TUSK (2014)
Rasyidharry
Januari 01, 2015
Comedy
,
Haley Joel Osment
,
horror
,
Justin Long
,
Kevin Smith
,
Kurang
,
Michael Parks
,
REVIEW
Tidak ada komentar
Kevin Smith membuat body horror? Mungkin ini memang bukan pertama kalinya sang sutradara membuat horror dimana tahun 2011 lalu ia sempat merilis Red State yang notabene adalah gabungan action dengan horror. Tusk sendiri masih menyimpan sentuhan komedi yang jadi langganan Smith, tapi tetap saja, body horror adalah konsep yang kental dengan suasana mengerikan cenderung menjijikkan saat tubuh karakter dalam film mulai berubah karena berbagai sebab, bisa mutasi, mutilasi, sampai penyakit. Sedikit mengejutkan, tapi tidak sepenuhnya meragukan. Kevin Smith punya kelebihan pada cara berpikirnya yang gila dilihat dari acara podcast miliknya. Jadi bisa saja film ini merupakan katarsis kegilaannya. Bukankah David Cronenberg yang seorang master of body horror kini bisa bertransformasi menjadi pembuat drama satir nan sureal? Apalagi keberadaan Johnny Depp yang kabarnya bersedia tampil secara gratis makin menambah daya tarik. Jika Tom Six punya kisah tentang manusia yang dirubah menjadi kelabang, maka Kevin Smith punya transformasi manusia menjadi walrus.
Wallace (Justrin Long) dan Teddy (Haley Joel Osment) adalah duet pemandu acara podcast bernama The Not-See Party yang mengkhususkan pada lelucon kasar untuk mengolok-olok berbagai macam video konyol di internet. Tidak ada yang selamat dari olok-olok mereka. Bahkan seorang remaja yang tidak sengaja memotong kakinya dengan samurai pun menjadi bahan banyolan. Demi mewawancarai remaja itu, Wallace pun pergi ke Kanada, dimana dia mendapati hal mengejutkan karena targetnya itu telah tewas bunuh diri. Tidak ingin pulang dengan tangan kosong, Wallace berusaha mencari cerita aneh lainnya untuk dibawa. Saat itulah ia menemukan sebuah kertas di toilet yang intinya menceritakan seorang pria tua dengan berbagai petualangan menarik selama hidupnya. Tanpa berpikir dua kali ia pun langsung menuju rumah sang pria bernama Howard Howe (Michael Parks) tersebut. Dirumah Howard yang terletak di pinggiran kota, keduanya pun mulai saling bertukar cerita, termasuk kisah petualangan mencengangkan sang pria tua mulai dari pertemuannya dengan Hemmingway sampai saat ia terdampar di pulau kosong dan diselamatkan seekor walrus. Wallace tidak menyadari bahwa ia telah menjadi sasaran berikutnya dari aksi kejam nan gila dari Howard.
Film ini cukup ambisius, setidaknya bagi standard seorang Kevin Smith. Dasarnya adalah body horror yang berarti fokus terbesar ada pada menghadirkan kengerian yang shocking. Tapi disisi lain ada komedi satir tentang banyak hal yang diselipkan oleh Smith. Belum lagi sentuhan drama yang berusaha diarahkan menuju tragedi. Ambisi besar itu sayangya justru berujung pada ketidak maksimalan serta fokus film yang kurang terarah. Mari kita mulai membahas horror-nya terlebih dahulu. Bagi saya keasyikan genre body horror adalah saat dibuat tertegun bahkan jijik melihat transofrmasi manusia menjadi sosok yang amat berbeda. Melihat sedikit demi sedikit bagian tubuh seorang karakter berubah dengan keanehan dimana-mana adalah kesenangannya. So, basically it's all about the process. Sebagai contoh lihat The Fly-nya David Cronenberg yang merupakan salah satu body horror terbaik. Kita tidak melihat karakter utama menghilang beberapa saat untuk kemudian muncul lagi telah berubah seutuhnya menjadi monster lalat. Tapi kita diajak untuk melihat secara detail, secara perlahan bagaimana satu per satu anggota tubuh yang berubah. Kesakitan, penderitaan dan kegilaan sang karakter akhirnya ikut menular pada penonton, bertambah rasa jijik.
Tapi Tusk tidak melakukan itu. Kita hanya melihat Wallace yang tidak sadarkan diri, lalu kakinya telah diamputasi. Kemudian dia tidak sadarkan diri lagi, kita melihat Howard tengah menjahit sesuatu (yang kita tahu adalah tubuh Wallace tapi tidak diperlihatkan secara nyata), dan akhirnya kita sudah langsung melihat Wallace secara total sebagai seekor walrus. Saya tidak paham alasan Kevin Smith melakukan itu, karena jika untuk meminimalisir grafis yang sadis, bukankah disitu poin utama body horror? Ketiadaan momen transformasi secara mendetail membuat durasi 102 menit yang ada jadi lebih banyak diisi hal lain diluar body horror seperti obrolan antar karakter, romansa yang berisi obrolan antar karakter, sampai investigasi menghilangnya Wallace yang lagi-lagi diisi obrolan antar karakter. Pada akhirnya daripada sumpah serapah, saya lebih sering dibuat bosan karena itu. Kemudian masuk ke aspek komedi. Komedi adalah bagaimana cara Smith mengisi momen kekosongan saat horror tidak sedang hadir. Sosok Justin Long jadi fokus utama aspek ini, untuk digantikan oleh Johnny Depp setelah Long menjadi seekor walrus. Justin Long cukup lucu dengan gaya sesukanya itu, meski lebih sering terasa annoying. Johnny Depp? Lagi-lagi ia berperan sebagai karakter aneh meski tanpa make-up tebal. Yang jelas ia tidak lucu.
Kevin Smith berusaha memberikan satir dan ironi disini saat memperlihatkan Wallace yang tidak segan mengejek orang cacat bahkan berkata "aku tidak segan kehilangan kakiku kalau bisa tenar seperti dia" dan akhirnya berakhir menjadi seekor walrus. Masih ada hal lain seperti hubungan Amerika Serikat dengan Kanada, bahkan membicarakan tentang kemanusiaan seorang manusia. Satir itu harus cerdas dalam mengkritik yang akhirnya memberikan kesan menggelitik, dan Tusk sama sekali tidak cerdas. Lagi-lagi terjadi kegagalan akibat ambisi besar Kevin Smith sendiri. Beberapa momen komedi mampu membuat saya tertawa singkat, tapi tidak sedikit juga yang terlalu bodoh. Contoh terbaik adalah klimaksnya. Jika anda merasa premis tentang manusia yang berubah menjadi walrus sudah absurd, tonton klimaks film ini. Saya dibuat speechless...in a negative way. Keanehannya masih belum sampai taraf so bad, it's good. Hanya bodoh. Semakin terasa aneh disaat hal yang paling terasa seusai filmnya usai adalah drama. Sepanjang film mungkin tidak ada yang terlalu mengena baik itu romansa ataupun filosofi tentang manusianya. Tapi begitu usai, ada sedikit perasaan tragis yang masih terngiang dalam benak saya tentang manusia yang kehilangan segalanya setelah menyia-nyiakan semua itu selagi masih ada kesempatan. Hal itu menyelamatkan film ini sehingga tidak menjadi sebuah bencana, tapi masih merupakan kekecewaan besar.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar