SARA & FEI: STADHUIS SCHANDAAL (2018)
Rasyidharry
Juli 28, 2018
Adisurya Abdy
,
Amanda Rigby
,
Anwar Fuady
,
Drama
,
Fantasy
,
Haniv Hawakin
,
Indonesian Film
,
Irfan Wijaya
,
Mikey Lie
,
REVIEW
,
Sangat Jelek
,
Tara Adia
,
Volland Volt
3 komentar
Jika diibaratkan masakan, Sara
& Fei: Stadhuis Schandaal berasal dari gagasan ambisius seorang koki
untuk menciptakan nasi goreng ternikmat dengan cara mengumpulkan seluruh bahan
dan bumbu yang bisa ia temukan di pasar. “Kalau semua bahan baku kucampur,
tentu bakal menciptakan kekayaan cita rasa”, begitu pikirnya. Apa daya, ia
malah kerepotan, kebingungan, dan akhirnya justru kwetiau yang tercipta,
setengah matang pula. Bukan saja tidak enak, esensi dasar nasi goreng, yaitu “NASI”,
turut lenyap. Jadilah bencana. Bencana yang ajaib. Seberapa ajaib? Simak
kutipan dialog berikut, yang melibatkan polisi dan komandannya.
“Lapor
Komandan, Abimanyu berhasil ditangkap, namun tersangka Chiko BERHASIL MELARIKAN
DIRI.”
“Kenapa
bisa begitu?”
“Karena
di saat bersamaan pelaku BERHASIL MELARIKAN DIRI!”
Itu sama saja dengan situasi ketika seorang ibu bertanya pada
anaknya, “Bagaimana bisa nilai ujian kamu jelek?!”, yang dijawab oleh sang
anak, “Karena nilai ujian saya jelek”. Apabila pembicaraan di atas terdengar
bodoh, asal, konyol, dan inkonklusif, itu karena keseluruhan filmnya pun
begitu. Premisnya menarik, mengenai Fei (Amanda Rigby), mahasiswi yang di
tengah risetnya seputar sejarah kota tua Batavia, didatangi sosok misterius
dari masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, seorang wanita
bernama Sara (Tara Adia). Pertemuan itu membuat Fei terlempar ke masa lalu,
menyaksikan langsung skandal perintaan Sara si wanita terhormat dengan Peter
(Mikey Lie) si prajurit rendahan.
Terdapat cukup modal untuk mengawinkan unsur sejarah dengan
fiksi dengan sampul fantasi. Tapi, layaknya koki pada cerita tadi, naskah
buatan Irfan Wijaya bersama Adisurya Abdy (Roman
Picisan, Asmara) yang juga merangkap sutradara, berantakan, tanpa tujuan
pasti. Perjalanan menembus lorong waktu baru terjadi pasca film menginjak 30
menit. Itu pun cuma sejenak, dan dikemas layaknya video presentasi role play murid-murid SMP, diiringi voice over Sara yang terdengar bak guru
sejarah paruh waktu membacakan buku pegangan plus data-data riset dari
internet. Petualangan trio Ustaz Addin-Zidan-Haji Husin di lorong waktu jauh
lebih menghibur meski penuh ceramah.
Sudah begitu, volume suaranya selirih bisikan manja seekor
semut pemalu yang masih bocah. Musik yang sejatinya dimainkan dalam volume
normal pun membabat habis dialog “keilmuwan” yang diucapkan para pemain dengan
tingkat semangat mendekati nol. Jangan buat saya membahas pilihan musik “eksentrik”
dari Adisurya Abdy, yang bagai diambil dari katalog tembang nostalgia. Juga
jangan buat saya mempertanyakan alasan Danny (Volland Volt)—pria yang disukai
Fei meski merupakan rekan kerja ayahnya—menyanyikan Naik Kereta Api kala sedang menggendong Fei.
Padahal, di suatu wawancara, sang sutradara menyebut film ini
diharapkan mampu menggaet ketertarikan generasa millenial, tapi selera
estetikanya jelas berlawanan dari tujuan tersebut. Senjata lain guna memikat
penonton masa kini adalah pemakaian CGI. Ada CGI untuk salju, CGI untuk meriam,
CGI untuk benteng, CGI untuk jendela benteng, bahkan sebagai bentuk totalitas,
ruang sederhana yang hanya diisi meja, kursi, serta rak berisi buku-buku pun
CGI. Mengapa tidak semua lokasi, bahkan karakternya dibuat memakai CGI? James
Cameron pasti bangga.
Sara & Fei:
Stadhuis Schandaal sanggup
melanglang buana mengambil gambar sampai ke Cina, namun membangun set sederhana
untuk halaman benteng beserta sebagian kecil isinya saja tak bersedia. Tunggu?
Kenapa film ini turut menyertakan latar Cina? Sebab di situlah Fei dan Danny
bertemu. Jika merasa itu membuat fokus kisahnya melebar, tunggu sampai anda
bertemu Chiko (Haniv Hawakin), mantan kekasih Fei yang dipekerjakan pebisnis
kotor, Abimanyu (Anwar Fuady), untuk meretas sistem perusahaan saingannya. Apa
yang diretas menjadi tanda tanya, mengingat ketika Chicko beraksi, kita hanya
melihat layar komputer berisi angka serta grafis acak, dan sebuah screen saver bergambar Matrix Digital Rain.
Kisah sejarah, fantasi, romansa, cerita kriminal, drama
keluarga, tak heran kalau adonan film ini berantakan. Belum lagi penyuntingan
gambar Bimmo DJ (Miss Call, Nyai Ahmad
Dahlan) kerap semaunya, di mana adegan acap kali berpindahh meski kalimat
atau gerakan karakternya belum tuntas. Kasar dan asal. Jujur saya sedih sekaligus
geli melihat Sara & Fei: Stadhuis
Schandaal. Rasanya seperti melihat bapak-bapak paruh baya, sedang berusaha
terlihat modern dan asyik dengan aktif mengirim gambar atau video di grup WhatsApp keluarga. Akhirnya, saat
konsumen nasi goreng yang disuguhi kwetiau tadi bertanya “Nasinya mana???”,
saya pun berujar, “Mana unsur sejarah yang bisa dipelajari?”.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:"James cameron pasti bangga" jirrrr ngakak sumpah..., tapu emng sih pas liat kilasan filmnya aja ..sumpah pngn muntah..dan medioker
Sempat mau nonton ini karena hampir kecele, kirain yg main Tatjana Saphira dan ternyata bukan.. Dan cek trailernya pun bikin sakit mata.
Anjeeer Tatjana Saphira. Lebih mirip Prilly ini :D
Posting Komentar