THE BETTER ANGELS (2014)

Tidak ada komentar
"The Better Angels" is Terrence Mallick's movie not directed by Terrence Mallick. Penempatan kamera low-angle yang menciptakan kesan wide dan megah, eksploitasi lighting natural termasuk cahaya matahari yang benderang di belakang karakter, menjadikan alam sebagai sentral melebihi sosok manusianya, wanita menari kesana kemari diikuti pergerakan kamera yang seolah melayang, penggunaan voice over lirih daripada dialog, sampai selipan religius adalah segala hal yang selalu kita temui dalam karya Mallick khususnya tiga film terakhir (The New World, The Tree of Life & To the Wonder). Apa saja yang saya sebutkan diatas juga terdapat dalam debut penyutradaraan A.J. Edwards yang berkisah tentang masa kecil Abraham Lincoln. Dinarasikan oleh sepupu Lincoln yang sudah tinggal dengannya sedari kecil, Dennis Hanks (Cameron Mitchell Williams), The Better Angels dibuka dengan suasana Lincoln Memorial yang megah nan sunyi sebelum berpindah ke sebuah hutan di Indiana pada tahun 1817.

Lincoln (Braydon Denney) saat itu masih berusia delapan tahun dan tumbuh sebagai anak pendiam yang suka menyendiri. Ayahnya, Thomas Lincoln (Jason Clarke) adalah tukang kayu sekaligus petani jagung digambarkan sebagai seorang ayah yang baik, walaupun sering bersikap keras (ex: hukum cambuk atau larangan makan malam bagi Abe) tapi ia tidak doyan mabuk-mabukan dan berjudi seperti kebanyakan pria pada masa itu. Sang ibu, Nancy (Brit Marling) adalah wanita religius yang amat menyayangi Abe. Meski harus hidup miskin dan membuatnya tidak bisa membaca, Nancy sadar sang putera punya bakat besar. Pemikiran itulah yang mendorongnya untuk membujuk sang suami supaya menyekolahkan Abe, meski akhirnya Thomas menolak. Menurutnya, sang putera akan lebih banyak belajar dengan bekerja di hutan. Tapi kita semua tahu bocah pendiam yang miskin ini kelak bakal menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat, bahkan salah satu Presiden terbaik sepanjang masa.

"All that I am, or hope to be, I owe to my angel mother" Sebaris kalimat itu membuka film ini, dan kita tahu kata "angels" pada judul film merujuk pada siapa. Ini adalah cerita seorang anak yang tumbuh menjadi orang hebat seperti yang kita tahu berkat segala cinta , kasih sayang, serta pelajaran dari sang ibu. Untuk Abraham Lincoln sendiri, ada dua sosok ibu dalam hidupnya. Pada 1818, Nancy meninggal dunia akibat keracunan susu. Nancy mengajarkan tentang Tuhan, harapan, dan berulang kali meyakinkan sang putera bahwa ia anak berbakat. Setahun kemudian, hadirlah Sarah (Diane Kruger) dalam kehidupan Abe setelah ayahnya menikah lagi. But she's not that wicked step-mother "cliche". She's another angel for Abraham Lincoln. Seperti yang terucap dalam sebuah dialog, Sarah tidak pernah mencoba menggantikan sosok Nancy, tapi ia akan mencintai Abe sebesar cinta mendiang ibunya. Sarah digambarkan sebagai sosok yang melanjutkan impian Nancy, yakni menyekolahkan Abe, membuatnya berpeluang meraih penghidupan lebih baik.
The Better Angels menggambarkan sosok ibu layaknya malaikat, dan untuk itu filmnya berhasil. Melihat kedua yang secara paras tentu saja cantik itu tersenyum, berlarian di tengah hutan dan ilalang, mengucapkan kalimat demi kalimat penuh rasa cinta lewat nada lirih adalah cara film ini berhasil melakukan itu (sama seperti bagaimana Mallick merubah Jessica Chastain menjadi malaikat dalam The Tree of Life). Saya merasakan casting sempurna untuk karakter Nancy dan Sarah, meski penggunaan Diane Kruger terasa sebagai historical inaccuracy mengingat dari berbagai gambar, Sarah Bush Lincoln tidaklah secantik itu. Tapi karena hal itu dilakukan sebagai penyesuaian mood serta rasa (yang berhasil), saya memaklumi. 

Bicara soal mood, layaknya Mallick, The Better Angels pun dikemas bukan sebagai plot-driven melainkan mood-driven. Filmnya mengalir tanpa ada alur yang menggiring penonton. Tentu ada beberapa momen episodik untuk menuturkan apa yang tengah terjadi, tapi mayoritas filmnya bergerak liar, terasa mengawang tanpa ada sedikitpun narasi yang menahan saya untuk tetap fokus. Kebahagiaan dituturkan dengan memperlihatkan karakternya berlarian penuh canda tawa di tengah hutan, sedangkan kesedihan dibangun saat karakternya berdiri diam, memandang kosong seperti tengah membuka kembali memori masa lalu yang menimbulkan rasa haru dalam duka. Sangat Mallick tentu saja, mengingat ia adalah orang yang melakukan banyak riset untuk film ini, bahkan sempat berencana menyutradarainya sendiri sebelum diserahkan pada A.J. Edwards. Mallick sendiri duduk sebagai salah satu produser. 
Edwards juga bukan orang baru bagi Mallick. Dia adalah second unit director dan co-editor dalam The Tree of Life, To the Wonder, serta Knight of Cups yang akan segera rilis. Dengan posisi tersebut, dapat disimpulkan ia merupakan salah satu orang kepercayaan Mallick, serta termasuk yang paling dekat dengannya saat proses produksi. Maka tidak heran treatment yang diadposi begitu mirip (kalau tidak boleh dibilang sama persis). Satu-satunya pembeda adalah pemilihan warna hitam putih yang entah bertujuan untuk membangun kesan masa lampau, atau sekedar untuk menjauhkan diri dari kesan "sangat Mallick". Dengan cerita seputar keluarga dimana sang ayah menjadi sosok keras namun sebenarnya penuh cinta, dan sang ibu bagaikan malaikat, The Better Angels semakin serupa dengan The Tree of Life. Tapi Edwards melupakan poin penting masterpiece tersebut, yakni cerita kuat. The Tree of Life bisa begitu berkesan bukan hanya karena gambar indah dan kesan filosofis, tapi juga drama keluarga yang dalam. Cinta, sedih, duka, kematian, semuanya bisa dirasakan penonton karena ada pondasi kuat. 

Sedangkan film ini hampir 100% bergantung pada mood, membuatnya lebih dekat dengan To the Wonder secara interpretasi penggarapan. Masalahnya, To the Wonder memang nampak diniati seperti itu dari awal. Kita tidak butuh cerita, kita tidak butuh latar belakang, yang penting adalah penggambaran segala sendir percintaan. Meski bukan mahakarya, film tersebut berhasil mencapai tujuan. Sebaliknya, The Better Angels punya cerita yang harus dituturkan. Penggambaran kasih sayang ibu memang cukup berhasil, tapi narasinya punya banyak aspek lain. Daripada diajak lebih mendalami masa kecil Abraham Lincoln disaat tidak sedang mengeksploitasi mood, saya justru terlampau sering diajak menikmati keindahan hutan Indiana yang meski tersaji indah namun terasa pointless. Saya paham Abe bisa menjadi sedemikian besar karena sosok ibu, tapi untuk menuturkan itu saja tidak perlu film berdurasi 95 menit. Bahkan sepanjang film saya hampir tidak menemukan alasan kenapa Abe begitu spesial kecuali dari ucapan kedua ibunya, atau lewat voice over.

Saya ingin dibawa tahu secara lebih jauh, merasakan secara lebih dalam. Karena tidak berhasil membuat itu, film ini terasa tidak lebih dari sekedar dokumentasi indah kehidupan sehari-hari sebuah keluarga tanpa membawa lebih jauh memahami keluarga tersebut. Terasa hampa. Tapi The Better Angels memang penuh sajain visual memukau. Warna hitam putih tidak mematikan potensi keindahan, tapi memberikan dimensi baru dari apa yang selama ini sudah diperlihatkan Terrence Malick. Meski kali ini agak kecewa, saya pastinya akan menyempatkan waktu untuk menonton kembali film ini nantinya (dan bisa jadi menimbulkan penilaian yang lebih baik). Menarik untuk ditunggu, bagaimana kelanjutkan karir A. J. Edwards sebagai sutradara di masa datang. Khususnya saat ia menggarap materi original yang bukan buah hasil pemikiran Malick. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: