FIKSI. (2008)
Semua film yang ditulis oleh Joko Anwar walaupun ia tidak menjadi sutradara memang selalu menarik dan menjadi suguhan yang berbeda. Tengok saja Quickie Express yang tidak hanya lucu tapi juga penuh ide-ide brilian dan juga sindiran-sindiran sosial. Ada juga Jakarta Undercover yang saya sendiri belum menonton film itu tapi katanya cukup baik dalam menyoroti kehidupan "bawah tanah" Jakarta lewat pendekatan yang unik. Untuk film karya Mouly Surya ini saya memang sangat terlambat menontonnya. Fiksi. (Ingat, judulnya memakai tanda titik (.) diakhir kata) adalah film yang berhasil menyabet empat penghargaan pada FFI 2008 yakni untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Skenario Asli Terbaik dan Musik Terbaik. Ladya Cheryl sendiri mendapat nominasi Aktris Terbaik juga Donny Alamsyah yang dinominasikan sebagai Aktor Terbaik. Jadi akan dibawa kedunia macam apakah kita oleh Joko Anwar kali ini? Akankah masih berupa dunia yang absurd dan diisi oleh karakter-karakter yang tidak kalah unik?
Kita sedari awal akan diperlihatkan pada sosok Alsya (Ladya Cheryl) yang merupakan anak orang kaya namun tidak merasa bahagia dan hidup dalam kesepian. Hubungannya dengan sang ayah amat buruk dan Alisya terlihat jelas sangat membenci sang ayah. Kebencian itu sendiri tercipta akibat perlakuan sang ayah yang terlalu mengekang Alisya dan membuat Alisya seolah kehilangan kebebasannya. Selain itu sebuah kejadian di masa lalu jugalah yang memancing kebencian Alisya terhadap ayahnya. Kekangan itu juga yang membuat Alisya tumbuh menjadi gadis yang kaku dan pemurung. Hidupnya hanya ditemani oleh koleksi boneka dan cello yang rajin ia mainkan. Sampai suatu hari datanglah Bari (Donny Alamsyah) kedalam hidupnya. Bari datang kerumah Alisya untuk bekerja sementara waktu membersihkan kolam renang. Sampai saat akhirnya Bari tidak datang lagi, Alisya mulai mencari tempat tinggal Bari. Setelah menemukan tempat tinggal Bari yang terletak di sebuah rumah susun, Alisya memilih kabur dari rumah dan tinggal tepat di sebelah kamar Bari dan memperkenalkan dirinya sebagai Mia. Tapi ternyata Bari sudah memiliki gadis idaman yang tinggal bersamanya, yaitu Renta (Kinaryoih).
Bukannya menyingkir, Alisya justru terus masuk dalam kehidupan Bari dan rasa suka yang ia rasakan berubah menjadi obsesi yang makin besar. Disamping itu dia makin dekat dengan Bari yang ternyata adalah seorang penulis yang hingga sekarang belum berhasil menyelesaikan karyanya. Hubungan keduanya pun makin lama makin kompleks, sama kompleksnya dengan keadaan rumah susun sembilan tingkat yang masing-masing tingkatnya diisi oleh kelompok orang yang punya ciri masing-masing. Set lokasi dirumah susun yang tiap lantainya punya problema masing-masing ini memang sudah sangat menarik. Itulah sebabnya saat Alisya mulai pindah kerumah susun film ini mulai berjalan semakin menarik. Pada awalnya film berjalan dengan lambat dan terkesan kaku. Kaku disini saya rasakan muncul dari dialog dan interaksi antar pemainnya khususnya dari dialog-dialog Alisya. Tapi itu bisa dimaklumi karena Alisya digambarkan adalah tokoh yang kaku dan terkekang. Meski mengganggu masih bisa dimaklumi.
Suasana yang ditampilkan dalam Fiksi. akan terasa unik jika kita menyandingkannya dengan film-film Indonesia lainnya. Minim dialog, suasana yang suram dan diiringi musik sederhana namun mengena, begitulah film ini. Dengan minimnya dialog, Fiksi. cukup sering "berbicara" gambar diam namun begitu terasa indah dengan kesuramannya. Fiksi. adalah sebuah film yang mampu bercerita kepada penontonnya dengan begitu baik tanpa perlu menghadirkan banyak dialog. Dialog yang ada berkesan seperlunya tapi efektif, dan percayalah dengan hanya bicara melalui gambar, Fiksi. menjadi salah satu film Indonesia paling menarik yang pernah saya tonton, khususnya setelah film ini berfokus pada kehidupan dirumah susun. Penonton akan dengan mudah merasa betah dalam kisahnya dan tanpa sadar kisahnya sudah berakhir. Tentu saja kisah yang menarik, aspek artistik seperti musik, gambar dan musik yang menarik akan terasa hambar tanpa akting yang baik. Dalam film ini semua pemain utamanya tampil baik, tapi tetap saja Ladya Cheryl adalah yang paling menonjol. Diluar dialognya yang terkesan terlalu kaku bahasanya, gerak tubuh dan tatapan mata yang ia tampilkan begitu meyakinkan sebagai seorang gadis yang psikologisnya terganggu. Semakin lama perubahan dalam dirinya makin terlihat dan bertransformasi dari gadis kesepian menjadi gadis yang punya obsesi tidak sehat. Menjelang akhir lihatlah tatapan matanya, maka akan terpancar kengerian disana.
Kisahnya bisa dengan begitu cerdas menggabungkan antara fiksi dan relita. Bagaimana sebuah cerita fiksi mampu mempengaruhi keadaan dalam realitas kehidupan adalah apa yang terpampang dalam film ini. Fiksi dan realita memang dua hal yang bertolak belakang namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keduanya seringkali berjalan seiringan. Realita akan membentuk fiksi dalam imajinasi manusia, dan fiksi adalah sebuah hal yang berawal dari realita yang dialami manusia. Kedua hal tersebut sama pentingnya untuk ada dalam kehidupan. Namun disaat fiksi mulai mengambil alih dan terlalu jauh mempengaruhi realita hidup seseorang, saat itulah keadaan menjadi tidak baik. Keduanya tetap harus ada namun dalam takaran yang seimbang. Kurang lebih itulah yang dipaparkan oleh film ini menurut saya. Mouly Surya sendiri mampu mengarahkan kisah tersebut dengan baik tanpa terlihat keteteran. Tanpa banyak dialog ceritanya mampu mengalir dengan baik walaupun punya kompleksitas yang lumayan. Dari satu karyanya ini saya justru melihat kemampuan Mouly dalam bercerita masih sedikit lebih baik daripada Joko Anwar yang kadang terasa kurang dalam hal tersebut. Yang jelas kolaborasi keduanya akan sanggup menghasilkan sebuah tontonan berkelas dan hebat.
NOTE: Menyaksikan film ini saya makin yakin akan kualitas dan potensi yang dimilik perfilman nasional dan membuat saya gatal untuk sedikit menuliskan curhatan pendek saya disini. Banyak dari penonton film Indonesia yang selalu mencibir kualitas film lokal kita yang katanya hanya dipenuhi horror esek-esek lah, komedi tidak jelaslah, drama melankolis lebay dan sebagainya. Tapi anehnya justru film-film kacrut macam itulah yang laku dipasaran. Lihat film macam Nenek Gayung, Santet Kuntilanak dan Rumah Bekas Kuburan yang dengan gagah bertengger di 10 besar film Indonesia dengan penonton terbanyak tahun ini. Tapi kemanakah film-film berkualitas macam Modus Anomali atau Lovely Man? Saya sempat melihat Modus Anomali di daftar tersebut beberapa hari sebelum kembali tergeser. Hal itu membuktikan bahwa sebenarnya kualitas film lokal kita yang buruk lebih dikarenakan penontonnya juga yang lebih memilih menonton film sampah daripada yang berkualitas. Sebenarnya ada banyak film lokal kita yang berkualitas hanya saja justru kita sendiri yang menutup mata akan film-film tersebut. Jadi mari kita dukung perfilman Indonesia dengan tidak ragu menonton film lokal berkualitas di bioskop. Masak hanya antrian untuk film Hollywood saja yang panjang tapi saat film lokal berkualitas justru sangat sepi penonton?
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
7 komentar :
Comment Page:setuju sama curhatan mas. sebetulnya perfilman kita itu punya banyak bgt potensi bagus, tapi sayangnya gak semua ngehargai itu. malah film2 gak jelas yang selalu penuh penontonnya =.= padahal akhirnya cuma buat dicibir juga.
sebetulnya gue suka film luar karena segi visual mereka lebih bagus dan terkadang ceritanya juga bagus, dan nganggep film indonesia isinya kampret semua, tapi pas neh film fiksi. gila keren bro ga nyangka masih ada film Indonesia yang keren macam gini.
Sebenernya sangat banyak film-film Indonesia yang berkualitas seperti Fiksi. bahkan beberapa lebih bagus, sayangnya kurang dapat masa penayangan yang layak di bioskop
punya full movienya ngga?
Gan, tolong buatin satu post daftar film film yg berkualitas mulai dari yg jadul sampe yg sekarang
Oke sayang tunggu ya bg
Makasih
Wah, terlalu banyak sih kalau itu Mungkin bisa coba cari di tiap tag-nya :)
Wah jadi inget dulu, pas nonton ini 😊. Keren abis.
Eh, lagu yang dimainin ladya cheryl apa ya? Jadi pengen nyari 😊
Posting Komentar