SLOW WEST (2015)
Membicarakan western tak ubahnya berbicara tentang padang gersang, koboi penuh kejantanan menunggangi kuda sambil bersiap menarik pelatuk, hingga kematian dimana-mana. Panas, kotor dan waktu memang terasa berjalan lambat. Slow West tidak mengesampingkan fakta-fakta tersebut, tapi disaat bersamaan memberikan perspektif baru dalam penyajian western movie. Bagaimana jika ada seseorang yang punya kepribadian amat bertolak belakang dengan hal-hal di atas harus melintasi tempat berbahaya tersebut? Jay (Kodi Smit-McPhee) adalah remaja 16 tahun dengan badan kurus, wajah putih bersih dan pakaian bagus yang tampak mahal. Dia berbaring di bawah langit malam sambil menunjuk-nunjuk rasi bintang. Melihat sosoknya, mudah bagi kita berasumsi bahwa tidak butuh waktu lama bagi alam liar Barat untuk menghabisi Jay. Apa yang dilakukan bocah kaya sepertinya disitu? Jawabannya adalah mencari wanita yang ia cintai.
Apakah sutradara sekaligus penulis naskah debutan John Maclean tengah berusaha mentransformasikan keliaran western menjadi petualangan romansa lembek? Untungnya tidak. Kerasnya western masih ada disana. Slow West menjadi eksplorasi disaat seseorang ditempatkan dalam kondisi yang bertolak belakang dengan sosoknya. Dapatkah Jay bertahan hidup? Dapatkah segala ideologi penuh harap yang ia anut diterapkan disana? Tidak secara menyeluruh, karena film ini juga bukan usaha Maclean memberikan pesan moral yang muluk dan naif. Untuk itu dihadirkan karakter Silas (Michael Fassbender), seorang bounty hunter yang menemukan jejak Jay, dan memutuskan menjadi pelindungnya sepanjang perjalanan. Sudah pasti kepribadian Silas amat berbeda. Disaat Jay penuh pemikiran positif tentang cinta dan harapan, Silas lebih keras, dingin, dan terkesan cynical akan berbagai situasi. Semua orang, semua tempat, dan semua situasi seolah menyimpan bahaya jika bersama Silas, dan ia pun selalu siap menembakkan senjata kapanpun.
Terjadi eksplorasi karakter sekaligus hubungan yang menarik diantara mereka. Perlahan, keduanya mulai belajar cara masing-masing memandang hidup dan menyadari bahwa perbedaan yang ada bukanlah kekeliruan. Jay mulai belajar bertahan hidup, sedangkan dari voice over-nya, penonton sudah tahu bahwa Silas nantinya akan banyak belajar dari Jay yang "lebih positif". Dari karakter Jay, Maclean berusaha menunjukkan bahwa di setiap kelembutan tetap diperlukan sisi keras. Sedangkan dari Silas, kita melihat bahwa dari seseorang/tempat paling keras sekalipun masih ada perasaan disana. Masih ada sisi kemanusiaan. Bicara soal kemanusiaan, disitu pula kisah cintanya mulai menyelinap perlahan. Sebuah kisah cinta yang cukup manis, emosional, sekaligus tragis. Walaupun romansanya ber-setting di western masa lampau, tapi kisahnya terasa relatable bagi kita penonton modern. Jay mencintai Rose (Caren Pistorius) dengan sepenuh hatinya. Tapi dari beberapa flashback, Rose tampak tidak menyimpan perasaan yang sama. Bagi Rose, Jay hanya adik laki-laki yang tak pernah ia miliki.
Romansanya dibawa ke bingkai modern, tapi bukan itu saja, karena secara menyeluruh film ini merupakan usaha membawa genre western ke ranah yang lebih modern tanpa sekalipun "melenceng" terlalu jauh dari dasarnya. Alurnya masih berjalan lambat, lokasinya masih familiar dan tentu saja masih diisi oleh baku tembak yang menegangkan. Tapi diluar semua itu atmosfernya lebih kekinian. Sinematografi garapan Robbie Ryan masih memukau, tapi tidak ada landscape super lebar untuk hamparan padang tandus. Gambar landscape masih ada, namun lebih "sempit", juga terasa lebih berwarna dengan padang rumput hijau, bunga bermekaran serta hal-hal penuh warna lainnya. Penggunaan 1.66:1 daripada 2.35:1 (ratio mayoritas western), membuat layar lebih sempit, tapi tidak sampai klaustrofobik melainkan mendekatkan penonton pada karakter-karakternya.
Tapi sekali lagi membawa kearah baru bukan berarti sepenuhnya lari dari ciri western itu sendiri. Klimaks baku tembak seperti yang seharusnya masih ada disini. Maclean berhasil menggarapan showdown ala-western yang tidak bombastis ataupun bising, namun begitu intens mencengkeram penonton dan pastinya brutal. It's not so grandious, but really sharp and well-made. Intensitas terjaga rapih dengan banyaknya peluru yang beterbangan juga darah yang tumpah. Keunikan turut tersaji disaat Maclean begitu rapih merubah tone film dari serius dan brutal menuju komedi hitam yang aneh. Tidak terasa tumpang tindih, bahkan terasa menguatkan. Hal itu menjadi bukti kehebatan Maclean baik sebagai sutradara maupun penulis naskah. Keanehan bumbu black comedy-nya membuat film ini seolah berada dalam dunia yang sama dengan film-film Coen Brothers. Tidak lupa Maclean menyelipkan hati berkat sebuah twist yang lagi-lagi membuat sebuah kematian tidak hanya tragis namun romantis. Romansanya terasa menyayat berkat kejutan tersebut.
Aktornya bermain baik. Michael Fassbender punya segala pesona yang dibutuhkan untuk menjadi Silas: misterius, cool, dan seorang outlaw hebat yang bahkan tidak bergerak sedikitpun meski ada pistol yang ditodongkan kearahnya. Kodi Smit-McPhee juga mendapatkan pencapaian serupa dengan sosoknya yang nampak halus, lemah dan quirky. Kesan bahwa ia berada di tempat yang salah dan seorang pria yang tidak tahu apa-apa tentang situasi di sekitarnya terpampang jelas. Jay mungkin tidak bisa diandalkan, namun tidak pernah terasa menyebalkan. Ekpsresi dan emosi yang ia tunjukkan sedikit demi sedikit begitu sempurna memaparkan kebaikan hati dan kejujuran karakternya. Terakhir ada Ben Mendelsohn yang untuk kesekian kalinya menjadi sosok psikopat. Terasa tipikal bagi sang aktor tapi tak pernah membosankan melihat penampilannya, apalagi saat penonton dibuat merasakan aura mengerikan hanya dari tatapan mata.
Verdict: Singkat, padat, amat memikat. Slow West memberi modifikasi dalam sajian western tanpa pernah sekalipun merupakan hakikat dasarnya. Kini tidak perlu lagi kita menunggu Coen Brothers untuk sebuah sajian yang keras, brutal, aneh, sekaligus lucu.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Kayaknya film ini dapet mixed review, gak sedikit yg kasih rate kurang bagus.
Beberapa waktu lalu sempet mau nonton, tapi gak jadi.
Berhubung ini genre favoritku, haruslah ditonton. Itung-itung nambahi western di blogku yang baru 1 review.
Bicara soal True Grit, sepertinya ini film paling 'aman' dari Coen Bros. Komedi hitamnya tak terlalu pekat (IMO), mengingat ini remake kali ya.
Tapi tetap, True Grit emg salah satu western favoritku, baru nonton 2 kali. Mau nyari yg orijinal John wayne sulitnya minta ampun.
Hmm nggak juga kok, Slow West ini termasuk dapet critical acclaim sebenernya, apalagi pas diputer di Sundance kemarin
Yah, kalo True Grit emang termasuk film Coen yang paling waras & punya genre yang "jelas"
Posting Komentar