ABCs OF DEATH 2 (2014)
The ABCs of Death (review) yang rilis dua tahun lalu merupakan sebuah ambisi besar yang amat disayangkan tidak dibarengi hasil akhir memuaskan. Sebuah antologi apalagi yang tiap segmennya digarap oleh sutradara berbeda pada dasarnya sudah punya tingkat kesulitan sendiri, karena hampir bisa dipastikan muncul ketimpangan baik dari kualitas maupun atmosfer. Ambil contoh franchise V/H/S yang "hanya" berisi 4-5 segmen, jadi sangat wajar jika ABCs of Death yang berisi 26 segmen dari 26 sutradara berbeda jauh lebih naik turun lagi kualitasnya. Film pertamanya mungkin tidak sebaik harapan saya, tapi tetap saja ada beberapa segmen gila dimana salah satunya adalah L is for Libido garapan Timo Tjahjanto. Saya tidak lagi berharap banyak dalam menonton sekuelnya ini, hanya sebuah hiburan penuh kematian yang tiap menitnya bisa berakhir mengecewakan maupun memuaskan tanpa bisa saya duga. A is for Amateur adalah pembuka yang menghibur, menggelikan, sekaligus punya kejutan menarik. Segmen yang sukses membuka film ini dengan lebih baik dari pendahulunya. B is for Badger sayang terasa datar. Ada gore memang, tapi tidak spesial.
Untung tensi berhasil ditingkatkan oleh C is for Capital Punishment yang berkat editing baiknya mampu terasa menegangkan plus gore sebagai bonus. D is for Deloused melanjutkan tren T is for Toilet sebagai segmen claymation yang gila namun jauh lebih absurd. E is for Equilibrium layak menjadi salah satu segmen terburuk. Terlalu banyak komedi tanpa ada sentuhan horror/thriller yang menarik plus kematian yang sambil lalu. Lebih mirip parodi Cast Away. Segmen berikutnya yakni F is for Falling pun mengecewakan sekaligus datar, jauh lebih datar dari "aset" aktirs di dalamnya. Untung keempat segmen berikutnya sanggup menaikkan kembali tensi film. G is for Grandad diisi keabsurdan sinting yang menghibur. H is for Head Games adalah animasi sureal yang menarik karena menyuguhkan sisi lain dari kematian lewat adegan ciuman paling "bombastis" tahun ini. I is for Invincible adalah segmen dari Filipina yang sukses menggabungkan horror dengan komedi secara berimbang. Sayang ditutup dengan begitu datar. J is for Jesus mungkin punya konsep yang terlalu "ngawur" tapi gabungan asepk torture porn degan horror religius-nya cukup menarik. K is for Knell adalah ketidak jelasan yang berujung pada tontonan membosankan.
L is for Legacy yang mengangkat budaya Afrika punya konsep menarik memang, tapi penggarapan, editing, serta efek yang amat sangat buruk membuatnya jadi menggelikan. Kesan amatiran yang jelas tidak layak dimasukkan dalam film ini. M is for Masticate itu aneh, mengerikan, menjijikkan, sekaligus lucu apalagi setelah mengetahui twist-nya. N is for Nexus sebenarnya biasa saja, tapi selipan romansa dan tragedinya cukup menyegarkan. O is for Ochlocracy adalah bukti bahwa segmen garapan sineas Jepang selalu super kreatif sekaligus aneh. Sebuah twist cerdas untuk film bertemakan zombie apocalypse. Kemudian hadir P is for P-P-P-P SCARY! yang sebenarnya punya konsep unik lewat homage untik komedi hitam-putihnya. Karakternya unik, tapi justru pengemasan horror-nya buruk, membuatnya jadi salah satu segmen paling tidak jelas. Q is for Questionnaire ini menarik. Konsepnya unik ditambah dengan pembangunan misteri yang cukup baik lewat editingnya. R is for Roulette merupakan bukti bahwa permainan maut sederhana yang dikemas dalam konsep sederhana ini pun masih sukses menyajikan ketegangan "klasik". S is for Split mungkin tidak spesial, tapi ketegangan lumayan berhasil dibangun berkat rasa simpati yang hadir pada karakter wanitanya (siapa tidak cemas melihat perempuan cantik yang lemah itu diserang?).
Lalu ada T is for Torture Porn yang sinting, tapi hanya itu. Tidak ada kengerian maupun tensi tinggi yang berhasil muncul. U is for Utopia adalah bukti bahwa horror tidak sepantasnya bergantung pada CGI dan high concept. Terlalu filosofis dan pamer teknik, segmen ini justru melupakan unsur bersenang-senang yang jadi esensi utama ABCs of Death. V is for Vacation tidak buruk-buruk amat, tapi ketiadaaan aspek spesial membuatnya tidak mengesankan. Tapi setidaknya pelacur tua yang telanjang dan berlumuran darah cukup sinting. Saya menyukai W is for Wish yang memperlihatkan dunia futuristik penuh kebrutalan dimana-mana. Konsep dan visualnya unik, dan ada kesan tragis yang berhasil dimunculkan. X is for Xylophone adalah satu lagi bukti bahwa kesederhanaan tetap bisa jadi sebuah sumber teror yang efektif. Hanya menampilkan horror di penutupnya yang penuh darah dan tulang itu, segmen ini justru jadi salah satu yang terbaik. Tidak banyak yang bisa saya katakan mengenai Y is for Youth kecuali bahwa lagi-lagi segmen asal Jepang selalu memuaskan saya dengan kegilaan otak sineasnya.
ABCs of Death 2 ditutup dengan salah satu segmen terbaik, Z is for Zygote. Saya suka idenya yang segar dan twist-nya yang tidak kalah gila. Sekuelnya ini masih punya kekurangan yang tidak jauh beda dengan film pertamanya, apalagi kalau bukan kualitas yang tidak stabil antara segmen satu dengan lainnya. Hanya saja bagi saya ABCs of Death 2 sedikit lebih bagus daripada film pertamanya. Penggarapan yang lebih baik serta lebih banyak segmen yang berhasil memuaskan saya (meski overall tidak ada kegilaan bintang lima macm Libido ataupun XXL) membuat sekuel ini menjadi sebuah peningkatan dibanding film pertama. Sampai kapanpun saya rasa franchise ini tidak akan pernah "naik kelas" secara kualitas, tapi hiburan tak berotak yang disuguhkan bakal selalu setia saya nantikan, termasuk film ketiganya dengan tajuk Teach Harder yang bakal dirilis tahun 2016 nanti.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:woah ada 26 segmen .. lumayan banyak yaa tapi seru sepertinya
Yah hiburan bodoh yang asik :)
Posting Komentar