LUCY (2014)
Luc Besson mungkin tidak pernah membuat film yang cerdas tapi sebagai sebuah hiburan, karya-karyanya yang mayoritas ber-genre action hampir selalu menjadi tontonan yang menyenangkan. Satu hal yang menarik dari film-film sutradara asal Prancis ini adalah karena ia sering menjadikan sosok wanita sebagai pemeran utama film aksinya. Bahkan dari serangkaian film aksi miliknya, lebih banyak wanita yang menjadi pemain utama daripada pria. Hal yang sama kembali ia lakukan dalam film terbarunya Lucy dimana kali ini Luc Besson menggaet Scarlett Johansson sebagai aktris utama. Tentu saja keberadaan ScarJo yang namanya tengah melambung jadi daya tarik yang luar biasa besar, apalagi karena Besson juga mendeskripsikan Lucy sebagai film superhero. Banyak orang termasuk saya yang berharap bahwa ini bakal jadi "pemanasan" sebelum Scarlett Johansson benar-benar mendapatkan film solo Black Widow. Kehadiran nama-nama besar lainnya seperti Morgan Freeman sampai aktor besar Korea Selatan Choi Min-sik semakin menambah daya tarik film ini. Konsepnya pun menarik, yaitu "disaat rata-rata manusia hanya mampu memakai 10% otaknya, apa yang terjadi jika seseorang bisa menggunakan 100% kemampuan otaknya?"
Lucy (Scarlett Johansson) hanyalah seorang wanita muda yang sedang berkuliah di Taiwan, sampai suatu hari ia dijebak oleh pacar barunya untuk mengantar sebuah koper misterius kepada seseorang bernama Mr. Jang (Choi Min-sik). Alih-alih hanya mengantarkan koper seperti yang dijanjikan, Lucy malah diculik oleh Mr. Jang beserta anak buahnya dan digunakan sebagai alat menyelundupkan isi dari koper itu yang ternyata adalah narkoba jenis baru bernama CPH4. Penyelundupan dilakukan dengan cara menaruh bungkusan narkoba dalam jumlah besar ke dalam perut Lucy beserta tiga orang lainnya. Tapi akibat sebuah insiden, bungkusan narkoba dalam perut Lucy pun pecah dan mulai bercampur di dalam tubuhnya. Hal itu membuat kemampuan penggunaan otak Lucy perlahan mulai meningkat, bahkan nantinya bisa mencapai 100% dan seperti yang sempat dikemukakan oleh seorang ilmuwan ahli neurologi bernama Profesor Norman (Morgan Freeman) tidak ada yang tahu akan sejauh apa kemampuan seorang manusia jika bisa menggunakan 100% kemampuan otaknya. Lucy yang tadinya hanya seorang wanita biasa kini berubah layaknya superhero dengan kemampuan fisik bahkan kinetis yang diatas rata-rata.
Konsepnya terkesan ambisius, apalagi disaat Luc Besson ikut memasukkan berbagai macam teori filosofis mengenai proses kehidupan yang membentang jarak miliaran tahun alias semenjak keberadaan manusia-manusia purba. Belum lagi ditambah berbagai teori tentang kapasitas otak yang keluar dari mulut karakter Profesor Norman, menjadikan Lucy tidak terasa seperti film-film Luc Besson lainnya yang dari segi cerita terasa low profile meski stylish. Film ini memang terasa begitu ambisius seperti yang terlihat dari opening hingga klimaksnya yang membawa Lucy hingga keawal mula peradaban dunia ditambah dengan berbagai homage terhadap film-film sci-fi klasik khususnya 2001: A Space Odyssey. Tapi pertanyaannya apakah Lucy memang film yang cerdas dan filosofis seperti film milik Kubrick tersebut atau hanya sebuah ambisi besar yang kosong? Bagi saya Lucy justru lebih sering terasa menggelikan dari tataran cerita. Usaha dan ambisi Besson untuk membuat filmnya cerdas justru sering terasa bodoh apalagi jika itu berkaitan dengan kemampuan penggunaan otak yang jadi fokus utamanya. Saya tidak mempermasalahkan tentang teori 10% otak yang sekedar mitos, toh ini science-fiction tapi banyak hal yang terasa berantakan. Salah satu yang paling mengganggu adalah kemampuan Lucy.
Tidak ada "takaran" pasti seberapa jauh yang bisa Lucy lakukan. Kadang saya berpikir dengan kemampuan otak sebesar itu dia seharusnya bisa melakukan lebih (untuk apa meminta bantuan pada Profesor Norman kalau Lucy jauh lebih jenius dan mengetahui semua hal?), tapi tidak jarang pula saya merasa yang bisa ia lakukan terlalu hebat (menembus batas ruang dan waktu). Seolah-olah Luc Besson memanfaatkan fakta bahwa "tidak ada yang tahu seberapa jauh kemampuan manusia saat bisa memakai 100% otaknya" sebagai "pelarian" dari lubang logika dan konsistensi dalam film ini. Pada akhirnya Lucy memang terasa sebagai film ambisius yang sok pintar padahal sebenarnya bodoh. Mengingatkan saya pada Transcendence yang punya masalah serupa, apalagi Morgan Freeman juga memainkan karakter ilmuwan bijak dalam kedua film ini. Tapi apakah itu berarti Lucy adalah film yang jelek? Jawabannya tidak, karena pada akhirnya saya justru merasa bahwa Lucy merupakan salah satu hiburan paling menyenangkan tahun ini. Bagaimana bisa setelah semua kata-kata saya bahwa film ini bodoh?
Jawabannya adalah berkat penyutradaraan Luc Besson. Seperti yang saya bilang diawal, Besson tidak pernah membuat film cerdas tapi ia tahu benar bagaimana menyajikan sebuah hiburan. Mungkin porsi adegan aksi yang ada tidak sebanyak dugaan saya, tapi setiap kemunculannya selalu berhasil dikemas dengan begitu baik oleh Luc Besson. Dengan style yang sangat layak untuk disebut "keren", Lucy selalu berhasil memukau saya saat sudah waktunya masuk adegan aksi. Hampir semua momen digarap dengan keren, tapi yang paling luar biasa tentu saja klimaksnya. Mulai dari adegan baku tembak yang dibalut dengan slow-motion dramatis ditambah kehadiran aktor-aktor Asia termasuk Choi Min-sik momen itu terasa seperti klimaks dari sebuah film gangster Korea Selatan. Belum lagi saat adegan itu muncul bergantian dengan adegan di dalam ruangan yang menampilkan Lucy perlahan mencapai kapasitas 100% hingga akhirnya disambung lewat rangkaian montage berbalut visual yang spektakuler menjadikan rangkaian momen itu terasa begitu megah. Saya tahu momen klimaks itu bodoh dan menggelikan, tapi pengemasan keren Luc Besson memaksa saya untuk menyerah dan melupakan semua kebodohan tersebut. Pada akhirnya yang tertinggal hanyalah rasa kagum.
Tentu saja keberadaan Scarlett Johansson sebagai bintang utama berperan besar dalam keberhasilan film ini. Pada dasarnya Johansson memang sudah fasih memerankan karakter heroine yang tangguh tanpa kehilangan keseksiannya, ditambah keahlian Luc Besson dalam mengemas karakter wanitanya menjadi seperti itu maka sempurnalah sosok Lucy. Penampilan Choi Min-sik sesungguhnya mencuri perhatian. Kemunculannya yang penuh darah diawal sangat menarik dimana Besson seperti paham betul bagaimana sosok gangster jahat ditampilkan dalam film-film Korea Selatan. Penampilan Choi Min-sik lagi-lagi berakting total dan mampu menyerap atensi penonton, sayangnya karakter Mr. Jang jelas tidak memberikan ancaman yang sepadan bagi sosok Lucy yang membuatnya berakhir sebagai villain yang kurang maksimal. Tapi toh penampilan Choi Min-sik sudah memberikan karakter ini daya tarik yang tidak dimiliki mayoritas penjahat dalam film-film aksi lainnya. (saya harap makin banyak film Eropa/Hollywood yang menjadikan Choi Min-sik sebagai salah satu aktornya). Bagaikan dihipnotis saya yang merasa alurnya menggelikan itu hanya bisa mengakui betapa kerennya film ini. Inilah contoh sempurna dari sebuah guilty pleasure.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar