COMIC 8 (2014)
Semenjak pertama kali melihat trailer film garapan Anggy Umbara ini saya langsung tertarik. Dengan konsep cerita yang mengusung perampokan bank, jajaran pemainnya yang terdiri dari para comic (stand-up komedian), sampai materi trailer yang begitu lucu berhasi membuat saya memasukkan Comic 8 dalam daftar film Indonesia wajib tonton tahun ini. Lucu. Satu kata itulah yang saya rasakan setelah menonton trailer film ini. Selain para comic, film inipun diisi oleh begitu banyak nama besar sebut saja Nirina Zubir, Nikita Mirzani, Pandji, Candil, Agus Kuncoro, Coboy Junior, Indro Warkop dan masih banyak lagi. Saat saya menyebut masih banyak lagi faktanya memang masih sangat banyak daftar nama-nama terkenal yang mengisi jajaran cast dari Comic 8. Dengan konsep cerita mengenai perampokan bank yang masih sangat jarang diangkat oleh perfilman lokal, saya pun mempunyai ekspektasi tinggi terhadap film ini. Saya berharap mendapat suguhan yang unik dan tentunya lucu. Ini film komedi jadi mau bagaimana ceritanya, akting pemainnya, saya tetap menaruh harapan pada kelucuan materi komedinya. Dan dengan diisi oleh para comic harapan saya pun semakin meninggi terhadap film ini.
Seperti yang sudah saya katakan, film ini berkisah tentang perampokan sebuah bank, tepatnya Bank INI (yup, itu naa bank-nya). Ada tiga orang perampok amatiran, Babe (Babe Cabiita), Bintang (Bintang Timur) dan Fico (Fico Fachriza) yang dengan modal rencana serta kemampuan seadanya ingin memperbaiki hidup mereka dengan merampok bank. Namun sebelum rencana itu dieksekusi, tiga orang perampok yang "lebih profesional" sudah terlebih dahulu melancarkan aksi mereka. Ketiga perampok itu adalah Ernest (Ernest Prakasa), Kemal (Kemal Palevi) dan Arie (Arie Kriting) yang datang dengan bersenjatakan senapan serta rencana yang lebih matang. Tentu saja kekacauan terjadi saat dua kelompok perampok tersebut berusaha merampok bank yang sama. Kekacauan semakin bertambah parah dengan kemunculan Mongol (Mongol Stres) dan Mudy (Mudy Taylor) yang dengan segala penampilan serta kepribadian mereka yang aneh juga berusaha merampok bank tersebut. Dari sinilah semua konfik dimulai disaat mereka masing-masing coba melancarkan aksi mereka dan akhirnya justru saling membantu untuk kabur dari kepungan polisi.
Dalam menantikan Comic 8 ada dua pantangan yang saya langgar. Yang pertama adalah jangan menonton trailer karena akan ada banyak spoiler yang berpotensi muncul jika trailer tersebut tidak dibuat dengan "bijak". Yang kedua adalah jangan berekspektasi terlalu tinggi, karena makin tinggi ekspektasi maka film tersebut harus semakin bagus pula untuk bisa memuaskan saya. Dan pada akhirnya kedua hal itulah yang menjadi faktor kuat kenapa Comic 8 pada akhirnya tidak terasa spesial di mata saya. Pada kenyataannya trailer yang dipunyai film ini memang sangat menarik dan terbukti ampuh dalam menjaring penonton. Tercatat dalam lima hari film ini berhasil mengumpulkan lebih dari 500.000 penonton! Namun sayangnya berbagai momen terbaik film ini khususnya dalam aspek komedi sudah muncul disana. Memang masih ada beberapa bagian yang disimpan, tapi tetap saja apa yang tersaji di trailer terlalu banyak membeberkan momen-momen terbaik yang harusnya bisa menjadi lontaran komedi yang efektif. Bahkan sebuah video yang sebagai prolog di film ini menampilkan lagi humor yang muncul di trailer tersebut. Akhirnya saat adegan itu muncul dalam film kelucuannya pun jauh berkurang. Selain itu secara keseluruhan sajian komedinya pun tidak jarang yang miss. Saya akui berbagai leluconnya cukup berani dalam mengangkat guyonan "rasis" ataupun menyentil berbagai isu-isu yang sedang ngetren tapi yang bisa membuat saya tertawa terbahak-bahak tidak terlalu banyak, setidaknya tidak sebanyak yang saya harapkan.
Seperti yang sudah saya katakan, film ini berkisah tentang perampokan sebuah bank, tepatnya Bank INI (yup, itu naa bank-nya). Ada tiga orang perampok amatiran, Babe (Babe Cabiita), Bintang (Bintang Timur) dan Fico (Fico Fachriza) yang dengan modal rencana serta kemampuan seadanya ingin memperbaiki hidup mereka dengan merampok bank. Namun sebelum rencana itu dieksekusi, tiga orang perampok yang "lebih profesional" sudah terlebih dahulu melancarkan aksi mereka. Ketiga perampok itu adalah Ernest (Ernest Prakasa), Kemal (Kemal Palevi) dan Arie (Arie Kriting) yang datang dengan bersenjatakan senapan serta rencana yang lebih matang. Tentu saja kekacauan terjadi saat dua kelompok perampok tersebut berusaha merampok bank yang sama. Kekacauan semakin bertambah parah dengan kemunculan Mongol (Mongol Stres) dan Mudy (Mudy Taylor) yang dengan segala penampilan serta kepribadian mereka yang aneh juga berusaha merampok bank tersebut. Dari sinilah semua konfik dimulai disaat mereka masing-masing coba melancarkan aksi mereka dan akhirnya justru saling membantu untuk kabur dari kepungan polisi.
Dalam menantikan Comic 8 ada dua pantangan yang saya langgar. Yang pertama adalah jangan menonton trailer karena akan ada banyak spoiler yang berpotensi muncul jika trailer tersebut tidak dibuat dengan "bijak". Yang kedua adalah jangan berekspektasi terlalu tinggi, karena makin tinggi ekspektasi maka film tersebut harus semakin bagus pula untuk bisa memuaskan saya. Dan pada akhirnya kedua hal itulah yang menjadi faktor kuat kenapa Comic 8 pada akhirnya tidak terasa spesial di mata saya. Pada kenyataannya trailer yang dipunyai film ini memang sangat menarik dan terbukti ampuh dalam menjaring penonton. Tercatat dalam lima hari film ini berhasil mengumpulkan lebih dari 500.000 penonton! Namun sayangnya berbagai momen terbaik film ini khususnya dalam aspek komedi sudah muncul disana. Memang masih ada beberapa bagian yang disimpan, tapi tetap saja apa yang tersaji di trailer terlalu banyak membeberkan momen-momen terbaik yang harusnya bisa menjadi lontaran komedi yang efektif. Bahkan sebuah video yang sebagai prolog di film ini menampilkan lagi humor yang muncul di trailer tersebut. Akhirnya saat adegan itu muncul dalam film kelucuannya pun jauh berkurang. Selain itu secara keseluruhan sajian komedinya pun tidak jarang yang miss. Saya akui berbagai leluconnya cukup berani dalam mengangkat guyonan "rasis" ataupun menyentil berbagai isu-isu yang sedang ngetren tapi yang bisa membuat saya tertawa terbahak-bahak tidak terlalu banyak, setidaknya tidak sebanyak yang saya harapkan.
Yang patut disayangkan juga, Comic 8 terlalu sering melontarkan leluconnya, bagaikan senapan yang digunakan saat baku tembak film ini, komedi-komedi yang ada diberondongkan dengan gila-gilaan dan sebanyak mungkin hingga hampir tiap adegan selalu diisi komedi. Pada akhirnya banyak juga lelucon yang tidak tepat sasaran dan gagal membuat saya tertawa. Tidak semua adegan ataupun dialog dalam film komedi harus dibuat lucu, dan adegan dari Comic 8 yang tidak memberikan unsur komedi kebanyakan hanya berasal dari adegan baku tembak antara perampok dan polisi. Komedi adalah bicara timing, dan film ini tidak melihat timing dalam melontarkan humornya. Setiap ada kesempatan selalu digunakan entah itu lewat dialog atau tingkah laku konyol para pemainnya. Untungnya film ini didukung oleh karakter-karakter unik yang punya ciri khas masing-masing hingga meskipun komedinya gagal setidaknya tingkah mereka masih menghibur. Fakta bahwa film ini diisi oleh begitu banyak karakter termasuk delapan tokoh utamanya membuat pencapaian dalam hal karakterisasi tersebut menjadi terasa spesial. Tidak hanya delapan comic sebagai tokoh utamanya saja yang mencuri perhatian, karena masing-masing pemain meski hanya mendapat peran kecil tapi sangat sesuai dengan "bakat alam" mereka Ambil contoh Nikita Mirzani. Tentu saja tidak ada yang bisa dibanggakan dari aktingnya, tapi "kelebihan" dan hal "menonjol" lain yang ia punya berhasil dimaksimalkan disini dan jadi daya tarik tersendiri. Hal yang sama juga berlaku untuk tokoh-tokoh lainnya.
Dalam film ini, Anggy Umbara memang mengemas visualnya dengan begitu menarik seperti yang ia sudah perlihatkan dalam Mama Cake. Penggunaan warna-warna cerah, lalu slo-mo yang mengiringi adegan aksinya, hingga berbagai efek visual yang cukup baik menjadikan Comic 8 terasa enak dipandang. Tapi pada akhirnya semua jadi berasa style over substance. Ambil contoh pemilihan warna terangnya. Di beberapa bagian memang menarik, tapi di berbagai momen terasa dipaksakan dan malah mengganggu, misalnya saat kamera mengambil gambar melawan matahri. Dengan sudut seperti itu, biasanya efek cahaya memang begitu dimaksimalkan untuk memberi keindahan dan banyak dipakai dalam film-film yang mengambil gambarnya pada magic hour (film-film Terrence Malick contohnya). Tapi akibat pemakain warna yang ada disini, gambarnya malah terasa mengganggu. Jika mau ambil contoh, pemakaian warna unik yang berhasi karena disesuaikan dengan kebutuhan film dan dikombinasi dengan properti yang cocok adalah film-filmnya Joko Anwar seperti Kala dan Pintu Terlarang. Lalu pada pengemasan adegan aksinya memang diakui cukup seru lewat desingan peluru yang memekakkan telinga dan balutan slo-mo. Tapi setelah beberapa lama semuanya terasa kosong. Entah karena untuk masalah rating atau apa tadi dari ribuan peluru yang terbuang itu tidak ada satupun yang kena sasaran. Ya, bagi saya itu mengurangi greget adegan baku tembaknya Untuk apa melihat adegan baku tembak saa kita hanya melihat rangkaian peluru terbuang dan menghantam tembok atau mobil?
Kemudian jika bicara alur, film ini akan memberikan twist berlapis pada kisahnya. Saya tidak terlalu masalah sebenarnya dengan alur diluar nalar apalagi jika itu muncul dalam film aksi atau komedi yang brainless, tapi kejutan yang muncul dalam Comic 8 beberapa terasa dipaksakan. Fajar Umbara selaku penulis naskah terasa "putus asa" untuk menyajikan sebuah plot heist yang rumit dengan twist berlapis. Akhirnya semuanya terasa terlalu dipaksakan dan menggampangkan. Andaikan filmnya tampil lebih sederhana tanpa memaksakan kejutan demi kejutan yang ada saya rasa malah ceritanya lebih enak dinikmati. Pada akhirnya memang banyak kekurangan dalam film ini yang menjadikan Comic 8 hadir dibawah ekspektasi saya. Tapi dengan berbagai usaha untuk menampilkan segalanya dengan maksimal seperti tema yang unik, karakter yang memorable, komedi yang cukup efektif meski tidak semuanya berhasil, sampai pengemasannya yang stylish film ini tetap menjadi sebuah hiburan yang enak dinikmati. Jika anda tidak terlalu banyak tahu tentang film ini termasuk tidak membaca atau melihat beberapa interview para pemainnya (hei, Bapak Indro), tidak terlalu berekspektasi serta sedikit melupakan logika cerita aka Comic 8 akan jadi sebuah hiburan yang menyenangkan sekaligus menyegarkan ditengah langkanya film Indonesia yang berani bereksperimen seperti ini, dan untuk eksperimen itulah film ini patut mendapat kredit lebih. Jangan pula beranjak dulu setelah film seesai karena ada credit title para comic akan memberian sajian spesial yang bahkan bagi saya jauh lebih lucu daripada mayoritas adegan komedi dalam film ini.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar