SHUTTER (2004)

3 komentar
Shutter adalah debut penyutradaraan dari Banjong Pisanthanakun yang kini telah dikenal sebagai salah satu sutradara terbaik Thailand khususnya untuk genre horor. Film ini sendiri sempat di-remake oleh Hollywood pada tahun 2008 dengan hasil akhir yang sudah bisa diduga, yakni pendapatan lumayan namun dicerca habis-habisan oleh para kritikus. Film aslinya sendiri cukup mendapat kesuksesan dengan menjadi film terlaris kelima di Thailand pada 2004 dan berhasil berprestasi di sejumlah festival film internasional termasuk Bangkok International Film Festival. Dari judulnya pun para calon penonton sudah bisa menebak bahwa film ini akan menjadikan kamera sebagai fokus ceritanya. Kisahnya dibuka dengan perkenalan kita pada dua karakter utamanya yakni Tun (Ananda Everingham) yang berprofesi sebagai fotografer dan kekasihnya, Jane (Natthaweeranuch Thongmee). Keduanya sedang dalam perjalanan pulang dari pesta bersama sahabat-sahabat lama Tun. Di tengah jalan mobil yang mereka kendarai menabrak seorang wanita yang tengah menyeberang jalan. Merasa takut sudah membunuh wanita tersebut Tun menyuruh Jane untuk tancap gas dan pergi dari lokasi kejadian meninggalkan sang wanita tergeletak berlumuran darah di tengah jalan.

Selanjutnya mudah untuk ditebak. Tun dan Jane masih terjebak dalam rasa bersalah mereka atas kecelakaan tersebut. Namun semenjak kecelakaan tersebut kejadian-kejadian aneh mulai terjadi di sekitar mereka, dan kamera milik Tun mulai menangkap gambar-gambar aneh dimana salah satunya sekilas seperti penampkan sesosok wanita yang menyeramkan. Apa yang saya harapkan dari tipikal film horor seperti ini adalah suasana mencekam, penampakan hantu yang efektif sekaligus mengerikan sekaligus penelusurhan misteri yang membuat ceritanya menjadi pemanis yang menyenangkan. Formula horor yang disajikan oleh Banjong Pisanthanakun tidaklah jauh berbeda dengan kebanyakan film-film horor yang menjadikan hantu sebagai penebar teror utamanya. Bedanya dalam Shutter kamera punya peranan penting tidak hanya dalam ceritanya tapi juga sebagai salah satu cara memberikan efek horor. Mungkin anda masih banyak yang ingat beberapa tahun lalu saat fenomena foto penampakan hantu termasuk yang dipajang di situs primbon menjadi "primadona" bagi para pengguna internet. Dalam film ini akan muncul banyak foto serupa bahkan banyak diantaranya adalah foto "nyata" yang memang sudah menjadi fenomena di dunia maya.

Harus diakui hal itu terasa menarik tapi masih kurang untuk menebar kengerian di zaman sekarang. Untuk 9 tahun lalu saat Shutter dirilis mungkin metode ini terasa mengerikan karena saat itu fenomena foto hantu memang sedang menjadi tren. Namun saat menonton Shutter di tahun 2013 saat teknologi photoshop sudah semakin maju dan merakyat apa yang disajikan tidaklah terasa mengerikan dan bukan lagi sebuah pop culture yang menarik dan relevan saat ini. Shutter semakin terasa kurang menggigit karena teknik menakut-nakuti yang dipakai oleh Banjong Pisanthanakun juga sudah terasa usang saat ini. Menggunakan jump scare "sopan" yang momen kemunculannya sudah terprediksi membuat Shutter tidaklah terasa terlalu mengerikan. Satu atau dua kali memang saya sempatd dikagetkan tapi hanya sebatas itu tanpa membuat saya ingin untuk memalingkan wajah sejenak dari layar karena ketakutan. Pada masa dimana banyak penonton sudah diperkenalkan dengan teknik jump scare ala James Wan yang lebih "brutal" dan gila, apa yang disajikan Banjong Pisanthanakun terasa terlalu lembut dan kurang mengerikan. Atmosfer yang dibangun sebernarnya sudah cukup baik, opening-nya yang didominasi warna merah dan musik mencekam juga terasa menjanjikan sayang teknik Bajong untuk menakut-nakuti akhirnya terasa kurang menggigit.
Sebenarnya film ini punya potensi juga dari misteri yang terkandung dalam ceritanya. Tapi sayangnya Banjong nampak tidak menjadikan misteri itu sebagai fokus khususnya di awal hingga menjelang akhir. Praktis paruh awal sampai akhir hanya diisi dengan momen jump scare yang muncul secara bergantian namun tidak pernah berhasil benar-benar terasa mengerikan. Barulah saat film melewati pertengahan misterinya mulai menjadi fokus dan saat itu saya sudah terlanjur kurang antusias lagi. Apalagi pada akhirnya bagaimana investigasi terhadap misterinya tidak mampu disajikan dengan menarik dan tidak mampu membuat rasa ingin tahu saya muncul. Belum lagi beberapa twist yang coba dihadirkan terasa sangat predictable dari awal misterinya disajikan. Jadilah pada akhirnya saya tidak lagi terlalu bersemangat menunggu misterinya terungkap secara lengkap.

Secara keseluruhan Shutter bukanlah film horor yang buruk hanya saja baik dari teknik menyajikan terornya sampai konten pop culture yang diselipkan sudah tidak lagi relevan dan menarik untuk ditonton saat ini. Beberapa potensinya juga kurang berhasil dimaksimalkan termasuk atmosfer serta lokasinya yang sebenarnya sudah cukup mendukung. Bayangkan sebuah horor terjadi di kamar merah yang tanpa ada hantu pun sudah terasa mencekam. Jika anda ingin mendapatkan kesan yang lebih dari film ini mungkin coba menontonnya di tengah malam sendirian dengan lampu padam, setidaknya efek kejut dan atmosfernya akan bekerja secara jauh lebih efektif. Film apapun termasuk horor yang bagus adalah yang tidak lekang oleh waktu, dan sayangnya potensi Shutter banyak terkikis karena waktu dan perkembangan zaman.

3 komentar :

Comment Page:
blackrockerz mengatakan...

salah satu film horror terbaik yg pernah gue tonton, film ini ga bosan d tonton walau berulang2, EPIC!!

Unknown mengatakan...

BACOT KONTOL, BLOG GAK JELAS BABI ANAK HARAM

Anonim mengatakan...

Sangat menshutterkan