THIRD STAR (2010)
Melihat setting tempatnya, mungkin Third Star tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah road movie. Namun berbagai unsur yang terkandung dalam sebuah road movie jelas terasa dalam debut penyutradaraan Hattie Dalton ini. Ada kisah perjalanan empat orang sahabat yang dalam perjalanan tersebut perlahan mulai menemukan banyak hal bermakna dalam hidup mereka. Third Star mempunyai karakter utama bernama James (Benedict Cumberbatch) yang tengah merayakan ulang tahunnya yang ke 29. Namun saat itu ia dan kerabat-kerabatnya sadar bahwa itu adalah ulang tahun terakhir James yang memang sudah terkena penyakit kanker yang parah dan divonis akan meninggal tidak lama lagi. Untuk itu James meminta untuk ditemani pergi ke pantai Barafundle Bay yang merupakan tempat favoritnya. Dalam perjalanan kesana James ditemani oleh tiga orang temannya, yakni Davy (Tom Burke) yang merupakan teman setianya dan dipercaya untuk menjaga James oleh keluarganya, Bill (Adam Robertson) dan Miles (J. J. Feild) yang sudah cukup lama menghilang dari kehidupan James. Mereka bertiga membantu James yang harus menaiki sebuah troli/kereta khusus karena kesulitan berjalan melewati hutan hingga lereng curam untuk sampai di tempat tujuan. Namun ternyata tidak hanya rintangan dari alam yang menghambat perjalanan mereka, karena konflik satu sama lain perlahan mulai terjadi dan berbagai rahasia pun mulai terungkap.
Tentu saja dalam sebuah road movie atau film apapun yang menyoroti perjalanan yang dilakukan oleh karakternya kita tidak mungkin mengharapkan sebuah perjalanan yang lancar. Pastinya akan terjadi berbagai konflik, rintangan atau hal tidak terduga lainnya yang pada akhirnya justru memberikan pelajaran berharga pada setiap karakternya, begitu juga yang terjadi dalam Third Star. Keempat sahabat ini perlahan mulai menemui konflik baik itu yang terjadi akibat adanya kejadian tak terduga semisal kecelakaan atau barang yang hilang hingga konflik antar personal yang seringkali memecah belah mereka. Konflik tersebut justru merupakan daya tarik film-film bertipe seperti ini, dan pada akhirnya konklusinya akan memberikan sebuah pelajaran berharga tidak hanya bagi karakter dalam film itu namun juga pada penonton. Masalahnya, dalam Third Star konflik yang terjadi terlalu penuh dan kemunculannya sering tidak dalam timing yang pas. Setelah berjalan lambat tanpa konflik diawal, memasuki pertengahan kita mulai dijejali oleh satu persatu konflik yang muncul saling bergantian. Awalnya terasa menarik, namun setelah jumlahnya makin banyak saya terasa lelah. Apalagi sebenarnya semua konflik tersebut punya makna tersirat yang sama, sehingga perlahan saya mulai dibuat bosan dengan hal itu. Siapa sih yang tidak bosan diperlihatkan adegan orang saling bertengkar secara terus menerus?
Diluar konflik yang terlalu padat, Third Star sebenarnya punya makna yang cukup mendalam meski bisa dibilang klise karena sudah cukup sering diangkat dalam film serupa. Third Star adalah kisah tentang orang-orang bermasalah yang secara tidak sadar mulai merasa dirinya adalah orang paling sial di dunia sebelum akhirnya sadar bahwa masing-masing dari mereka juga punya permasalahan yang tidak bisa dibilang ringan. Film ini coba menanggapi berbagai permasalahan hidup tersebut dengan santai bahkan terkadang diselipi humor. Hal ini bukan tanpa maksud atau sekedar hanya untuk membuat suasana ringan, namun untuk menggambarkan bahwa kita harus menyikapi permasalahan dengan positif. Bahkan untuk menggambarkan hal tersebut film ini sering menggambarkan sebuah konflik entah itu pertengkaran ataupun sampai perkelahian namun dibalut dengan canda tawa karakternya. Namun lagi-lagi hal tersebut terlalu sering diulang penampilannya, hingga semakin lama semakin terasa membosankan. Untungnya ada penampilan keempat pemain utamanya yang cukup bagus dan sanggup memperlihatkan chemistry yang kuat satu sama lain.
Diluar ceritanya yang sebenarnya termasuk klise dan predictable, diluar dugaan ternyata Third Star punya sebuah ending yang cukup mengejutkan bahkan mungkin agak kontroversial dan bisa memecah penonton menjadi dua kubu. Saya sendiri merasa bahwa ending film ini bisa menjadi poin positif sekaligus negatif pada keseluruhan filmnya. Poin positifnya adalah pendekatan yang dilakukan untuk memberikan konklusi cukup berbeda dan mengejutkan. Sedangkan poin negatifnya adalah saya sedikit merasakan adanya pemaknaan yang bagi saya pribadi kurang tepat berkaitan dengan pesan yang dibawa oleh bagian ending bahkan keseluruhan filmnya. Jika sedari awal kita diperlihatkan tentang bagaimana seseorang tidak seharusnya menyerah pada keadaan, maka ending dalam film ini bagi saya lebih terasa sebagai menyerah pada keadaan daripada keberanian yang diambil oleh seseorang. Pada akhirnya meskipun menyukai tone yang dibawa oleh ending-nya, saya tidak menyukai fakta bahwa sosok James akhirnya tidak terlihat sebagai seseorang pantang menyerah yang tidak ingin hidupnya berlalu tanpa arti tapi lebih kepada seseorang yang menyerah padahal semuanya belum benar-benar berakhir. Siapa yang tahu akan datangnya keajaiban?
Secara keseluruhan Third Star jelas bukan film yang buruk bahkan penuh makna, sayang eksekusinya terlalu monoton dan sering terjadi pengulangan yang membosankan. Saya tidak merasakan adanya koneksi emosional dengan cerita ataupun karakternya yang berarti sama saja dengan disaat saya tidak merasa takut kala menonton film horor. Akting Benedict Cumberbatch bagus hanya saja saya tidak bersimpati sedikit pun pada karakter James yang ia perankan, khususnya akibat apa yang ia lakukan di akhir film.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:(Terharu loh aku film ini ternyata dibuat reviewnya :'3 walaupun untuk kedua kalinya film favourite ku dikasih bintang rendah *mencibir*)
Iya diawalnya emang ngga banyak konflik sih dan konflik ditengahnya justru padet, tapinya kalo mulai dari depan udah dijejelin konflik malah jadi berat banget, film ini memberi waktu buat penontonnya bernapas dulu dan ngeliat jenis pertemanan mereka (kalo dalam kasusku waktu buat bernapas setelah nangis sesenggukan begitu sadar bahwa ini adalah film Cumberbatch yang bertema kematian).
Konflik yang tengah memang terkesan padet karena si Vaughan Sivell maunya mereka semua punya masalah untuk dikupas sedangkan durasi filmnya sendiri cuma err 90 menitan, menurutku kalo mau di lowongkan sedikit aja jadinya malah kelamaan dan justru bikin bosen. Masalah yang diangkat juga beda-beda dan yang paling keren sih masalahnya James-Miles yang akhirnya diungkapkan Miles menjelang ending film.
Untuk masalah endingnya sejujurnya aku setuju sih kalo kurang wise keputusannya untuk 'eutanasia', tapi bukan berarti dia ngga berani atau coward. Justru kalo dia sebatas orang yang coward dia bakalan minta mati dengan cara minum obat. Jauh lebih gampang, tapi dia mau fight kesakitannya sampe lungsnya dia dipenuhi air laut. (Ah, duck jadi pengen nangis)
Ini koneksi emosionalnya mungkin ga ada karena mas Rasyid yang dingin. Aku 88 menit film + 10 menit afterwardnya juga masih nangis, apalagi dengerin lagu soundtracknya. Oh, iya perlu nih di kasih tepuk tangan tau sisi viewnya. Indah banget dan bagus pengambilan gambarnya, padahal low budget movie (nyambung ga sih? Nyambung kan?).
Kesimpulannya, menurutku film ini sangat perfect. Aku bakal kasih 10 bintang dari 5. Tapi yah, balik lagi ke fakta bahwa aku emang seorang Cumberbitch jadi komentarku mengenai film-filmnya Benedict Cumberbatch are extremely bias. Terima kasih sudah membuat review film ini. Akhirnya bisa baca review orang yang liat film ini dari pandangan non-Cumberbatch fans. :3
Sehati kita,, sesama cumberbicthess kalau ada film atau projek dr Benedict mah nilainya selalu 10/10 haha
Btw thanks for review
Posting Komentar