THE CONGRESS (2013)

Tidak ada komentar
Saat beberapa review dari Cannes Film Festival menyebut film terbaru Ari Folman ini sebagai "The next Holy Motors" saya langsung tertarik. Bagaimana tidak? Film garapan Leos Carax itu berhasil memukau saya dan berada di puncak daftar film terbaik tahun 2012 versi blog ini. Tentu saja saya tidak serta merta langsung percaya pada sebutan tersebut karena julukan the next bla bla bla biasanya tidak terlalu valid dan seringkali hanya bentuk euforia penonton semata. Tapi tetap saja The Congress punya daya tarik yang begitu besar, apalagi film ini dibuat oleh Ari Folman yang angkat nama lewat Waltz with Bashir, sebuah film animasi dan nominator Oscar dari Israel yang bukan untuk konsumsi anak-anak. Untuk The Congress sendiri Ari Folman tidak mengemasnya sebagai animasi secara keseluruhan karena ada juga bagian yang dikemas dalam bentuk live action. Jadi kenapa film ini bisa dibandingkan dengan Holy Motors? Jawabannya adalah karena unsur surealis yang kental serta tema ceritanya yang menyoroti tentang keaktoran, tentang the beauty of acting. Tapi dari segi cerita sendiri The Congress jauh berbeda karena film ini juga memasukkan unsur sci-fi di dalamnya. Karakter yang jadi tokoh sentral adalah Robin Wright yang berpedan sebagai dirinya sendiri. Ya, dia adalah Robin Wright yang paling dikenal lewat peran-perannya di Forest Gump dan The Princess Bride. Disini Robin adalah seorang aktris berusia 44 tahun yang telah melewati masa jayanya.

Saat masih muda Robin dianggap sebagai salah satu aktris terbesar dengan masa depan yang cerah, tapi yang terjadi kemudian adalah kemunduran karir yang dipercaya terjadi karena dia sering memilih film yang salah. Kini dia tinggal bersama kedua anaknya di sebuah bekas hangar dekat bandara. Robin harus berjuang mengurus puteranya, Aaron (Kodi Smit-McPhee) yang mengalami gangguan pendengaran. Sebenarnya, sang agen Al (Harvey Keitel) sering membawa tawaran film tapi selalu ia tolak dengan alasan ingin mengurus Aaron. Sampai suatu ketika datang tawaran yang cukup menggiurkan dari Jeff (Dany Huston), pemilik Miramount Studio (Miramax + Paramount?) untuk menjual sisi aktris dalam dirinya untuk dikonversi kedalam bentuk digital. Dengan teknologi tersebut, sosok Robin akan sebagai aktris bakal menjadi milik Miramount dan bisa digunakan semau mereka dalam film apapun tanpa bisa menjadi tua. Namun kompensasinya adalah Robin yang asli tidak boleh lagi berakting meski tetap mendapatkan royalti. Singkat cerita Robin akhirnya menerima tawaran ini dan kisah melompat ke 20 tahun kemudian saat Robin menghadiri acara Futurological Congress di sebuah tempat yang semuanya berbentuk animasi termasuk orang-orang di dalamya. Disitulah mulai terjadi konflik yang lebih rumit dan lebih luas daripada sekedar aktris yang telah dikonversi sebagai produk digital.

Benang merah yang menjadikan film ini mempunyai kemiripan dengan Holy Motors memang kisahnya yang mengeksplorasi dunia akting dan pelakunya. Bedanya, The Congress lebih menyoroti interaksi dan konfik yang dialami aktor dengan pihak lain daripada berfokus pada keindahan akting itu sendiri meski aspek tersebut masih cukup terasa. Film ini banyak berbicara dan memperlihatkan perubahan yang terjadi pada hakikat seorang pelaku seni peran. Daripada sebagai seorang seniman, aktor disini mulai banyak dieksploitasi sebagai sebuah brand dan bahan jualan. Kita akan dibawa melihat bagaimana dunia seni peran mulai kehilangan keindahannya disini, tidak lagi sesuai dengan esensinya dan malah hanya menjadi bahan jualan belaka. Bahkan penggunaan teknologi digital terhadap Robin seolah menyinggung tentang banyaknya penggunaan CGI sebagai "alat bantu" dalam membuat film bahkan untuk merekayasa sang aktor demi kebutuhan perannya. Untuk menjadi tua tidak perlu lagi make-up hebat, cukup gunakan komputer. Untuk menjadi peran makhluk lain tidak perlu membuat kostum yang sedemikian rumitnya karena cukup menggunakan komputer. Semuanya serba digital, dan era dimana digitalisasi begitu menjaur dan menjadi primadona dalam dunia film termasuk seni peran sebagai salah satu aspeknya jelas mengurangi esensi dan keindahan hal tersebut. Karena sesungguhnya akting adalah sebuah olah rasa dimana rasa adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh manusia.
Bagaimana hubungan Robin dengan Jeff juga menjadi gambaran bagaimana dikontrolnya para aktor dan seniman-seniman lain oleh industri yang ada. Tapi disisi lain diri Robin juga turut dieksplorasi dimana dia digambarkan sebagai seorang aktris yang berada dalam kondisi yang benar-benar buruk. Dia tidak lagi laku, tidak bisa menentukan pilihan meski ironisnya dia adalah orang yang "memuja" kebebasa menentukan pilihan yang akhirnya berujung pada kemunduran karir, dan terakhir ia juga masih harus mengurus puteranya secara ekstra. Hubungan Robin dengan orang-orang laini  di sekitarnya juga ditampilkan dengan cukup menarik mulai hubungannya dengan Al, sampai saat ia bertemu dengan Dylan di dunia animasi yang ternyata merupakan animator yang sudah 20 tahun mengerjakan film-film yang berasal dari versi digital Robin. Tidak sampai begitu mendalam tapi cukup menarik. Saya menyukai adegan saat Robin sedang mereka berbagai ekspresinya dan Al bercerita tentang masa lalunya untuk membantu Robin secara perlahan mengeluarkan ekspresi dan emosinya. Disitu saya bisa merasakan bagaimana rasa yang terjalin antara keduanya termasuk saat Al pada akhirnya mengungkapkan perasaan yang selama ini ia rasakan terhadap Robin. Sebuah adegan yang sederhana, tapi akting dari Harvey Keitel dan Robin Wright pada adegan tersebut begitu baik, hingga membuatnya menjadi adegan yang cukup menyentuh.

Dan sebagai sebuah film yang menggabungkan live action dengan animasi, The Congress punya kualitas visual yang mengesankan. Wajar saja, ini adalah film yang dibuat oleh sutradara Waltz with Bashir yang punya teknik animasi unik nan imajinatif itu. The Congress punya visual animasi yang penuh warna lengkap dengan bentuk-betuk karakter maupun setting yang aneh dan unik. Dunia animated zone dalam film ini bagaikan sebuah dunia yang tercipta karena efek halusinogen. Terasa sureal, dreamy dan begitu indah. Toh dalam filmnya sendiri sebelum memasuki zona tersebut orang-orang harus mengonsumsi sebuah obat mirip halusinogen sebelum akhirnya berubah menjadi bentuk animasi. Saya suka bagaimana Ari Folman memaksimalkan imajinasi liarnya dalam membentuk segala hal yang nampak dalam dunia animasinya. Bahkan desain karakternya menampilkan banyak cameo mulai dari Clint Eastwood, Michael Jackson, bahkan Buddha dan Jesus ada disini. Jika dunia nyata atau the truth dalam film ini memberikan unsur drama digabung sedikit sci-fi, maka dunia animasinya adalah dunia fantasi penuh surealisme yang indah secara visual. Tapi bagi saya sendiri sebuah film sureal akan jadi menarik jika tetap terasa membumi, sedangkan The Congress terasa terlalu abstrak dengan visualisasi layaknya mimpi hingga film ini lebih terasa sebagai sajian visual menghipnotis daripada sebuah film yang punya sisi emosional. Sisi emosionalnya terkubur oleh segala teknik visualnya.

Kisah tentang halusinogen dan kesempatan untuk berubah menjadi karakter film yang diinginkan dengan hanya bermodal sebuah formula menggambarkan bagaimana penderitaan yang dialami oleh orang-orang hingga akhirnya mereka ingin berubah menjadi orang lain, menjadi sesuatu yang lain yang selama ini mereka impikan dan kagumi. Mereka punya mimpi, mereka ingin menjadi idola mereka. Dan pada akhirnya disaat mereka menghadapi masalah berat dan depresi yang mereka inginkan adalah berubah, pergi dari diri mereka saat ini yang penuh masalah dan lari menjadi sosok yang selama ini mereka kagumi dan impikan. Konsep yang menarik, hanya saja seperti yang sudah saya singgung, visual animasinya yang menghipnotis terlalu menutupi sisi emosionalnya yang terasa kurang kuat. Mungkin pada akhirnya film ini tidak sebagus ekspektasi saya yang berharap mendapat "kembaran" dari Holy Motors, tapi The Congress jelas merupakan suguhan sureal yang menarik, dengan konsep serta visualisasi yang unik. Mungkin kedalaman ceritanya tidak sampai dimanfaatkan terasa maksimal, tapi keanehan dunia halusinogen serta konsep-konsep unik tentang digitalisasi aktornya sanggup membuat saya sangat menikmati film ini.

Tidak ada komentar :

Comment Page: