ADRIFT (2018)
Rasyidharry
Agustus 01, 2018
Aaron Kandell
,
Adventure
,
Baltasar Kormákur
,
Cukup
,
David Branson Smith
,
Jordan Kandell
,
REVIEW
,
Romance
,
Sam Claflin
,
Shailene Woodley
1 komentar
Sepasang kekasih (or
soo-to-be one) berenang di telaga. Mereka tertawa ditemani matahari yang bersinar
dari kejauhan, memberi kesan romantis hangat di musim panas yang hangat,
sementara Where’s My Love milik SYML
mengalun lembut di belakang. Elemen-elemen audiovisual tersebut dikemas
mengikuti aturan dasar “How to make a
romantic scene”. Keseluruhan Adrift
mengikuti aturan dasar, memilih bermain aman, namun itulah mengapa filmnya
bekerja dengan baik. Sutrdara asal Islandia, Baltasar Kormákur (Contraband, 2 Guns, Everest), hanya
perlu menangani hal-hal esensial di tengah proses produksi berat di tengah
lautan yang memakan waktu beberapa minggu.
Adrift merupakan adaptasi buku non-fiksi Red Sky in Mourning: A True Story of Love,
Loss, and Survival at Sea buatan Tami Oldham Ashcraft dan Susea McGearhart,
yang mengangkat perjuangan Tami bertahan hidup di laut lepas selama 41 hari
pasca kapalnya mengalami kecelakaan. Pertama kita bertemu Tami (Shailene
Woodley), kapalnya telah rusak parah dihantam badai. Dia berteriak, mencari
tunangannya, Richard (Sam Claflin). Keduanya sedang berlayar dari Tahiti menuju
San Diego, dalam rangka mengantarkan kapal pesiar “Hazana” ketika Badai Raymond
menerjang. Lalu kita dibawa mundur menuju momen pertemuan mereka.
Skenario garapan Aaron Kandell, Jordan Kandell, dan David
Branson Smith menggunakan narasi non-linier, melompat antara dua linimasa:
perjuangan di tengah laut dan kebersamaan bahagia Tami-Richard. Pilihan bentuk
itu bertujuan menguatkan dampak emosi, di mana berulang kali, sesaat setelah mengunjungi
kebahagiaan, kita segera dilempar menuju penderitaan. Tidak selalu berjalan
mulus, tapi chemistry Woodley dan
Claflin cukup kuat untuk tampak meyakinkan sebagai pasangan yang sama-sama
yakin telah menemukan tambatan akhir masing-masing. Menyenangkan melihat mereka
bersama, dan itu menguatkan pesan filmnya, yakni mengenai cinta yang memberi
kekuatan.
Poin utamanya memang bukan soal detail bertahan hidup, walau
sesekali kita melihat apa yang Tami lakukan, dari mengembangkan layar,
mengumpulkan sisa makanan, atau memperbaiki kerusakan di sana-sini. Adrift bukan tentang apa yang Tami
lakukan, melainkan apa yang mendorongnya melakukan itu. Apa yang menyuntikkan
kekuatan, apa yang menyokongnya supaya senantiasa berdiri walau berulang kali
dijatuhkan. Jawabannya tentu saja “cinta”. Sounds
too cheesy? Probably, you haven’t found true love then.
Woodley memerankan karakternya dengan baik. Karakter yang menyatakan
keengganan untuk pulang, sampai semesta mengabulkan permintaan itu, yang justru
menjadikan keinginannya kembali ke rumah lebih besar dari sebelumnya. Karakter
yang ingin mengarungi samudera tanpa ujung dengan cinta selaku layar penggerak
sekaligus jangkar yang menjaganya bertahan di realita. Performa itu sayangnya
direcoki keputusan para penulis naskah sepenuhnya menanggalkan kesubtilan
bertutur. Woodley dituntut menyebutkan hampir semua yang ia lihat, rasakan, dan
peristiwa apa yang sedang terjadi selaku alat penjelas kepada penonton, walau
di banyak kesempatan, bahasa visual saja sudah cukup. Kadang sang aktris nampak
bak sedang bermain di B-movie, di
mana karakternya meneriakkan detail segala peristiwa.
Babak pertengahannya sewaktu rintangan yang karakternya
hadapi semakin terjal, Adrift justru
seolah terhanyut dalam pola penceritaan aman miliknya. Fase ini menentukan bagi
penonton, apakah memilih menyerah dalam dinamika yang perlahan surut, atau
tetap bertahan, berlayar memasuki klimaks yang bakal mencengkeram kuat. Kormákur
mengurung protagonisnya dalam badai raksasa dibungkus efek visual meyakinkan
serta tata suara bombastis, sementara saya di bangku penonton dibuat tak
berdaya dicengkeram ketegangan, meski intensitasnya sesekali naik-turun akibat
lompatan latar waktu alurnya. Karena mendadak pindah ke laut tenang jelas
menurunkan tensi, sehinnga perlu usaha lebih untuk melambungkannya kala filmnya
kembali memasuki gempuran badai.
Konklusinya menyentuh, sekali lagi berkat kemampuan Baltasar
Kormákur menangani elemen-elemen formulaik. Menyoroti soal memori, sambil
(lagi-lagi) ditemani alunan lagu akustik manis, kali ini Picture in A Frame-nya Tom Waits, Kormákur sukses membangun penutup
emosional. Bukan disebabkan pembangunan konsisten yang terbayar lunas,
melainkan kepandaian sang sutradara memanipulasi rasa melalui formula. Bukan
cara pintar apalagi segar, tapi efektif. Adrift
pun bukan film luar biasa, tapi jelas tontonan yang bekerja dengan baik.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:bikin penasaran padahal jarang tertarik sama film tipe survive gini, review Inuyashiki dong mas film superhero Jepang, mumpung lagi banyak yg ngomongin apalagi Jepang jarang produksi film bertipe superhero gini walau adaptasi asli dari manga dan anime.
Posting Komentar