ROB THE MOB (2014)
Ada sepasang kekasih yang sedang membutuhkan uang. Dahulu mereka sempat menjadi seorang perampok kelas teri dan akhirnya harus mendekam dalam penjara. Begitu keluar, meski telah mendapat pekerjaan mereka sadar penghasilan yang didapat tidaklah cukup untuk menghidupi keduanya. Akhirnya, sang pria mendapat ide untuk merampok sejumlah social clubs tempat kawanan mafia New York berkumpul. Meski terdengar berbahaya, alasan mereka berani bertindak gila itu cukup "beralasan". Pertama, semua club itu tidak memperkenankan pengunjungnya membawa senjata dala bentuk apapun. Kedua, mafia tidak akan melapor pada polisi jika uang mereka dirampok. Ketiga, mungkin para mafia akan mencari mereka untuk dibunuh, but everybody dies. Terdengar gila dan mengada-ada? Wajar saja, bahkan sutradara Raymond De Felitta yang membuat film ini mengatakan sendiri bahwa sangat konyol jika ada orang yang mengarang cerita tersebut. Tapi pada kenyataannya, kisah gila diatas merupakan kenyataan. Rob the Mob yang bertutur tentang cerita tersebut memang didasari oleh kisah nyata tentang Tommy Uva (Michael Pitt) dan Rosie Uva (Nina Arianda) yang melakukan itu semua pada awal 90-an sebelum ditembah mati oleh mafia pada malam natal 1992.
Tanpa perlu disebutkan oleh filmnya sekalipun, sosok Tommy dan Rosie akan terasa seperti Bonnie dan Clyde. Sepasang kekasih yang saling mencintai, mengabdikan hidup untuk satu sama lain dan melakukan perampokan bersama, merubah tindak kriminal menjadi sebuah romansa yang begitu menyentuh hati. Di kehidupan nyata, sosok Tommy dan Rosie pun disandingkan dengan Bonnie dan Clyde, yang berarti Rob the Mob punya "tanggung jawab" untuk mengemas kisahnya seperti itu. Tapi Raymond De Felitta tidak sepenuhnya berhasil mengedepankan romansa yang terjalin antara dua karakter utamanya. Sepanjang film kita memang diajak untuk melihat bagaimana Tommy dan Rosie berusaha memperbaiki hidup mereka. Kita pun dibuat merasakan bahwa mereka adalah pasangan yang gila tapi saling mencintai. Lihat Michael Pitt dn Nina Arianda. Dari keduanya jelas terpampang sepasang kekasih yang putus asa, saling mencintai, nekat, bodoh, tidak pikir panjang, gila. Keduanya memang menjadi gambaran sempurna dari esensi kisah Tommy dan Rosie, tapi tidak begitu dengan pengemasan filmnya.
Secara keseluruhan, momen yang mampu membuat penonton berujar "it's so romantic" hanyalah beberapa menit montage menjelang film berakhir. Dampaknya, saat memasuki ending, tidak begitu terasa kesan "romansa tragis" yang coba dibangun. Tapi untungnya Rob the Mob punya kelebihan lain yang ditawarkan, membuat saya bisa memaafkan kekurangan pada aspek romansanya. Sebagai sebuah film kriminal berlatarkan para mafia kota New York, apa yang hadir cukup unik. Kita diajak melihat sisi lain para mafia. Meski masih tampak sebagai sosok yang tidak segan membunuh demi tercapainya tujuan dan punya kekeluargaan yang erat, mafia disini lebih sering muncul sebagai sisi yang lemah. Mereka dipermalukan oleh perampok amatir, mereka (literally) ditelanjangi, bahkan mereka harus bersusah payah hanya untuk mencari sasaran yang tinggal hanya tiga blok dari salah satu social club mereka. Satu lagi hal yang begitu saya sukai adalah bagaimana para mafia ini tetap ditampilkan sebagai sosok yang punya harga diri dan merupakan family man. Setidaknya itulah yang terasa dalam sosok Big Al (Andy Garia). Hilangkan statusnya sebagai bos mafia, da Big Al hanyalah seorang ahli memasak masakan Italia dan kakek yang begitu menyayangi cucunya.
Untuk menyimpulkan apa yang coba disampaikan oleh film ini, cukup dengan dua hal yang diugkapkan oleh Big Al. Pertama, "you pay the price for the things you do wrong". Pada akhirnya semua karakter yang ada membayar setiap perbuatan yang mereka lakukan. Kalau ditelaah lagi sebenarnya hampir semua orang yang ada disini punya keburukan atau kesulitan hidup di masa lalu. Kemudian semuanya mendapatkan kesempatan kedua yang dimanfaatkan secara berbeda oleh masing-masing dari mereka. Ungkapan kedua dari Big Al adalah prinsipnya bahwa untuk memasak Arancini yang enak, hal paling penting adalah cinta. Jadi, pada dasarnya apa yang terjadi pada Rob the Mob memang didasari oleh cinta. Tommy dan Rosie melakukan perampokan atas nama cinta mereka, sedangkan dalam sebuah monolog tentang backstory-nya, Big Al bertutur bahwa salah satu penyebab dia akhirnya menjadi seorang bos mafia adalah rasa sayang akan keluarganya. Big Al begitu ingin menghidupi keluarganya, bahkan sekedar membelikan sepeda bagi puteranya memberikan kebahagiaan luar biasa.
Melihat kegilaan Tommy dan Rosie memag amat menghibur, belum lagi ditambah sentuhan komedi yang seringkali hadir saat Tommy melakukan perampokan. Sebagai seorang amatiran, selalu ada hal-hal diluar dugaan yang dia alami, seperti ketidak mampuannya menggunakan senjata otomatis, tidak tahu harus berkata apa saat merampok, sampai mendapati bahwa target perampokannya hanya berisi tiga orang tua yang bahkan sudah sulit untuk sekedar berjalan. Semua itu adalah sentuhan komedi menyegarkan yang cukup efektif menghidupkan suasana. Mungkin Rob the Mob kurang berhasil memaksimalkan unsur traged-romansa yang hadir pada kedua karakter utama, menjadikannya bukan sebuah film yang mendalam. Tapi film ini masih berhasil menjadi hiburan super menyenangkan. Penuh kegilaan dan hal-hal yang mungkin sulit diterima, tapi pengemasannya sebagai based on true story secara tidak langsung membuat saya sebagai penonton bisa menerima itu. Seperti yang dikatakan Coen Brothers saat menyelipkan kalimat based on true story dalam Fargo (which is not), penggunaan kalimat itu bisa membuat penonton lebih menerima hal-hal aneh diluar nalar yang hadir dalam film.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar