FANTASTIC FOUR (2015)
Selain untuk memenuhi syarat supaya hak tidak kembali ke tangan Marvel, versi teranyar Fantastic Four ini direncanakan bakal mengawali franchise baru yang kelak (harapannya) bakal di-crossover dengan X-Men. Tapi tidak usah membahas dulu seperti apa hasil akhirnya. Karena mungkin hingga beberapa dekade ke depan film ini akan selalu diingat lewat kisah perseteruan dibalik layar antara sutradara Josh Trank dengan 20th Century Fox. Saya tidak akan membahas detail perseteruan tersebut. Cukup googling dan semua hal baik yang sifatnya fakta ataupun rumor ada di sana. Tapi bisa saya pastikan konflik dibalik layar itu jauh lebih menarik daripada keseluruhan filmnya sendiri. Melihat apa yang dihasilkan Trank lewat Chronicle, bisa ditebak kisah kuartet superhero ini pun bakal mengambil pendekatan yang lebih realistis dengan tone gelap, jauh berbeda dengan dua versi Fantastic Four sebelumnya.
Kesan itu pula yang sudah dibangun sedari awal saat kita melihat dua sahabat, Reed Richards (Miles Teller) dan Ben Grimm (Jamie Bell) tumbuh bersama dan mencurahkan seluruh isi pikiran mereka guna menciptakan sebuah teleporter. Segala stereotype klise kental terasa: Mulai dari Reed yang sedari kecil berpenamilan polos memakai kaca mata serta pakaian kelewat rapih, hingga olok-olok yang ia dapat dari guru dan teman sekolah karena cita-citanya untuk menemukan teleporter yang dianggap konyol. Tapi diluar itu, apa yang terlihat adalah sebuah awal menjanjikan. Persahabatan sederhana yang cukup hangat dan potensi besar berupa interaksi menarik antara Reed si nerd dengan Ben yang lebih playful tapi menunjukkan kehangatan seorang sahabat.
Banyak kritikan menghampiri film ini karena start lambat dan baru memperlihatkan transformasi keempatnya (lima ditambah Victor von Doom) saat film mencapai durasi 45 menit, dari total keseluruhan 100 menit. Artinya hampir separuh durasi dihabiskan untuk drama pengenalan karakter. Bahkan kita baru diberi kesempatan menonton aksi Fantastic Four bersama-sama sebagai tim pada 20 menit terakhir. Pada paruh awal, atmosfer film ini lebih mirip sci-fi macam Interstellar dengan segala tetek bengek scientific-wannabe berisikan para ilmuwan bekerja di lab daripada film superhero penuh adegan aksi fantastis. Juga benar bahwa reboot ini punya rasa yang begitu "melenceng" jika dibanding komiknya yang merupakan gabungan sci-fi plus fantasi dengan tone ringan. Komik Fantastic Four dengan segala unsur cheesy-nya memang tidak pernah ditujukan sebagai kisah superhero serius, melainkan petualangan menyenangkan tanpa terbatas nalar.
Tapi apakah pendekatan gritty dan realistis dari Josh Trank merupakan kesalahan? Sesungguhnya tidak. Justru saya cukup menikmati saat film ini masih bermain-main di ranah sci-fi. Trank berhasil membangun daya tarik hasil pemaparan scientific mumbo jumbo. Absolutely meaningless, but still fun indeed. Memang naskahnya banyak berisi dialog menggelikan seperti sebuah overshadowing terhadap karakter Doctor Doom yang diucapkan Sue Storm (Kate Mara). Usaha berlebihan naskahnya untuk terdengar cerdas juga sering berujung konyol misal saat Susan menjelaskan alasan ia menyukai musik pada Reed lewat definisi ilmiah rumit. Sentuhan drama pun terasa kosong, tapi sampai pada titik ini Trank masih mampu mengemas tontonan yang well-made, sederhana, juga memiliki pace yang meski cukup lambat namun tertata rapih. Hingga sewaktu kecelakaan yang memberikan kekuatan super itu terjadi, Trank masih mampu menghibur saya. Khususnya dengan atmosfer body-horror ala film-film David Cronenberg.
Kemudian bencana itu hadir. Alurnya melompat satu tahun kedepan, dan kita mendapati Sue dan Johnny berlatih di bawah naungan pihak militer, sedangkan Ben a.k.a The Thing telah digunakan sebagai senjata perang. Reed sendiri masih tidak diketahui keberadaannya. Lompatan waktu itu memberikan jurang yang menghalangi pengembangan karakter termasuk interaksi mereka satu sama lain. Mulai dari sini akhirnya Fantastic Four mendadak berganti suasana menjadi sebuah film superhero daripada sci-fi murni. Ironisnya, saat itulah filmnya semakin mengalami degradasi kualitas. Dinamika yang tadinya tertata menjadi terburu-buru, seolah ingin menebus kesabaran penonton dengan rangkaian alur cepat namun asal tabrak. Saya tidak tahu harus menyalahkan Trank atau pihak studio yang kabarnya mengambil alih fase editing demi menciptakan versi mereka sendiri. Tapi yang jelas Fantastic Four langsung berubah dari film superhero yang berpotensi groundbreaking menjadi kekacauan luar biasa.
Harapan terakhir berada pada klimaks yang (hampir) selalu menjadi momen terbaik film superhero. Akhirnya Reed, Ben, Sue dan Johnny bersatu untuk mengalahkan Doom...lewat sebuah action sequence 15 menit yang hanya menampilkan sedikit aksi. Daripada klimaks, rangkaian adegan ini lebih mirip second act. Semuanya berlalu begitu cepat tanpa ada satupun momen mengesankan. Kemudian lagi-lagi karakter Doctor Doom disia-siakan. Saya kecewa melihat Reed dan Sue tidak memiliki chemistry sebagai love interest. Mengecewakan pula disaat Ben dan Johnny yang harusnya menghadirkan love/hate relationship hasil dari saling melempar ejekan satu sama lain justru tampak seperti dua orang asing. Tapi lebih mengenaskan saat untuk kedua kalinya salah satu villain terbaik milik Marvel berakhir sebagai omong kosong. Tidak hanya desain buruk yang mengingatkan pada John Connor di Terminator Genisys, kita pun baru melihatnya beraksi saat klimaks, dan tidak butuh waktu lama atau usaha keras untuk mengalahkannya. Salah satu villain paling kompleks, paling jenius, dan berbahaya di Marvel Universe mendapat screen time super minim, mudah dikalahkan dan terlihat sangat bodoh.
Fantastic Four identik dengan suasana menyenangkan, empat karakter utama yang punya interaksi menarik dan ikatan kekeluargaan kuat, serta memorable villain. Pada akhirnya tidak ada satu pun dari ketiga hal tersebut yang berhasil dicapai oleh reboot ini. Lagi-lagi saya tidak mempermasalahkan suasana kelam dan realistis, tapi bagaimana bisa menghadirkan kesenangan tanpa adanya keseruan aksi yang memikat? Bagaimana mungkin anda bisa membuat film tentang "keluarga" superhero tanpa memberikan ikatan sedikitpun diantara mereka dan hanya memberikan waktu bagi mereka untuk bersama tidak sampai 30 menit? Film ini ditutup dengan sedikit harapan saat keempatnya saling mengobrol santai. Bahkan Johnny mulai melontarkan ejekan mengenai penampilan Ben sebagai The Thing. Sebuah ending yang memuaskan? Tidak. Karena apa yang keempatnya bicarakan merupakan salah satu pembicaraan terkonyol untuk menentukan nama tim superhero. This reboot (especially the second-half) feels like an extended trailer of a promising superhero movie.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:saat bingung mau nulis apa, aku biasanya lari ke sini buat nyari pencerahan. hahahaha
Yah emang paruh awalnya penuh dialog scientific dan aku juga setuju bahwasanya nuansa gelapnya gak jadi masalah. Cuman chemistry, interaksi antar karakter terasa kurang. Dan kostum Dr. Doom yang WTF ???
Hehe well, tulis aja apa yang ada di kepala kan?
Nah, itu dia. Fantastic Four is all about family and their realtionship. Film ini kosong buat hal itu
Filmnya berpotensi keren, tapi.. tapi.. semua berakhir setelah Planet Zero menyerang..
Yep, kayaknya disitu si Josh Tran mulai "ditendang" sama studio
menurutku hal yg paling aneh dan paling mengecewakan dari film ini adalah jonny storm yg di perankan oleh orang berkulit hitam. padahal di komiknya dia berkulit putih. saya sih gak masalah kalo misalnya pemerannya berkulit hitam asalkan sesuai dengan versi aslinya seperti sam wilson/the falcon di film captain america.
Malah menurut saya bukan masalah, karena ras di karakter Johny Storm bukan hal yang vital, jadi mau dari manapun nggak masalah. Apalagi Michael B. Jordan emang punya kapasitas buat meranin karakter Johnny (diluar karakterisasi di naskah yang under written)
Posting Komentar