ASSALAMUALAIKUM BEIJING (2014)
Sesungguhnya saya sudah lelah dengan sajian drama-romansa berbalut sentuhan religi, apalagi yang berembel-embel "diadaptasi dari novel fenomenal". Saya lelah karena kesan menggurui yang terlalu kuat dan dramatisasi percintaan atau konflik agama yang berlebihan. Akhirnya dalam film-film tersebut, kata "agama" dan "cinta" jadi terasa begitu jauh dari jangkauan dan amat sulit untuk diamalkan. Saya mengibaratkan jika manusia adalah pria dan agama/cinta dalam film religi adalah wanita, maka sang pria berasal dari kalangan bawah sedangkan wanitanya adalah sosok yang cantik, kaya raya, baik hati, atau singkatnya high-profile. Sang pria tahu wanita itu adalah dambaan, tapi tentu saja terlalu tinggi untuk sekedar diidamkan. Menurut saya, alangkah lebih mengenanya jika agama dan cinta digambarkan sebagai sesuatu yang low-profile namun bernilai tinggi, sehingga kedua hal itu tidaklah terasa jauh bagi manusia (baca: penonton). Sehingga, pengalaman menonton film cinta berteakan religi tidak lagi terasa seperti menonton fairy tale dari Disney, alias dongeng/mimpi belaka. Jadi alangkah senangnya saat mendapati film garapan Guntur Soeharjanto ini tidak terlalu berlebihan mengemas drama dan religinya seperti yang saya khawatirkan.
Asmara (Revalina S. Temat) tiba-tiba saja membatalkan pernikahannya sehari sebelum dilangsungkan setelah mengetahui bahwa sang calon suami, Dewa (Ibnu Jamil) menghamili wanita lain. Beberapa waktu kemudian, Asmara mendapatkan pekerjaan di Beijing untuk mengisi sebuah rubrik di majalah tentang kehidupan Islam di Cina yang notabene adalah kaum minoritas. Dengan bantuan Sekar (Laudya Cynthia Bella) sang sahabat, Asmara pun mulai menata kehidupan barunya tanpa berpikir banyak tentang jodoh. Tapi takdir justru mempertemukannya dengan seorang pria lokal yang menjadi tour guide bernama Zhongwen (Morgan Oey). Berawal dari pertemuan secara tidak sengaja dalam sebuah bus, keduanya pun semakin rutin menghabiskan waktu bersama di Beijing. Tentu saja cinta perlahan tumbuh diantara mereka, meski harus terhalang oleh perbedaan agama. Rintangan semakin berat saat Asmara tiba-tiba menderita sebuah sindrom pengentalan darah yang berpotensi membuatnya stroke, buta, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Dengan unsur penyakit kronis yang menghalangi hubungan cinta memang film ini terasa seperti sebuah drama Korea. Sesuatu yang disengaja tentunya, bahkan sering diungkapkan oleh karakter Sekar yang begitu terobsesi pada K-Drama. Untungnya dengan formula seperti itu film ini tidak terlalu memaksakan diri untuk menjadi tearjerker. Ada air mata, tapi tidak dieksploitasi secara berlebihan. Ada kesedihan, tapi tidak ada kesan tragedi. Filmnya memanfaatkan unsur religi yang ada untuk membuatnya terasa lebih positif dan tidak cengeng. Kesan itu didukung juga oleh ending yang punya aura positif. Tentu masih ada dialog bertemakan ajaran Islam dan berbagai kalimat romansa penuh rayuan disini, tapi lagi-lagi tidak dalam dosis berlebihan. Dialog "ajaran agama" yang ada tidak membuat saya jengah karena perasaan didikte. Begitu pula dialog percintaannya yang tidak membuat saya ingin muntah. Kalimat demi kalimatnya masih bisa diterima dan masuk akal jika diucapkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan yang masih sadar akan kesederhanaan itu justru membuat dramanya lebih menarik, lebih hangat, dan lebih membuat saya betah untuk menonton. Mungkin tidak semuanya terasa kuat, tidak semuanya tersaji secara mendalam. Tapi setidaknya film ini tidak membuat saya ingin segera melangkah keluar dari bioskop. Malah ada satu momen yang membuat saya cukup tersentuh. Air mata tidak sampai mengalir, tapi ada sedikit getaran rasa saat meihat ketulusan Zhongwen pada Asmara. Kekecewaan terbesar saya pada film ini justru terletak pada kurangnya penggalian terhadap motivasi Zhongwen untuk menjadi mualaf. Pendekatan dalam naskah garapan Alim Sudio terasa memberatkan cinta sebagai faktor utama Zhongwen memeluk Islam. Disinilah Assalamualaikum Beijing jadi terjebak dalam sebuah "penggampangan" yang telah familiar dalam genre drama-religi Indonesia. Padahal dari membaca sinopsis novelnya, ada perenungan dan banyak pelajaran berharga yang didapat Zhongwen sebelum akhirnya menjadi mualaf. Sayang, adaptasinya jadi mengurangi kedalaman motivasi karakter.
Drama sederhananya jadi lebih kuat juga berkat performa dua pemeran utamanya. Revalina S. Temat tentu sudah familiar dengan peran-peran seperti ini. Sosok muslimah tegar berhasil dia hidupkan, dan berkat karakterisasi yang baik juga sosok Asmara tetap manusiawi. Kejutan besar muncul melihat akting Morgan Oey. Tanpa harus sok cool yang justru berujung kekakuan, Morgan berhasil menjadikan Zhongwen sebagai pria charming yang kalem dan memikat. Sama seperti Reva, Morgan juga menjadikan karakternya tetap membumi. Pria yang hangat dan menyenangkan diajak berinteraksi. Hampir tidak ada kesan gestur dipaksakan atau pengucapan dialog penuh kekakuan dalam performanya. Santai, enak dilihat. Tapi mungkin akan lain ceritanya kalau naskah film ini penuh dialog sok puitis. Untung kalimat demi kalimatnya sederhana dan mendukung kualitas akting Morgan sendiri. Mungkin penampilan mengganggu hadir dari Desta yang seolah tampak tersiksa menahan diri untuk tidak melucu. Film ini jelas jauh dari kata sempurna, tapi dengan kesederhanaannya, Assalamualaikum Beijing jadi salah satu drama-romansa religi terbaik dalam beberapa tahun terakhir.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar