THE ZERO THEOREM (2013)
Terry Gilliam adalah seorang sutradara yang terkenal akan film-filmnya yang begitu imajinatif. Mungkin tidak semua film Gilliam mendapat respon positif dari kritikus, tapi jelas style miliknya yang penuh dengan keunikan visual telah mendapatkan begitu banyak penggemar. Gilliam sering menghadirkan satir sosial dalam filmnya, lalu membungkus satir tersebut kedalam sebuah sajian penuh fantasi liar dengan setting yang seringkali terletak di sebuah dystopian future. Setelah lima tahun lalu membuat The Imaginarium of Doctor Parnassus yang menjadi salah satu film terakhir Heath Ledger, Gilliam kembali dengan The Zero Theorem yang naskahnya ditulis oleh seorang debutan bernama Pat Rushin. Hanya dengan bermodal gaya unik Terry Gilliam saja film ini sudah menarik perhatian, belum lagi ditambah kehadiran nama-nama besar seperti Christoph Waltz sebagai aktor utama sampai Matt Damon dan Tilda Swinton sebagai pemeran pendukung. Sebuah pertanyaan mendasar namun esensial sekaligus sulit dijawab menjadi ide dasar The Zero Theorem, yaitu "Apa makna kehidupan?"
Qohen Leth (Christoph Waltz) adalah seorang programer yang hidup sendirian di sebuah gereja tua yang tidak lagi terpakai. Qohen sendiri merupakan seorang antisocial yang tidak pernah bergaul dengan baik bersama orang-orang disekitarnya. Diluar pekerjaannya, keseharian Qohen ia habiskan untuk menunggu panggilan telepon. Sebuah panggilan telepon yang ia harapankan bakal memberi jawaban tentang pertanyaannya akan makna kehidupan yang ia jalani. Untuk itulah ia meminta kepada pemilik perusahaan yang disebut Management (Matt Damon) supaya diperbolehkan bekerja dirumah agar setiap saat bisa siap untuk mengangkat telepon. Qohen akhirnya mendapat izin bekerja dirumah, meski tugas yang ia dapat amatlah berat. Qohen harus memecahkan sebuah rumus matematika yang disebut "Zero Theorem". Qohen pun akhirnya menghabiskan waktu berbulan-bulan berusaha memecahkan rumus tersebut sambil terus menunggu panggilan telepon yang tidak kunjung datang. Pada saat itulah seorang wanita misterius bernama Bainsley (Melanie Thierry) memasuki kehidupan Qohen.
Meski terkesan surreal, film Terry Gilliam bukanlah seperti David Lynch yang gelap dan seringkali unsolveable. Gilliam cenderung mengemas filmnya dengan sedikit sentuhan komedi, penuh warna-warna cerah dalam visualnya, dan memberikan begitu banyak petunjuk tentang apa yang coba ia sampaikan dengan cukup jelas. Yang menarik dari The Zero Theorem adalah dibalik sebuah kisah besarnya tentang pencarian arti hidup, ada banyak satir sosial yang diselipkan oleh Gilliam disini entah itu kedalam plotnya atau sekedar lewat penampakan sekilas seperti banner di pinggir jalan. Ada banyak hal, tapi kesemuanya masih saling terikat dengan sebuah benang merah besar yaitu "kontrol". Ya, film ini memperlihatkan bagaimana kondisi disaat sesuatu/seseorang mempunyai sebuah kontrol kuat yang bisa mengatur semua orang semaunya. Entah itu dari sekedar tanda "larangan melakukan apapun" di belakang bangku taman sampai sosok karakter Management yang bisa berbuat apapun terhadap bawahannya bahkan sampai memasang CCTV di tiap sudut rumah mereka. Dengan memberikan satirnya sampai kepada aspek terkecil dalam film, Gilliam sudah memberikan suatu keasyikan tersendiri bagi saya, bagaikan seorang pecinta komik mencari easter eggs tersembunyi dalam film-film superhero.
Tapi meski banyak mengkritik, fokus utama film ini tetaplah kepada pencarian makna hidup dan kebingungan karakter Qohen dalam menjawab pertanyaan tentang arti hidupnya. Saya sebagai penonton bisa merasakan kebingungan Qohen dalam mencari jawaban sama seperti saya yang kebingungan mencari makna dari adegan-adegan film ini. Saya tahu film ini berkisah tentang makna hidup, sama seperti Qohen yang tahu bahwa ia sedang mencari makna kehidupan, tapi apa sebenarnya makna kehidupan itu secara lebih detail ia tidak tahu, saya tidak tahu. Mengikuti perjalana Qohen Leth yang penuh pertanyaan adalah hal menyenangkan bagi saya. Dengan penampilan luar biasa dari Waltz yang sekali lagi layak diganjar nominasi Oscar, Qohen sekilas tampak seperti karakter komedik dengan segala awkward moment dan berbagai elemen slapstick-nya, tapi sesungguhnya ia adalah sosok yang menyedihkan dan menghadirkan sisi tragis. Daripada memandang The Zero Theorem sebagai sebuah komedi satir, saya lebih suka melihat film ini sebagai tragedi melihat apa yang terjadi pada sosok Qohen. Selalu hidup sendiri, menemukan beberapa orang yang mengisi hidupnya, pada akhirnya Qohen kembal kehilangan semuanya. Saya pun berhasil dibuat bersimpati pada sosoknya.
Aspek visual film ini begitu mengesankan seperti mayoritas film-film Terry Gilliam lainnya. Penuh warna dengan kesan dystopian yang modern tapi kumuh itu The Zero Theorem tidak hanya asal indah dan unik tapi dalam setiap sisi visualnya juga menyimpan makna mengenai hal-hal yang coba disindir oleh sang sutradara. Film ini juga tidak hanya pamer visual saja, karena kisah tentang Qohen Leth merupakan kisah yang cukup dalam dan menyentuh. Baik kisah cintanya yang sedikit aneh dengan Bainsley maupun pertemanannya dengan Bob memang terasa singkat, tapi sudah cukup memberikan sentuhan manis dan perasaan kedalam film ini. Gilliam mengajak para penontonnya melihat bagaimana sebuah pencarian makna hidup dari seorang man of faith yang bahkan tinggal di bekas Gereja seolah ingin lebih dekat kepada Tuhan. Terry Gilliam memberikan kepada saya sebuah keasyikan menonton film yang tidak hanya menggali dalam karakternya, tapi juga penuh filosofis dan juga dipenuhi puzzle untuk dipecahkan. Meski tragis, tone dan visual yang cerah tidak membuat saya "kapok" menonton ulang film ini demi lebih memahaminya. Bagian ending-nya yang terasa bittersweet berubah jadi mengharukan disaat terdengar suara Bainsley memanggil nama Qohen pada credit title berpadu dengan versi jazz dari Creep yang begitu manis.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar