SAN ANDREAS (2015)
Semua juga tahu kalau San Andreas tidak akan berakhir sebagai sajian yang spesial. Berapa kali pun sutradara Brad Peytong atau sang bintang utama Dwayne Johnson menyatakan film mereka ini punya sentuhan drama keluarga sebagai pembeda, tetap saja itu hanya tempelan dan adegan gempa bumi destruktif berbalut CGI mahal adalah fokus utamanya. Drama yang dimaksud terjadi antara Ray (Dwayne Johnson), anggota pemadam kebakaran Los Angeles dan keluarganya. Ray sedang berada dalam proses perceraian dengan sang istri, Emma (Carla Gugino) setelah hubungan keduanya merenggang setelah kematian salah satu anak mereka. Puteri mereka yang lain, Blake (Alexandra Daddario) masih menyimpan harapan supaya keduanya kembali bersama, meski Emma telah mempunyai kekasih baru, seorang real estate developer bernama Daniel (Ioan Gruffudd). Situasi yang amat klise bukan?
Seorang pria tangguh nan baik hati, mendapati keluarganya akan tinggal bersama pria lain yang jauh lebih mapan. Dia masih mencintai sang istri, begitu pula sebaliknya. Sedangkan anak mereka menjadi sosok penengah yang masih ingin orang tuanya bersatu lagi. Cukup tambahkan suatu kejadian yang memberi kesempatan pada sang pria untuk menyelamatkan keluarganya, dan jika berhasil (selalu berhasil), maka ia akan mendapatkan mereka kembali. Skenario yang sama terjadi dalam film ini. Bahkan jika kita ganti gempa bumi dengan tornado, gunung meletus, kapal tenggelam, atau serbuan alien, dramanya tidak akan terpengaruh. Hal itu hanya tempelan standar untuk memberikan jalan bagi film bencana macam San Andreas supaya bisa berjalan selama hampir dua jam. Setidaknya selain kehancuran masif, ada hal lain untuk diselipkan kedalam film walau bukanlah sesuatu yang signifikan.
Bujetnya yang mencapai $110 juta jelas cukup besar, tapi akan terbuang percuma jika tidak mampu dimanfaatkan dengan baik. Tengok film-film Michael Bay belakangan ini (baca: Transformers 2-4) yang hanya eksplosif tanpa ada intensitas ketegangan memadahi. Untungnya Brad Peyton tahu cara mengemas sebuah eksploitasi penuh kehancuran tanpa harus terasa berlebihan. Dia mengemasnya secara bertahap, babak demi babak, bukan langsung "meledakkan" semuanya dari awal untuk terus berjalan tanpa henti. Alhasil San Andreas sama sekali tidak melelahkan. Perpindahan antara adegan bencana yang menggelegar dengan fokus pada karakter dilakukan cukup baik. Peyton tahu caranya membangun lalu mempertahankan momentum. Saat dirasa kehancuran dalam satu bagian sudah cukup, ia berpindah ke adegan yang lebih "sunyi" guna memberikan penonton kesempatan bernafas. Tidak berlama-lama disana pula, sebelum penonton bosan Peyton melemparkan lagi gempa selanjutnya. Dengan begitu dinamika jadi teratur berkat pengaturan naik-turunnya tempo yang baik.
Tapi bukankah untuk memunculkan ketegangan dibutuhkan kepedulian penonton pada karakter? Tanpa adanya drama serta karakterisasi kuat bukankah hal itu hampir mustahil dilakukan? Memang benar, untuk itulah sosok Dwayne "The Rock" Johnson dibutuhkan. Secara perawakan, Johnson memang serupa dengan action hero lain seperti Stallone, Statham atau Schwarzenegger: kekar dan kokoh. Tapi ada satu pembeda yang membuatnya berada di atas nama-nama tersebut. The Rock bukanlah robot yang hanya bermodalkan fisik. Tengok mayoritas film aksi yang ia lakoni, Johnson selalu berhasil memunculkan kesan nice guy atau family man. Kesan yang jika ditambah dengan kemampuan fisiknya, sempurna untuk menjadikan Johnson sebagai "the perfect hero". Berbekal kemampuan akting yang jauh dari kaku, Ray adalah pria tangguh yang bisa diandalkan hinga mudah bagi kita bersimpati pada sosoknya. Bicara soal simpati, hal sama berlaku untuk Alexandra Daddario. Nope, I'm not talking about the character. You know what I'm talking about, right?
Satu hal lagi yang mempengaruhi keberhasilan San Andreas adalah walaupun film ini memperlihatkan kehancuran besar-besaran, tapi sejatinya skalanya tidaklah terlalu luas. Dibandingkan 2012-nya Roland Emmerich, film ini jelas tampak kecil. Tapi dengan hanya berputar di San Francisco, filmnya jadi tidak terlalu overblown. Pengaruhnya cukup besar. Fokus menjadi lebih tertata, dan alurnya pun terasa cukup padat. Bukan skala kiamat besar yang paling penting dari disaster movie macam ini, tapi bagaimana rangkaian kehancuran ditampilkan dengan efektif. Hampir semua bencana yang ada terjadi di dekat tiap-tiap karakter, sehingga tidak terasa kosong. Meski tidak terlampau besar, suasana "mengancam" tetap berhasil dihadirkan oleh film ini. Cerita tentang keluarganya memang tidak begitu emosional, tapi fokus yang tidak melebar dari kisah tersebut, serta ketiadaan kesan overly dramatic sudah cukup menjadikannya sebagai drama penyokong film ini. Standar tapi tidak berlebihan.
Verdict: San Andreas jadi bukti bagaimana The Rock bisa meningkatkan level film blockbuster manapun, memberikan adrenaline lebih, bahkan tidak jarang hati. Brainless and cliche but highly entertaining. Disaster porn at its best.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:I know what you mean dude (about Alexandra) :p
Laki-laki mana yang kagak paham :D
Posting Komentar