SPRING (2014)
Rasyidharry
Mei 04, 2015
horror
,
REVIEW
,
Romance
,
Sangat Bagus
,
Science-Fiction
Tidak ada komentar
Tanyakan pada saya film ini tergolong genre apa, dan percayalah saya tidak akan bisa memberi jawaban pasti. Spring dimulai dengan layar blackout dan hanya terdengar suara nafas berat. Kita akhirnya tahu bahwa itu adalah nafas dari ibu Evan (Lou Taylor Pucci) yang terbaring lemah di kasur akibat kanker yang ia derita. Atmosfernya unsettling, apalagi disaat wanita tua yang sekarat itu menceritakan sebuah lelucon tentang kematian. Tidak lama kemudian ia meninggal. Dengan suasana seperti itu, rasanya ini adalah film horror. Kematian sang ibu membuat Evan berduka. Apalagi beberapa bulan sebelumnya sang ayah juga meninggal. Pemuda ini tinggal sebatang kara. Duka tersebut membuatnya terlibat dalam perkelahian di sebuah bar tempatnya bekerja. Perkelahian yang tidak hanya membuat Evan dipecat tapi juga dikejar pihak kepolisian. Berniat kabur sekaligus mengubur duka, Evan pergi ke Italia.
Mendadak filmnya terasa bagaikan sebuah road trip. Karakter utama yang berada dalam titik terendah memilih pergi dengan harapan menemukan obat untuk memulai hidup baru. Disana Evan bertemu dengan dua pria asal Inggris, sempat berpesta bersama sebelum menetap sambil bekerja di perkebunan jeruk milik Angelo (Francesco Carnelutti). Matahari bersinar terang di latar serta penggunaan filter warna yang lembut tapi cerah menyuguhkan suasana hangat. Indah, layaknya kisah pencarian makna hidup. Evan pun akhirnya bertemu dengan wanita lokal bernama Louise (Nadia Hilker) yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Jadi benar, Spring adalah journey movie tentang seorang pria yang melakukan perjalanan, lalu bertemu cinta sejati yang akan menyembuhkan dukanya. Benar begitu? Well, not really. Saya tidak akan memberi spoiler. Jadi yang bisa saya sebutkan adalah filmnya akan berubah lagi menjadi: romance, monster movie, body horror, science-fiction, and romance (again.) Spring is batshit crazy...in a good terms.
Sangat sulit menggabungkan beberapa genre menjadi satu, apalagi jika tiap-tiap genre bukan hanya suatu selipan tapi sempat mengambil alih spotlight. Inilah kenapa duo sutradara Justin Benson (juga penulis naskah) dan Aaron Moorhead layak disebut jenius. Bukan hanya mampu merangkai suatu kisah koheren yang tidak berantakan, keduanya juga berhasil mengambil unsur substansial dari masing-masing genre, lalu memaksimalkannya. Jadi penonton bakal merasakan kisah cinta yang romantis, lalu suasana mencekam juga disturbing, hingga sci-fi tentang stem cell yang tidak asal mengambil fakta sains. Bagai membagi semua itu kedalam babak-babak, tone dari tiap genre begitu terasa. Benson dan Moorhead mampu mengecoh persepsi penonton. Membuat kita percaya pada apa yang hadir sebelum kemudian memberikan twist mengejutkan tanpa harus menipu. Keduanya bukan sekedar memelintir cerita secara paksa. Semua fakta sudah ditanam jauh sebelumnya secara tersirat.
Diantara banyak genre yang ada, sesungguhnya romansa adalah pondasi utama. Semuanya percuma jika kisah cinta Evan dan Louise gagal mencuri hati penonton, karena itulah motor penggerak dinamika film. Tanpa itu Spring hanya akan menjadi lemparan kegilaan yang tak mengikat. Evan adalah pria yang baik. Dia tengah berduka dan kita bersimpati karena itu. Tapi dia tidak gloomy. Dia penuh perhatian dan sungguh-sungguh mengejar cintanya tanpa harus terasa annoying. Saat jatuh cinta dengan Louise pun bukan karena Evan mencari, tapi ia menemukan cintanya. Romantis. Sedangkan Louise adalah gadis yang misterius tapi unik dan atraktif. She's that kind of girl that most of us guys wanna spend our time with, even though just for a little chat. Hubungan keduanya hadir begitu hidup. Tidak ada obrolan gombal soal cinta dan perasaan. Saat menghabiskan waktu, keduanya lebih sering bicara hal santai atau saling ejek satu sama lain. Cair serta dinamis. Layaknya karya Richard Linklater, romansanya didominasi obrolan-obrolan cerdas yang menjerat penonton.
Pada third act yang kental penggabungan romansa dan sci-fi, sesungguhnya hanya dipakai sebagai tempat menjelaskan segala teori sains yang rumit. Disaat kebanyakan film menjelaskan science mumbo jumbo hanya dalam waktu singkat yang meninggalkan kebingungan dan kesan buru-buru, Spring memakai sepertiga akhir filmnya untuk itu. Kenekatan yang bisa jadi membosankan, tapi Benson dan Moorhead sukses menghindarkan kesan itu. Alih-alih membosankan, bagian ini justru tidak hanya berhasil menjelaskan segala teorinya dengan detail tapi juga membangun hubungan Evan dengan Louise menjadi lebih kuat. Membuat penonton lebih bersimpati pada mereka. Karakterisasi keduanya jadi unsur vital disini. Salah satu rangkaian adegan terbaik hadir pasca sebuah kejadian gila di rumah Louise. Ada perasaan shock pada diri mereka khususnya Evan, tapi Benson dan Moorhead menyuntikkan nuansa komedi sebagai bentuk konsistensi hubungan antara dua karakternya yang cair. Alhasil adegan setipe yang biasanya terasa kaku dalam film lain justru begitu dinamis disini. Atensi penonton pun bisa terambil, membuat kita mampu fokus mencerna segala penjelasan yang ada.
Spring mampu melakukan apa yang oleh banyak film romansa pop gagal lakukan, yakni menyajikan kisah cinta dua insan yang "berbeda" tanpa harus terasa menggelikan, bahkan believable. Sesungguhnya film ini melakukan hal yang tampak mustahil dan sering membuat film macam Twilight jadi bahan olok-olok. Manusia dan "monster" saling mencintai? Ada. Manusia berumur dewasa awal mencintai lawan jenisnya yang berumur puluhan ribu tahun dan hidup abadi? Ada. Tapi daripada menggelikan, ini terasa romantis. Setiap pengorbanan dan istilah "cinta buta" yang hadir bisa kita maklumi karena sebelumnya kita sudah merasakan bagaimana indahnya romansa kedua karakter utamanya. Spring mampu menghadirkan percintaan (super) aneh yang memikat. Maka disaat film diakhiri dengan ending sederhana yang begitu manis, saya pun tersenyum simpul.
Verdict: Spring menjadi bukti bahwa "genre" dalam film hanya sebagai klasifikasi dan bukan sebuah kotak pembatas eksplorasi. Part Linklater's chatty romance, part Cronenberg's body horror. Justin Benson dan Aaron Moorhead mempersembahkan salah satu film paling kaya dan berwarna sepanjang masa.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar