LOVE IS STRANGE (2014)
Film
yang disutradarai oeh Ira Sachs ini bertutur tentang dua hal. Pertama adalah
komitmen, dan yang kedua adalah perspektif seseorang akan mereka yang ada di
sekitarnya. Perantara untuk menyampaikan kedua hal itu adalah sepasang gay yang
telah bersama selama 39 tahun sebelum akhirnya menikah, Ben (John Lithgow) dan
George (Alfred Molina). Ben adalah seorang pelukis, sedangkan George mengajar
musik di sebuah sekolah Katolik. Tapi setelah hari pernikahan bahagia yang
dihadiri oleh keluarga-keluarga tercinta, keduanya langsung menghadapi
permasalahan berat. Pernikahan tersebut membuat George dipecat dari
pekerjaannya, dan berdampak pada ketidak mampuan mereka untuk membayar biaya
apartemen. Mau tidak mau mereka pun harus tinggal terpisah. Ben tinggal bersama
keponakannya, Elliot (Darren Burrows) istrinya, Kate (Marisa Tomei) yang
merupakan seorang novelis, dan putera remaja mereka, Joey (Charlie Tahan).
Sedangkan George tinggal di rumah tetangga mereka, dua orang polisi yang juga
pasangan gay.
Perpisahan
tersebut nyatanya begitu berat bagi masing-masing, tidak hanya karena harus
tinggal terpisah dari orang yang begitu dicintai dan telah bersama selama 39
tahun, tapi juga akibat ketidak cocokkan dengan pemilik rumah yang mereka
singgahi. Kate yang sebelumnya terlihat begitu mengagumi Ben dan George karena
kekuatan cinta mereka nyatanya terganggu dengan kehadiran Ben yang membuatnya
tidak bisa berkonsentrasi menulis. Begitu juga dengan Joey yang harus berbagi
kamar dengan sang paman. Sedangkan bagi George, dia merasa tidak betah karena
begitu seringnya diadakan pesta di rumah tempat ia tinggal. Dengan rangkaian
kisah itulah Love is Strange
menjembatani kedua aspek cerita diatas. Cerita tentang komitmen hadir dengan
manis. Melihat dua orang yang saling mencintai, bahkan masih terus merindukan
satu sama lain setelah 39 tahun bersama jelas terasa romantis. Tidak perlu
dilebih-lebihkan. Cukup dengan sentuhan sederhana tentang kerinduan
menghabiskan malam berdua di tempat tidur sudah amat manis.
Timbul
perasaan iba dan simpatik saat pasangan gay ini berada dalam kondisi begitu
tidak berdaya. Kondisi yang ada membuat mereka harus terpisah, mendapat
berbagai permasalahan dan tidak bisa berbuat apapun. Tidak berdaya. Berbagai
hal yang membuat tidur mereka tidak nyenyak di malam hari, tapi film ini
berhasil meyakinkan saya bahwa kegundahan terbesar adalah ketidak sanggupan
menemani satu sama lain, dan di saat bersamaan cinta keduanya adalah pemberi
semangat terbesar untuk tetap bertahan. Semua itu hadir dengan tersirat, tapi
terasa dengan begitu nyata tanpa perlu adanya dramatisasi berlebih. Love is Strange juga merupakan
presentasi memuaskan tentang perspektif kita akan orang lain. Seperti yang
dikatakan Ben, saat tinggal bersama seseorang, kita akan mengetahu orang itu lebih
banyak dari yang kita inginkan. Disaat hanya bersua untuk sesekali kita akan
merasa orang tersebut begitu menyenangkan, ramah, atau baik hati. Tapi begitu
kita tinggal satu atap, tentu saja berbagai hal yang tidak kita sukai mulai
Nampak, dan perselisihan yang tadinya tak terjadi mulai menghampiri.
Tapi
film ini bukannya tanpa cela. Dengan durasi hanya kurang lebih 94 menit,
beberapa hal kurang tersaji maksimal. Salah satu yang paling jelas adalah
ketidak seimbangan porsi antara Ben dan George. Akan terasa tidak masalah jika
ini memang film tentang Ben, tapi Love is
Strange adalah film tentang pasangan tersebut yang membuat porsi George
terasa begitu minim. Hal ini terjadi karena konflik keluarga yang ada di
sekeliling Ben dan tempatnya tinggal memang jauh lebih menarik dari sekedar
pasangan polisi gay yang doyan pesta setiap malam. Konflik antara Ben dengan
Kate maupun Joey punya daya tarik. Keduanya sama-sama kehilangan privasi tapi
memberi respon berbeda. Disaat Kate coba bersabar, Joey yang memang masih
remaja lebih menunjukkan ketidak sukaan secara frontal. Bagaimana konflik
dihantarkan memang baik, tapi disaat konklusi film mengikut sertakan Joey saya
pun merasa hubungan Joey dan Ben kurang tereksplorasi. Akhirnya saat Joey
bersandar di dinding lalu menangis, saya tidak merasakan apapun.
Untungnya
walau secara kuantitas George terasa kurang, secara kualitas masih bisa
“dimaafkan” berkat akting Allfred Mollina. Setiap kemunculannya, ada
kegelisahan dan kesepian yang terpancar jelas di matanya. Hal yang sama juga
ditunjukkan John Lithgow, bahkan bicara soal kerapuhan, Lithgow memberikan
performa menawan. Tapi dengan screen time
yang lebih minim. Mollina saya anggap berada pada tingkat kekuatan akting yang
sama dengan pasangannya tersebut. Chemistry
yang terjalin kuat diantara mereka juga berperan besar dalam menciptakan kesan
manis dan romantis saat Ben dan George tengah bersama. Love is Strange mungkin tidak sebegitu mendalam menyajikan
dramanya, tapi jelas tontonan yang hangat dan manis.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar