REVIEW - KEMARIN
Pada 22 Desember 2018, tsunami di Tanjung Lesung menjadi
salah satu tragedi paling memilukan dan mengejutkan sepanjang industri musik
Indonesia. Bencana tersebut menewaskan tiga personel band Seventeen, yakni Herman,
Bani, dan Andi, juga beberapa kru mereka. Ifan sang vokalis, sebagai
satu-satunya anggota yang selamat, turut kehilangan sang istri, Dylan Sahara. Dibuat
oleh Upie Guava yang selama ini dikenal sebagai sutradara video klip, selain
membahas tragedi itu, Kemarin (judulnya diambil dari salah satu single
terakhir Seventeen yang mengisahkan tentang kehilangan orang tercinta untuk
selamanya) membahas pula perjalanan karir band asal Yogyakarta yang dimulai
sejak tahun 1999 itu.
Kemarin menampilkan wawancara bergaya talking head dengan hampir semua pihak
yang pernah bersinggungan dengan Seventeen, dari keluarga korban, para
produser, kru, pengamat musik, Wishnutama, Erix Soekamti, Eross Candra, hingga
Doni dan Yudhi selaku mantan personel Seventeen. Paruh awalnya adalah bagian
terbaik film ini, sebab meski termasuk band senior, perjalanan karir Seventeen
belum terdokumentasikan sebanyak nama-nama legendaris seperti Sheila On7.
Menyebut Kemarin sebagai “informatif” jelas tidak
berlebihan. Saya terhibur mendengar cerita-cerita Doni dan Yudhi mengenai
proses pembentukan band, rivalitas sehat dengan Endank Soekamti sebagaimana
disebut Erix, sampai pujian-pujian musisi serta pengamat terkait karya-karya
Seventeen yang tetap punya ciri kuat walau mengusung genre pop. Kemudian sekitar
tahun 2006, Doni keluar dan digantikan Ifan, di mana album Lelaki Hebat dengan
lagu andalan Selalu Mengalah membawa mereka ke level poplaritas baru.
Dari band yang harus memulai karir mereka dari nol lagi dan iri melihat “handphone
warna-warni para personel Nidji”, mereka berlima jadi musisi yang mampu membuat
puluhan ribu penonton menciptakan paduan suara massal.
Jika anda memasuki usia remaja atau dewasa awal ketika Seventeen
merajai tangga lagu, kemungkinan besar, seperti saya, ada soft spot dalam
hati anda bagi karya mereka, biarpun bukan penggemar musik pop. Kombinasi lirik
pilu dengan aransemen dan suara Ifan yang lebih menghentak ketimbang band-band pop
Melayu yang menguasai industri di masa itu, lagu Seventeen menciptakan nuansa
mengharu biru yang “tidak secengeng itu”.
Punya segudang pengalaman menggarap video klip membuat Upie
Guava piawai menghasilkan gambar-gambar yang memanjakan mata. Stok rekaman dari
kamera Seventeen sejak tahun 2003 yang konon lebih dari 50 jam, melebur apik
dengan momen-momen reka ulangnya. Sementara deretan sekuen tsunami yang juga
dibuat ulang, punya kualitas CGI meyakinkan. Setidaknya, Upie bisa menjadikan
peristiwa itu tampak senyata mungkin melalui pilihan shot-nya.
Sayang, ketika mulai menyentuh tragedi 22 Desember, narasinya
mulai berantakan. Semakin ke belakang, susunan naskah milik Wisnu Surya Pratama
semakin kacau. Keputusan untuk sesekali kembali pada cerita Ifan sewaktu
dirinya terombang-ambing di tengah lautan patut dipertanyakan, karena
penempatannya yang begitu acak. Komposisinya seolah tidak memiliki fokus pasti,
terkait apa saja yang harus dibahas, maupun kapan pembahasan itu dimasukkan.
Alhasil, Kemarin terasa begitu lama meskipun hanya berdurasi 93 menit.
Tentu yang namanya dokumenter bukan berarti cuma menampilkan
realita. Beberapa “rekayasa” perlu dilakukan, termasuk oleh film ini. Tinggal
bagaimana momen itu dikemas sebaik mungkin agar tampil natural. Sayangnya itulah
kekurangan Kemarin. Beberapa adegan terlalu fabricated, contohnya
sewaktu di tengah diskusi, Ifan merasa kesal dan memilih pulang, sambil tetap
mengajak kamera turut serta. Situasi itu sejatinya tidak sebegitu substansial.
Minimal, tidak perlulah ada adegan ketika Ifan meminta waktu sendirian di kamar
untuk bernyanyi, kemudian setelah keluar dari kamar, kamera “diam-diam”
mengintip ke dalam. Daripada heartbreaking, pemandangan itu justru
menggelikan.
Situasi paling menyentuh selalu bersumber dari wawancara kepada keluarga tiga personel dan para kru yang telah tiada. Apa yang kita saksikan di situ adalah rasa sakit nyata. Kehilangan nyata, kesedihan nyata, yang mengembalikan Kemarin ke hakikatnya sebagai persembahan bagi korban dan orang-orang terkasih yang ditinggalkan.
3 komentar :
Comment Page:Ditunggu review arwah tumbal nyainya bang :)
Yg film2 di disney puls kyk denting kematian sm once upon a time in indonesia ngga direview bang ?
Arwah Tumbal Nyai bang.. Bagus kyaknya
Posting Komentar