peran?

Deneuve dan Binoche merupakan dua figur yang sama-sama mampu menyiratkan sisi terdalam karakter mereka melalui detail terkecil. Dan mengingat sifat filmnya adalah observasional, maka mengamati keduanya menjadi proses yang menarik. Butuh penampil hebat agar penonton bisa ikut merasakan, meski tak (selalu) diajak mengunjungi ruang personal karakternya.

Misalnya sewaktu kita mengunjungi proses produksi film terbaru Fabienne. Judulnya Memories of My Mother, yang di dunia nyata, adalah cerita fiksi-ilmiah pendek karya Ken Liu, yang juga telah diangkat menjadi film pendek berjudul Beautiful Dreamers. Kisahnya mengenai seorang ibu yang diperankan aktris muda bernama Manon (Manon Clavel), yang menderita sakit parah dan hanya punya sisa umur dua tahun. Agar dapat menyaksikan puterinya tumbuh dewasa, Manon tinggal di pesawat luar angkasa untuk memperlambat waktu, dan pulang tiap tujuh tahun sekali. Fabienne memerankan versi tua dari puteri Manon.

Mudah menemukan paralel antara Memories of My Mother dengan dinamika Fabienne-Lumir. Sosok ibu di kedua kisah sama-sama “mengasingkan diri” dari sang puteri. Di sini fiksi dan realita berbenturan. Fabienne seolah harus memerankan Lumir. Bisa jadi ia pun melihat cerminan hubungan mereka, termasuk dirinya sendiri dalam sosok Manon. Ada ego besar dalam hati Fabienne untuk “mengalah kepada filmnya” dan larut ke dalam emosi yang benar-benar ia rasakan.

Kore-eda melukiskan konflik batin itu secara puitis ketika proses reading berlangsung. Manon beranjak dari kursi, kemudian berdiri membelakangi kamera. Bagai tidak mau kalah, Fabienne menghampirinya, berdiri menghadap kamera sambil mengucapkan kalimat dari naskah. Di situ Fabienne kehilangan kendali. Matanya bergetar, bak terkejut melihat akting Manon, yang mungkin merefleksikan apa yang ia rasakan terhadap Lumir. Ekspresi Manon tak diperlihatkan pada penonton (setidaknya sampai beberapa waktu berselang), yang hanya bisa mengamati reaksi Fabienne. Sebab di titik itu, kita sebatas “orang asing” yang mengobservasi respon luar si aktris legendaris. Pemahaman lebih mendalam baru menyusul kemudian.

Beberapa kali Kore-eda mengulangi pendekatan serupa. Membiarkan penonton mengamati dari luar, tapi tetap bisa merasakan dampak emosional. Sensitivitas sang sutradara memang luar biasa, termasuk timing pemakaian musik. Ingat-ingat ini: jika musik mulai terdengar di film-film Kore-eda, bersiaplah merasakan emosi anda diaduk-aduk. Hirokazu Kore-eda tak pernah membiarkan musik terbuang percuma sebagai pernak-pernik belaka.

Jadi, manakah yang merupakan fakta? Bagaimana perasaan antar karakter sesungguhnya? Sebagaimana senyuman Lumir pada Charlotte selepas ia meminta si gadis cilik menyampaikan “kebohongan” pada sang nenek jelang akhir film, Kore-eda tidak pernah memberi jawaban pasti. Karena kebenaran memang tidak sesederhana itu.

4 komentar :

Comment Page:
Aria mengatakan...

Mas kapan nih tenet di review? Udah nunggu bgt

Rasyidharry mengatakan...

Nunggu di bioskop/streaming/bluray

Agus Wirashika mengatakan...

Nonton dimana bang??

Rasyidharry mengatakan...

Udah tayang di bioskop