COMIC 8: CASINO KINGS - PART 1 (2015)
Pada sebuah interview, Hannah Al Rashid yang menjadi salah satu cast film ini menuturkan bahwa Comic 8: Casino Kings punya penggarapan sekelas film Hollywood. Saya setuju. Sekuel dari film terlaris tahun 2014 (1,6 juta penonton) ini memang dibuat dengan semangat khas sekuel blockbuster milik Hollywood. Maksudnya adalah lebih mahal, skala cerita lebih besar, lebih banyak degan aksi penuh ledakan, lebih banyak CGI, lebih banyak nama besar. Bahkan layaknya tren belakangan, film ini dipecah menjadi dua bagian (part 2 dirilis Februari 2016). Intinya ambisi untuk menjadi "lebih" dalam aspek apapun menjadi faktor penting, kecuali dari segi kualitas. Saya sendiri termasuk yang cukup kecewa dengan film pertamanya. Meski production value-nya memikat, pemanfaatan potensi komedi para komika papan atasnya mengecewakan. Kali ini saya tidak terlalu tinggi memasang ekspektasi, karena sudah tahu sekuel macam apa yang ingin dibuat oleh Anggy Umbara.
Sedari opening, Casino Kings - Part 1 sudah menampakkan jati dirinya. Menaati "aturan dasar" blockbuster, film ini dibuka dengan adegan intens saat secara misterius, karakter utamanya terbangun di tengah hutan yang juga menjadi sarang buaya. Gaya visual Anggy Umbara yang dipenuhi lens flare, filter warna cerah dan berbagai gimmick animasi langsung mendominasi bagian ini. Setelah kemunculan buaya raksasa mirip Sarcosuchus, kisahnya bergerak mundur untuk menelusuri apa yang terjadi sebelum opening tersebut. Sampai akhir, filmnya bergerak dengan alur non-linear yang melompat maju mundur yang bagi saya tidak punya substansi apapun kecuali untuk "gaya". Penggunaan alur macam ini punya dua faktor penting: struktur kuat dan berfungsi untuk membangun misteri. Hal pertama jelas tidak dimiliki film ini. Naskah tulisan Anggy dan Fajar Umbara lemah. Kekurangan itu bisa diperbaiki oleh penyutradaraan, tapi masalahnya Anggy Umbaran seperti hanya berfokus menghadirkan visual sekeren mungkin daripada bercerita dengan rapih.
Lanjut ke faktor kedua yakni misteri yang jelas menjadi alasan lain dalam penggunaan non-linear. Tapi lagi-lagi hal itu tidak terasa substansial karena dasar cerita film ini memang tidak membutuhkan itu. Alurnya amat sederhana, dimana para komika diharuskan membongkar keberadaan master kriminal yang dijuluki The King. Kesederhanaan bertutur bisa menciptakan hiburan menyenangkan, dan yang dilakukan film ini justru merusak kesenangan tersebut. Mempersulit apa yang seharusnya mudah, begitulah struktur film ini. Dengan alur berantakan, saya yang seharusnya bisa duduk santai menikmati kekonyolan para komika justru harus dibuat pusing menyusun kepingan puzzle yang hingga akhir tidak pernah seutuhnya menjadi satu kesatuan utuh. Hal itu turut memberikan kesan film ini menganggap dirinya terlalu serius. Tentu saja kesan tersebut tidak cocok diterapkan pada sebuah film yang mempunyai adegan buaya melakukan autotomi seperti cicak. Semua itu masih ditambah rumit dengan kemunculan karakter atau sub-plot yang begitu dipaksakan tanpa memberi dampak substansial pada alur utama.
Jujur, saya berusaha mati-matian untuk menyukai film ini. Sangat keras usaha saya memaafkan segala kekurangan pada pengemasan alur dan gaya visual Anggy Umbara yang semakin kesini semakin terasa seperti parodi terhadap dirinya sendiri. Saya ingin melupakan semua itu dengan dalih bahwa ini adalah film komedi. Sudah ada niat memberikan penilaian positif jika filmnya berhasil membuat saya tertawa terbahak-bahak, tidak peduli sehancur apa ceritanya. Tapi bahkan komedinya tidak bekerja dengan baik untuk saya. Beberapa adegan sanggup memancing tawa, khususnya yang melibatkan Prisia Nasution dan Donny Alamsyah. Tapi dibandingkan dengan keseluruhan kadar lelucon yang dilontarkan, jumlah kesuksesan membuat saya tertawa amatlah sedikit. Tidak pernah film ini memperhatikan timing untuk melucu. Lelucon demi lelucon dilemparkan membabi buta, seolah berharap dari sekian banyak akan ada yang efektif. Seringkali pula timing-nya tidak selaras dengan konten adegan, dan merusak apa yang sebenarnya ingin diperlihatkan pada adegan tersebut.
Bakat para komika pun tersia-siakan. Semakin sedikit waktu yang diberikan pada mereka untuk melucu sesuai dengan ciri khas masing-masing. Arie dengan selipan budaya Papua, Ernest yang "mengolok-olok" dirinya sebagai Tionghoa, atau aksi absurd Babe Cabita masih kita temui, tapi mayoritas kemunculan mereka dibatasi oleh lelucon dari naskah yang lebih sering tidak lucu. Mereka semua adalah komika berbakat dengan ciri yang begitu kuat. Tapi biar bagaimanapun, bakat terbesar mereka terletak pada rentetan kalimat hasil buah pikir sendiri. Saat harus dihadapkan pada komedi konyol berorientasi fisik atau yang sumbernya dari naskah, potensi itu pun terbuang percuma. Tidak hanya para komika, nama-nama besar lain banyak yang hanya numpang lewat karena kemunculan mereka disimpan untuk Part 2. Padahal saya sudah dibuat menunggu-nunggu kemunculan para pemburu senior macam Willy Dozan, Barry Prima dan Lydia Kandaou, atau sosok misterius Yayan Ruhian. Tapi sebelum mereka unjuk gigi filmnya sudah berakhir, sama seperti ceritanya yang sudah dipotong sebelum sampai pada klimaks. Terlalu banyak nama besar disia-siakan oleh film ini.
Aspek yang paling saya sukai disini adalah tata artistiknya. Bagaimana setting dan properti mewah menjurus aneh berhasil terhampar indah sepanjang film, menyajikan hiburan mata menyegarkan yang jarang kita temui dalam film-film lokal kebanyakan. Desain untuk beberapa karakternya pun menarik, seperti rambut Prisia Nasution, topeng (beserta isinya) Donny Alamsyah, cat di wajah Yayan Ruhian, dan masih banyak lagi. Visualnya memukau, jika saja Anggy Umbara tidak terlalu berlebihan memolesnya dengan warna atau lens flare mencolok. Penggunaan efek CGI pun cukup memuaskan. Tentu saja masih jauh dari kata bagus, tapi tidak pula terkesan memalukan khususnya pada kemunculan buaya-buaya di awal film.
Verdict: Comic 8: Casino Kings - Part 1 adalah segala bentuk penularan kultur Hollywood blockbuster secara total pada perfilman Indonesia, meski sayangnya bukan hal positif yang ditularkan. Lebih mahal, lebih besar, lebih megah, tapi tidak lebih bagus dari film pertamanya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:film ini sangat menghinur & absurd (walau gk se absurd Yakuza Apocalypse ny Takashi Miike).memang dri segi cerita agak berantakan karena di saat film berjalan,selalu di selipi adegan flashback yg berisikan alasan kenapa para komika bisa terjebak di situasi Hunger Games/Battle Royale.satu lagi yg membuat saya kecewa iyalah Mudy Taylor yg tidak "lagi" muncul di film ini dan digantikan oleh Ge Pamungkas,tpi gpp.overall film ini setidaknya meninggalkan bekas ttg banyolan dewasa (walaupun ini film remaja) khas para komika yg membuat saya menonton film ini 2x kali dgn ekspektasi yg tinggi yg akhirnya buyar karena kang Yayan "Mad Dog" cuma muncul sebagi cameo,tpi pokoknya kocak dah!!!!!!!!!!!!!!!
Posting Komentar