DUKUN (2018)
Rasyidharry
Agustus 12, 2018
Adlin Aman Ramlie
,
Bagus
,
Bront Palarae
,
Chew Kin Wah
,
Dain Said
,
Faizal Hussein
,
horror
,
Huzir Sulaiman
,
Malaysian Movie
,
Nam Ron
,
REVIEW
,
Thriller
,
Umie Aida
5 komentar
Di tengah persidangan, Karim (Faizal
Hussein) selaku pengacara, bertanya, “Siapa di sini percaya ilmu hitam?”.
Hampir semua peserta sidang mengangkat tangan. Sebagaimana kita, perihal mistis
memang lekat dengan kehidupan masyarakat Malaysia. Beberapa menyebutnya
kepandiran dalam era modern, tapi saya melihatnya sebagai aspek kultural unik yang
mempunyai fungsi. Seperti saat Dain Said (Bunohan:
Return to Murder, Interchange) menjadikan Dukun karya “eksklusif” yang takkan bisa direplika sineas negeri
Barat sehebat apa pun. Aspek supranatural bukan jadi alat penghasil teror saja,
melainkan bagian penting narasi, pula bagian kehidupan karakternya.
Dukun sendiri terinspirasi dari kasus nyata pembunuhan Mona
Fandey, dukun sekaligus mantan penyanyi yang membunuh kemudian memutilasi tubuh
salah satu kliennya, politikus Mazlan Idri, menjadi 18 bagian pada 1993 selaku
bagian ritual. Selepas proses persidangan yang menarik animo seantero negeri,
Mona dihukum gantung tahun 2001. Keterlibatan nama-nama besar serta konten
kontroversial tersebut membuat Dukun
terhalang perilisannya yang awalnya dijadwalkan pada 2007. Setelah 11 tahun
tanpa kejelasan, Dukun akhirnya
tayang.
Skenario buatan Huzir Sulaiman
sejatinya hanya mengadaptasi lepas, walau beberapa unsur jelas masih serupa.
Pilihan itu akhirnya membuka jalan kisahnya mencampurkan elemen tiga genre:
investigasi kasus pembunuhan, thriller
ruang persidangan, dan horor supranatural. Menariknya, elemen yang disebut
terakhir justru porsinya paling minim, meski nuansa supranatural kental
menyelimuti tiap sisi cerita, sehingga membuat tiap cabang alur tetap saling
terikat.
Nama Mona Fandey diganti Diana
Dahlan (Umie Aida). Jauh berbeda? Tidak saat anda tahu jika album debut Mona
dahulu mengusung judul Diana I. Sejak
awal kita bertemu Diana, ia telah mendekam di penjara pasca menghabisi sang
klien, Datuk Jefri (Adlin Aman Ramlie), dengan tenang menanti dakwaan, sembari
selalu menolak jasa pengacara. Sampai pengacara ke-24, Karim, menawarkan diri demi
memperoleh informasi soal puterinya yang hilang. Kali ini Diana beredia. Di
tempat lain, Talib (Nam Ron) dan bawahannya, Shah (Bront Palarae) dari
kepolisian, sedang menyelidiki kasus tersebut lalu menemukan setumpuk rahasia
kelam nan mengerikan.
Perlahan ketiga cabang itu bertemu,
memuncak di suatu twist seputar hubungan
terselubung antar-karakter yang terasa beralasan juga masuk akal, berbeda
dengan kebanyakan film yang cuma mengandalkan kebetulan dipaksakan. Satu lagi
bukti solidnya penulisan Huzir Sulaiman, meski di banyak kesempatan, selipan
adegan-adegan pendek yang muncul sambil lalu, menyebabkan aliran alur kurang
nyaman diikuti.
Besar kemungkinan anda takkan
menganggap Dukun sebuah horor
menyeramkan, walau melihat dari penyutradaraan Dain Said, itu memang pilihan.
Dia enggan berusaha keras menakut-nakuti penonton lewat unsur supranatural,
namun melukiskannya sebagai pemandangan tidak wajar. Seram atau tidak urusan
belakangan. Ketika Diana melakukan ritual di sel misalnya, yang jadi wahana
Dain Said bermain-main memanfaatkan ruang gelap gulita untuk mengkreasi trik
visual. It’s scary for some but not for
the others. But I think we can agree that it feels unnatural.
Babak persidangan adalah fase
terbaik Dukun. Satu per satu saksi
hadir, tiap keterangan divisualisasikan, menggiring kita menuju reka ulang
peristiwa yang menjelaskan kengerian dalam ruang praktek Diana. Semakin banyak
protagonisnya belajar tentang kasus itu dari para saksi, semakin kita memahami
latar belakang kisanya. Di situ terjadi “pertarungan” Karim melawan jaksa penutut (Chew Kin Wah).
Jaksa bersikukuh Diana bersalah, sebaliknya, Karim menyanggah. Argumen mereka
berdasar, saya pun tertarik mempertimbangkan versi kebenaran masing-masing,
termasuk Karim, di mana kematian Datuk Jefri hanya kecelakaan. Setidaknya
hingga kasus digali lebih jauh.
Bagi drama ruang sidang, kemampuan
memprovokasi penonton, menghadirkan dilema mengenai dua perspektif berlawanan
yang diperdebatkan dalam konfliknya, merupakan wujud kesuksesan. Tapi sulit
menyangkal argumen bahwa kesuksesan terbesar film ini adalah penampilan Umie
Aida. Terlihat mengerikan, mematikan, dengan senyum yang menolak memudar walau
berada di persidangan yang mempertaruhkan nyawanya. Pun dia tambahkan
sensualitas melalui gestur kecil seperti memilin rambut atau gerakan kepala
yang menyiratkan kontrol penuh sarat kepercayaan diri atas segala situasi.
“Aku tidak akan mati”. Demikian
kalimat terakhir Mona Fandey sebelum lehernya dijerat tali gantungan. Walau tak
dimasukkan di film, namun baik di atas atau di balik layar, kalimat itu terus
menggema. Terkait narasi, Dain Said cerdik menggunakannya guna menyusun konklusi
supranatural yang sepenuhnya baru, tidak terikat kejadian nyatanya. Sementara
di balik layar, seiring kontroversi yang membanjiri filmnya, Mona takkan mati.
Namanya, riwayatnya, selalu hidup dalam ingatan publik sebagai bomoh (dukun) penebar teror berdarah.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Nonton dimana nih mas? Penasaran jugaa
Bagus mana sama munafik?
@Andi Udah tayang di bioskop (non-XXI) dari hari Rabu. Tapi terbatas emang, nggak di semua kota.
@jefry Beda treatment. Munafik murni horor tradisional, Dukun campur-campur genre, fokus bukan di horor.
Nonton dimana bang? Di cgv sama xxi kok ga ada ya
@Rahmad Emang cuma di CGV & Cinemaxx. Tapi Cinemaxx ternyata terakhir Minggu, karena sepi ilang. CGV masih ada di beberapa spot, tapi kalau Jakarta nggak ada.
Posting Komentar