STILL ALICE (2014)
Apa yang terjadi jika seseorang kehilangan sesuatu paling penting yang mendefinisikan jati dirinya, sesuatu yang begitu ia cintai? Ibaratnya atlet sepak bola kehilangan kontrol akan kedua kakinya. Menyedihkan, tragis, bahkan bukan tidak mungkin pada suatu titik orang tersebut lebih ingin mati saja. Pertanyaan lebih jauh, apakah dia masih merupakan sosok yang sama setelah kehilangan tersebut? Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Lisa Genova ini berisikan hal-hal di atas. Dr. Alice Howland (Julianne Moore) adalah seorang ilmuwan ternama dalam bidang komunikasi sekaligus pengajar di Columbia University. Dia menghabiskan kesehariannya untuk bekerja, mulai dari mengajar sampai menjadi pembicara di berbagai tempat. Keluarganya pun adalah keluarga yang "intelek" dimana masing-masing punya sisi akademis tinggi, kecuali salah satu puterinya, Lydia (Kristen Stewart) yang ingin mengejar mimpi sebagai aktris. Sampai suatu hari kenyataan pahit menghantam Alice dan keluarganya disaat ia didiagnosa menderita alzheimer. Mengejutkan, karena hal itu amat jarang terjadi pada seseorang di usia semuda Alice.
Dampak dari penyakit itu pun perlahan mulai dirasakan Alice, dimana dia semakin kesulitan mengingat banyak hal, mulai dari kata-kata ilmiah yang ia gunakan saat mengajar, sampai hal mendasar seperti jalan pulang. Akhirnya nanti akan tiba waktunya dimana Alice tidak bisa lagi mengingat kata-kata dasar untuk sekedar berkomunikasi, dan akan melupakan berbagai aspek yang ada dalam hidupnya. Duo sutradara Richard Glatzer dan Wash Westmoreland bisa saja memilih jalan mudah dalam mengadaptasi Still Alice. Bermodalkan karakter dengan alzheimer, sebuah drama melankolis penguras air mata. Penonton bisa dengan mudah ditarik dengan mengeksploitasi kesedihan saat sang karakter utama mulai tidak bisa mengingat hal-hal dalam hidupnya, termasuk orang yang ia cintai. Tengok saja The Notebook atau A Moment to Remember dari Korea yang sukses menjadi sebuah tearjerker. Tapi nyatanya mereka berdua memilih cara yang lebih sulit dan akhirnya berujung pada keberhasilan yang lebih. Mungkin film ini menyedihkan, tapi tidak mengeksploitasinya. Bahkan memberikan penghormatan bagi para penderita alzheimer diluar sana lewat perjuangan Alice.
Yang membuat film ini tidak berkesan cengeng sekaligus sanggup menjadi sebuah tribute ada pada sosok Alice. Dia adalah seorang wanita yang tidak hanya pintar, tapi juga kuat. Daripada menyerah, ia memilih untuk mencoba segala hal untuk bisa tetap menjalani hidup senormal mungkin walaupun tidak mampu mengingat hal-hal sederhana. Tentu masih ada kesedihan dan air mata, tapi itu tidak lebih dari sekedar luapan emosi yang manusiawi. Air mata bukanlah suatu fokus utama dalam film ini. Bagaimana Alice dan keluarganya coba menghadapi kesulitan inilah fokus utamanya. Hal itu sejalan dengan sebuah kalimat yang diucapkan Alice saat berpidato di depan para penderita alzheimer. Dia berkata "aku tidak menderita, tapi berjuang". That's the spirit of this movie. Memanfaatkan sosok karakter utama yang pintar, film ini juga sanggup menggambarkan perjuangan itu menjadi sesuatu yang amat menarik saat penonton diajak mengamati berbagai cara yang dipakai Alice. Melihat Alice mencatat kata-kata untuk dihapalkan sampai membuat video panduan tidak hanya menarik, tapi juga terasa getir dan berhasil menarik simpati.
Tidak hanya pada Alice seorang, kita pun diajak merasakan kesulitan dan kesedihan yang terjadi pada keluarganya secara menyeluruh. Masing-masing dari mereka merasakan impact yang berbeda-beda tapi begitu kuat meski supporting character film ini jelas punya porsi tidak sebanyak karakter utamanya. John (Alec Baldwin) sang suami terpukul pada kenyataan sang istri yang ia cintai tampak menyedihkan. Tapi lebih dari itu, John kehiangan sosok wanita cerdas yang telah menjadi partnernya. Kita pun akan bisa memahami saat John mulai semakin sering menyibukkan diri dalam pekerjaan karena tidak kuasa melihat penurunan kondisi Alice. Pada sang puteri sulung, Anna (Kate Boesworth) ada rasa takut sebagai carrier anak-anaknya nanti juga akan menderita alzheimer. Disisi lain ia pun kehilangan sosok ibu yang ia kagumi sekaligus sosok pegangan baginya. Tapi pada diri Lydia-lah film ini menyampaikan tribute dengan begitu besar. Film semacam ini bisa jatuh dalam stereotype dimana karakter utama menjadi sosok yang di-spesialkan dan lemah karena penyakitnya. Gambaran perjuangan Alice menghilangkan itu, dan semakin diperkuat dengan hubungannya dengan Lydia. Disaat anggota keluarga lain bereaksi penuh simpati dengan kondisi Alice, Lydia "sebaik itu" yang menimbulkan sedikit perselisihan antara ia dengan Anna.
Ada empati, tapi disisi lain Lydia tetap kukuh dengan pendiriannya. Disaat orang lain mungkin akan menurunkan ego atau memanjakan Alice, Lydia tidak segan untuk berkonfrontasi dengan sang ibu. Dia tidak bersedia menanggalkan impiannya "hanya" demi menuruti keinginan ibunya yang sakit. Bahkan ia tidak memanjakan Alice, terlihat pada adegan saat ia tetap membuat sang ibu mencatat jadwal pementasan teaternya disaat Anna melarang itu. Tapi kita bisa meihat dengan jelas bahwa Lydia amat menyayangi sang ibu, bahkan bisa jadi melebihi orang lain dalam keluarga. Tapi bukankah begitu banyak orang dengan kekurangan yang tidak ingin diperlakukan spesial? Bukan karena harga diri, tapi sebuah pembuktian bahwa mereka tidak berbeda dengan orang normal lainnya. Disinilah bentuk penghargaan terbesar film ini pada penderita alzheimer. Kesan tersebut turut hadir berkat akting kuat Kristen Stewart. Sekarang bukan saatnya lagi berkata bahwa sang aktris telah berhasil membuktikan ia mampu berakting. Karena sama seperti alumnus Twilight lainnya yaitu Robert Pattinson (don't mind Taylor Lautner) sudah sejak lama Kristen Stewart memperlihatkan kualitas aktingnya. Hanya saja banyak orang-orang yang masih menutup mata tidak peduli.
Disini ada kedalaman kompleks berhasil ia tunjukkan, saat keras kepala dan kepedulian ia sajikan pada saat bersamaan. Tentu saja bintang utamanya adalah Julianne Moore yang saya yakin bakal memenangkan Oscar pertamanya. Kita bisa melihat jelas penderitaan terpancar dari matanya. Tangisannya bukan sekedar pamer air mata tapi teriakan kesedihan sekaligus rasa takut yang meledak begitu kuat. Saat ia tidak lagi bisa menyebut benda sederhana seperti spidol (ia sebut sebagai this yellow thingy) hal itu terasa meyakinkan, seolah ia benar-benar tidak tahu apa itu. Paling luar biasa adalah transformasi Moore khususnya saat sosok Alice benar-benar secara total sudah tidak berfungsi lagi memorinya. Ada sebuah momen menyentuh di akhir saat dengan senyum dan mata berkaca-kaca ia tidak bisa lagi mengungkapkan sepatah katapun...kecuali "love". Karakter yang kuat dan pengemasannya menjadikan Still Alice sebuah drama penuh perjuangan yang tidak cengeng namun bisa begitu menyentuh bahkan menyedihkan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Sama kayak Richard Linklater, Julianne Moore hrus mnang thun ini
Moore udah pasti menang sih, Linklater entahlah. 50/50
Posting Komentar