THE BOXTROLLS (2014)
Jika Pixar (setidaknya sebelum kehadiran Cars 2) mampu membuktikan bahwa animasi bukan hanya tontonan anak-anak tapi juga bisa dinikmati oleh orang dewasa lewat ceritanya yang emosional, lain halnya cara yang dilakukan Laika. Studio yang baru didirikan tahun 2005 dan berfokus pada animasi stop-motion ini memberikan daya tariknya lewat cerita dan visual yang cenderung mengarah pada horror dan gothic. Salah satu ciri khas kental yang muncul pada cerita film-film Laika adalah keberadaan suatu hal yang tersembunyi dalam gelap. Lihat saja Coraline dan ParaNorman dimana keduanya sama-sama punya aspek itu. Dalam film terbarunya yang merupakan adaptasi dari novel Here Be Monsters! karangan Alan Snow ini hal serupa kembali hadir. Berlatarkan tahun 1805, alkisah terdapat sebuah kota fiktif bernama Cheesebridge yang tengah dilanda ketakutan akibat kemunculan monster mengerikan bernama Boxtrolls. Monster-moster itu diyakini adalah sosok yang kejam dan tidak segan-segan menculik bayi untuk kemudian dimakan hidup-hidup.
Karena ketakutan para Boxtrolls akan mencuri persediaan keju di kota tersebut, walikota Lord Portley-Rind memerintahkan Archibald Snatcher untuk menghabisi Boxtrolls tanpa tersisa sedikitpun. Snatcher sendiri bersedia melakukan itu asalkan walikota bersedia memberikan topi putih miliknya yang merupakan lambang bagi para pejabat kota yang mempunyai akses mencicipi segala keju terenak di kota tersebut. Jadilah setiap malam Snatcher dan anak buahnya memulai perburuan terhadap para Boxtrolls sambi menyebarkan berita tentang betapa mengerikannya monster itu kepada seluruh warga kota. Tapi ada rahasia yang tidak diketahui oleh warga, yakni fakta bahwa Boxtrolls sejatinya bukan sosok monster yang jahat. Tampilan mereka memang mengerikan, tapi mereka sama sekali tidak pernah melukai siapapun. Justru sebaliknya, mereka rutin mengunjungi dunia atas tiap malam untuk mengumpulkan barang bekas yang bisa diperbaiki. Uniknya diantara para Boxtrolls yang memakai kotak kardus sebagai pakaian itu tinggal juga seorang bayi manusia yang diberi nama Eggs (karena memakai kotak kardus bekas tempat telur).
The Boxtrolls punya daya pikat terbesar pada keanehannya yang kental menghiasi semua aspek. Kita bisa menemukan keanehan pada ceritanya, visualnya, karakter, bahkan sampai lelucon-lelucon yang hadir pun memiliki keanehan. Suatu keanehan yang seringkali terasa gelap, twisted dan bukan tidak mungkin justru akan membuat penonton anak-anak merasa ketakutan. Tentu masih ada berbagai keseruan yang hadir lewat momen dan tingkah laku konyol tiap karakternya, tapi biar bagaimanapun film ini jelas lebih dewasa dari film-film animasi garapan DreamWorks misalnya. Selain aspek visual serta desain karakter yang memang kental unsur horror dan gothic, banyak juga terdapat hal-hal tersirat yang terasa twisted disini, sebut saja karakter gadis cilik psikopat yang terobsesi dengan sadisme hingga adegan-adegan kematian, termasuk satu di penghujung yang sesungguhnya cukup sadis (tubuh yang meledak?). Tapi duo sutradara Graham Annable dan Anthony Stacchi memang cukup cerdik dalam mengemas semua hal gila tadi supaya tidak berlebihan dan masih punya unsur komikal yang kental.
Keberhasilan mengemas semua "kengerian" itu kedalam bentuk komedi menjadi bukti kecerdasan film ini disamping hiburan yang ditawarkan lewat serunya petualangan/aksi serta komedi yang lumayan sukses memancing tawa. Konten cerita yang hadir pun sebenarnya standar seperti mengenai ambisi dan pemaknaan hati diri yang telah begitu sering diangkat dalam media animasi. Tapi kandungan yang boleh dibilang klise mengenai "don't judge a book by it cover" maupun "we are what we are" sanggup dikemas dengan baik sehingga meskipun terasa klise dan penuh kesederhanaan, pesan itu sanggup tersampaikan dengan baik. Saya sebagai penonton tidak hanya dibuat menyadari keberadaan pesan-pesan itu tapi juga ikut merasakannya. Disamping itu, ceritanya juga masih sempat menyelipkan kritikan mengenai kebusukan pemerintahan, yakni disaat mereka yang punya kuasa justru lebih mengutamakan kesenangan pribadi daripada rakyatnya. Lagi-lagi pesan klise yang sederhana, tapi berhasil dikemas baik sehingga cukup mengena.
Karakter yang ada juga cukup menarik, meski bagi saya yang paling mendalam adalah sosok Archibald Snatcher. Sekilas dia adalah villain kejam dua dimensi yang biasa saja, tapi ditilik lebih mendalam ia adalah gambaran tentang mereka yang rela untuk berubah hanya supaya bisa "masuk" dalam suatu kelompok tertentu dan begitu ingin menjadi seorang yang dipandang. Archibald Snatcher adalah observasi menarik mengenai individu semacam itu yang sedang "ramai mewarnai" dunia dewasa ini. Sayang, kompelsitas yang hadir pada sosok villain itu tidak hadir pula pada sosok karakter utama. Egg sebenarnay cukup menarik, tapi hubungannya dengan Winnie sangat kurang tergali. Alhasil tidak muncul simpati dari saya untuk mereka berdua. Terakhir untuk melengkapi desain karakter unik dalam film ini tentu saja ada para Boxtrolls yang bagi saya merupakan antitesis dari gerombolan Minions di Desicable Me. Kedua kelompok ini sama-sama berjumlah banyak dan bertingkah konyol, hanya saja Boxtrolls bertampang seram, dan sesuai dengan jati diri Laika. Ditutup dengan sebuah credit scene memikat berlatarkan lagu Little Boxes milik Loch Lomond The Boxtrolls adalah hiburan unik yang menyenangkan. Lebih bagus dari ParaNorman tapi jelas belum sehebat Coraline yang masih merupakan masterpiece-nya Laika.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar