THE ACT OF KILLING (2012)

2 komentar
Salah satu momen paling kelam dalam sejarah bangsa Indonesia adalah peristiwa G30S/PKI yang terjadi pada tahun 1965. Menurut kisah dan pelajaran sejarah yang diceritakan secara turun temurun, pada saat itu Partai Komunis Indonesia berusaha melakukan kudeta dengan cara membantai Jenderal-jenderal TNI untuk kemudian jenazah mereka dibuang di lubang buaya. Berdasarkan cerita sejarah pula kemudian Jenderal Soeharto memimpin penumpasan PKI yang pada akhirnya berujung pada jatuhnya Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Sohearto pun dijadikan pahlawan dan era orde baru melahirkan berbagai macam doktrin yang pada intinya menjadikan PKI sebagai musuh bangsa yang harus ditumpas. Salah satu propaganda yang muncul adalah film G30S/PKI garapan Arifin C.Noer yang pada masa orde baru adalah film wajib putar setiap tahunnya. Namun kebenaran akan berbagai kisah sejarah tersebut hingga kini masih dipertanyakan. Banyak yang menganggap bahwa masih ada begitu banyak rahasia yang tidak diungkapkan kepada publik, termasuk apa yang akan disajikan oleh sutradara Joshua Oppenheimer dalam The Act of Killing atau yang mempunyai judul Indonesia Jagal ini. Saya yakin selain saya ada banyak orang Indonesia yang tidak tahu bahwa proses penumpasan PKI yang terjadi pada 1965-1966 juga melibatkan pembantaian yang tidak kalah kejam dengan yang dilakukan PKI itu sendiri.

Kita akan diajak berkenalan dengan sosok Anwar Congo, seorang pria tua berusia 70-an tahun yang tinggal di Medan. Di masa mudanya dulu, Anwar adalah seorang preman bioksop yang mengambil keuntungan sebagai tukang catut tiket bioskop, sampai kemudian terjadilah pemberontakan 30 September tersebut. Untuk melakukan penumpasan, ternyata bukan kekuatan TNI dan kepolisian yang dipakai melainkan gabungan para preman yang dengan cepat membantai orang-orang yang diyakini sebagai antek PKI. Anwar sendiri pada masa itu bisa membunuh hingga ribuan orang. Dalam The Act of Killing kita akan diajak bernapak tilas bersama Anwar Congo melihat kembali bagaimana dulu ia dan teman-temannya sesama preman melakukan pembunuhan. terhadap anggota PKI. Segala aspek yang ada dijelaskan dengan mendetail oleh Anwar termasuk bagaimana caranya melakukan pembunuhan. Sebuah pemandangan mencengangkan sekaligus mengerikan saat film ini memperlihatkan bagaimana Anwar yang sudah lanjut usia ini melakukan reka ulang metode membunuh yang ia lakukan dengan sangat santai bahkan dihiasi senyum di mulutnya serta diiringi tarian yang dulu ia lakukan dibawah pengaruh alkohol dan marijuana.

Cerita yang disajikan dalam dokumenter ini memang mengejutkan, tapi dibalik itu apa yang tersaji dari para narasumbernya termasuk Anwar Congo terasa jauh lebih mengejutkan serta terasa disturbing. Tidak hanya mereka ulang berbagai metode membunuh secara detail, tapi mereka juga mengungkapkan pembantaian yang mereka lakukan dengan penuh kebanggan selayaknya pahlawan bangsa. Tidak ada momen berdarah-darah yang kelewat mengerikan disini, tapi berbagai kalimat yang dilontarkan oleh narasumbernya sudah terasa begitu mengerikan. Bagaimana Anwar Congo menggambarkan ia menebas kepala seorang PKI hingga putus dan matanya masih terbuka, sampai pengakuan seorang anggota Pemuda Pancasila yang dengan santainya bercerita bagaimana ia memperkosa anak perempuan berusia 14 tahun yang disinyalir sebagai Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia, sebuah organisasi wanita yang ditengarai terlibat dalam G30S/PKI). Dalam dunia film, kata-kata bahkan tindakan seperti itu jelas biasa, tapi masalahnya yang tertuang dalam film ini adalah kenyataan yang diucapkan langsung oleh para pelakunya...dan mereka bangga akan hal tersebut.

The Act of Killing juga tidak hanya mengeksplorasi sosok Anwar Congo, karena orang-orang disekitarnya termasuk organisasi Pemuda Pancasila yang juga berperan besar dalam pembantaian PKI turut dijadikan bahan sorotan. Sama seperti Congo dan rekan-rekan preman bioskopnya, mereka dalam Pemuda Pancasila termasuk para petingginya terlihat begitu bangga akan apa yang telah mereka lakukan dalam upaya menyelamatkan bangsa ini. Saya sendiri hanya dibuat terdiam saat para petingginya saling bertukar kalimat seenak jidat tentang berbagai hal seputar pembantaian PKI sampai kalimat-kalimat tidak sopan mengenai wanita dan hal berbau seksualitas. Keterlibatan organisasi paramiliter serta preman-preman (atau yang disebut berasal dari kata free man) dalam catatan sejarah ini juga menimbulkan cukup banyak perenungan. Satu yang paling kental adalah munculnya pertanyaan mengenai siapa yang lebih kejam, apakah PKI atau Anwar Congo dan rekan-rekannya? Tentu saja saya tidak mempunyai hak untuk menilainya, namun satu hal yang pasti bahwa sebuah langkah ekstrim yang bahkan mengharuskan menghilangkan nyawa banyak orang terkadang perlu dilakukan untuk meraih sesuatu yang lebih besar. Seperti yang disampaikan oleh salah seorang teman Anwar Congo bahwa kebenaran itu sifatnya relatif bukan?
Tidak lupa film ini akan mengajak kita menelusuri secara lebih jauh mengenai pergolakan batin yang dirasakan oleh para pelaku pembantian tersebut khususnya Anwar Congo. Memang betul ia bangga dengan segala kontribusinya bagi bangsa ini, namun jauh di dalam hatinya Anwar Congo juga merasakan penyesalan serta ketakutan yang luar biasa akibat dosa masa lalu tersebut. Sebuah ketakutan yang membuatnya terus bermimpi buruk hingga di usia tua sekarang ini. Aspek inilah yang pada akhirnya sanggup membuat saya tidak dengan mudah menyalahkan salah satu pihak dimana meski perbuatan Anwar Congo terasa begitu kejam namun ia melakukan itu semua memang karena paksaan kondisi dan harus diakui perbuatannya itu berperan besar bagi perkembangan Indonesia sekarang. Bahkan sebuah adegan yang menampilkan Anwar Congo menyesali perbuatannya sanggup membuat saya meneteskan air mata. Sebuah air mata yang semakin membuat saya yakin bahwa apa yang disebut kebenaran merupakan hal yang sifatnya relaitf.

Penggarapan dari Joshua Oppenheimer juga memegang kunci penting dalam kehebatan The Act of Killing bertutur. Saya sendiri menonton versi director's cut yang berdurasi 159 menit (versi yang dirilis luas hanya berdurasi 115 menit). Kemudian dalam durasi lebih dari dua setengah jam tersebut, Joshua sanggup mengaburkan batasan antara sebuah dokumenter dan narasi fiksi dengan begitu baik yang membuat saya tetap betah menikmati apa yang ia sajikan. Adegan yang bergantian antara interview dengan reka ulang yang terasa surreal bahkan beberapa diantaranya dihiasi sinematografi menawan memang menjadi salah satu daya tarik utama film ini. Nuansa surreal yang timbul tidak lain karena sebuah "trik" dari Joshua yang ia lakukan suapaya membuat para narasumber bersedia bermain dalam film ini. Trik apa yang saya maksud bisa anda cari di berbagai artikel di internet yang pada akhirnya menciptakan kontroversi besar yang berujung pada dilarangnya Joshua untuk membuat film di Indonesia lagi. Namun bagi saya, trik dari Joshua malah berujung pada sebuah dokumenter yang blak-blakan dan dikemas secara unik dan indah. Presentasi macam ini tidak akan ditemui dalam dokumenter konvensional yang digarap dengan cara yang biasa pula.

The Act of Killing jelas sebuah sajian yang mengerikan dan provokatif serta rawan kontroversi. Namun diluar benar atau tidaknya tuduhan penipuan yang dilakukan Joshua saya tetap merasa patut memuji dan berterima kasih padanya, karena berkat Joshua saya menjadi mengetahui satu lagi sejarah kelam bangsa ini yang ditutup-tutupi lewat doktrinasi luar biasa. Memang benar bahwa sejarah yang tercatat merupakan sesuatu yang diinginkan diketahui oleh para penguasa, sedangkan kenyataan yang sesungguhnya mungkin terkubur jauh dan mulai terlupakan seiring dengan waktu. The Act of Killing adalah sebuah dokumenter yang benar-benar memberikan begitu banyak pengetahuan baru yang penting bagi saya dan dirangkum dengan begitu mengerikan namun disisi lain juga terasa indah beberapa kali menampilkan adegan lucu yang mampu memancing tawa (ya, tawa yang muncul dalam sebuah film kejam mengenai pembantaian massal) dan juga menyentuh lewat eksplorasi dalamnya mengenai rasa bersalah seorang manusia. Saya sendiri masih terngiang adegan dibawah air terjun yang diiringi oleh lagu Born Free, sangat indah!

2 komentar :

Comment Page:
panjoelzz mengatakan...

Adakah link downloadnya..?

Beny Kristia mengatakan...

http://www.actofkilling.com/ langsung download situsnya saja, gratis :)