HORNS (2013)
Dibintangi oleh Daniel Radcliffe yang masih berusaha keras untuk melepaskan imej Harry Potter selama tiga tahun terakhir (yang ia lakukan dengan cukup baik) serta disutradarai oleh Alexandre Aja yang lebih dikenal sebagai seorang sutradara film horror membuat Horns semakin punya daya tarik disamping premis yang memang sudah unik. Diangkat dari novel berjudul sama karangan Joe Hill, film ini menceritakan tentang seorang pria bernama Ig Perrish (Daniel Radcliffe) yang sedang menjadi tersangka atas pembunuhan terhadap Merrin (Juno Temple) yang tidak lain adalah kekasih Ig sendiri. Meski keduanya sudah saling mencintai sejak kecil, hampir semua orang percaya bahwa Ig adalah pembunuhnya, sesuatu yang terus disangkal oleh Ig. Walau sudah mendapat bantuan dari seorang pengacara yang juga teman masa kecilnya, Lee (Max Minghella), posisi Ig tetap saja tersudut, apalagi setelah kehadiran seorang saksi baru yang berkata melihat Ig menyeret Merrin ke dalam mobilnya pada malam terjadinya pembunuhan. Meski begitu Ig tetap menyanggah semua tuduhan.
Di tengah kebingungan yang ia alami, Ig justru mendapati sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya saat suatu pagi ia terbangun dan dua buah tanduk telah tumbuh di kepalanya. Tapi tidak hanya itu saja keanehan yang terjadi, karena sejak tumbuhnya tanduk tersebut, Ig kini bisa mengendalikan perilaku seseorang, bahkan membuat mereka mengatakan rahasia-rahasia yang selama ini telah dipendam. Meski awalnya merasa terganggu dan berniat menyingkirkan tanduk tersebut, pada akhirnya Ig justru memanfaatkan kemampuan barunya itu untuk mencari siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kematian Merrin. Jadi kurang lebih Horns berkisah tentang seorang pria yang tiba-tiba mempunyai tanduk, dimana tanduk itu memberikannya kekuatan untuk mengendalikan perilaku dan pikiran orang lain. Tidak butuh pemikiran lebih untuk mengetahui bahwa tanduk dan kekuatannya itu adalah representasi sosok setan. Apalagi dengan kehadiran sebuah "trisula", ular dan kulit terbakar Ig yang berwarna merah, menjelaskan bahwa Horns adalah kisah tentang setan, tentang fallen angel yang bukan digambarkan sebagai sosok jahat, melainkan anti-hero yang bertindak atas dasar dendam dan cinta.
Naskah yang ditulis oleh Keith Bunin jelas bukan sesuatu yang berkualitas bagus. Banyak kebodohan, banyak hal-hal yang dipaksakan, banyak pula inkonsistensi yang hadir di dalamnya seperti apa sebenarnya kekuatan milik Ig? Jika dalam beberapa kesempatan ia bisa mengontrol perilaku (tidak hanya membuat mereka membeberkan rahasia) kenapa tidak melakukan itu saja terus untuk mempermudah segalanya? Tentu saja dalam sebuah film kita harus bisa memaafkan berbagai hal yang terkesan dipaksakan terjadi guna memberikan sentuhan konflik, tapi apa yang nampak dalam film ini jelas dipaksakan. Kebodohan demi kebodohan juga menjadi hal yang bisa nampak dalam naskah film ini. Tapi untungnya Alexandre Aja menyadari kebodohan itu, dan ia sendiri bukan orang baru dalam hal menyutradarai naskah bodoh untuk kemudian menyulapnya menjadi hiburan brainless yang menyenangkan seperti Piranha 3D atau High Tension. Keberhasilan Aja dalam menggarap Horns adalah bagaimana ia memaksimalkan unsur brainless horror saat menampilkan sosok setan, adegan penuh darah seperti kepala pecah, sampai sentuhan komedi yang menjadi pertanda bahwa film ini memang sadar bahwa dirinya bukan sebuah film pintar.
Dengan berbagai aspek tersebut, Alexandre Aja sukses menjadikan filmnya ini sebagai sebuah guilty pleasure bagi saya. Disatu sisi saya tahu ada begitu banyak kebodohan dan hal dipaksakan yang amat mengganggu, tapi disisi lain pengemasan dari Aja begitu sulit untuk ditolak. Tapi sebenarnya rasa bersenang-senang merupakan suatu hal yang bisa diharapkan dari film garapan Aja, tapi tidak begitu dengan romansa/drama. Diluar dugaan film ini punya drama yang cukup kuat berkaitan dengan romansa antara Ig dan Merrin. Dengan sturtktur yang non-linear, film ini kadang kembali ke masa lalu untuk memberikan flashback percintaan kedua karakternya tersebut. Kita diajak untuk melihat momen keduanya pertama bertemu saat masih kecil, tumbuh dewasa bersama, sampai akhirnya hubungan itu harus berakhir dengan tragis. Memberikan kesan romansa yang hangat, saya pun dibuat amat bersimpati pada sosok Ig. Tentu ada kemungkinan Ig memang adalah pembunuh Merrin, tapi melihat romansa mereka dan kondisi yang menempatkan Ig sendirian "melawan dunia", dengan mudah saya pun dibuat mendukung dia.
Kuatnya aspek drama juga didasari oleh akting bagus Daniel Radcliffe. Tanpa mengesampingkan pemain lain yang juga bermain baik, Dan Radcliffe memang bintang utama film ini. Dengan jelas dia bisa memperlihatkan sosok Ig yang rapuh, terluka dan penuh amarah. Pada saat ia telah bertansformasi menjadi "setan" pun, Daniel Radcliffe sanggup memberikan aura yang cukup mencekam dari karakternya (mari bersyuku Shia LaBeouf tidak jadi memerankan Ig). Kini hanya fans berat, ignorance, atau orang yang tidak pernah menonton film saja yang terus mengatakan bahwa "Radcliffe masih belum bisa menghilangkan imej Harry Potter". Tentu sampai kapanpun ia akan paling dikenang sebagai karakter itu, tapi dalam segi karir, ia sudah berhasil lepas. Sosok Ig dan tanduknya adalah gambaran dari perspektif lain akan sesuatu yang selama ini dianggap buruk/jahat. Horns menitik beratkan setan sebagai fallen angel daripada sosok murni jahat. Secara keseluruhan Horns adalah film yang harus anda tonton tanpa banyak berpikir jika ingin bisa menikmati secara maksimal hiburan bodoh yang diberikan Alexandre Aja. Sebuah kejutan yang menyenangkan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar