REVIEW - SHUTTER (2025)
Shutter (2004) yang jadi debut penyutradaraan Banjong Pisanthanakun adalah horor dengan tingkat kengerian tinggi sarat trik menakut-nakuti yang kreatif...tapi itu untuk dua dekade lalu. Bila ditilik sekarang, 97 menit durasinya bakal terasa generik. Itulah kendala dalam remake Indonesianya, yang setia mengikuti pakem versi orisinal. Solid, namun kehadirannya terlambat bertahun-tahun.
Kesetiaan bertutur dalam remake biasanya memang mengundang pujian. Masalahnya Shutter datang dari era berbeda, di mana kemunculan hantu dari dalam foto masih dianggap mengejutkan, sementara diskursus tentang trope stereotipikal seputar perempuan yang baru menerima keadilan selepas bangkit dari kubur sebagai hantu belum banyak dicuatkan.
Formulaik. Apalagi skena lokal sendiri banyak mengambil inspirasi dari judul-judul yang muncul di era kejayaan Thai horror. Kendati demikian, penonton baru yang masih asing dengan Shutter versi mana pun bakal terhibur oleh banyaknya peristiwa-peristiwa mengejutkan di alurnya, yang menyoroti bagaimana hidup Darwin (Vino G. Bastian) si fotografer ternama, juga pacarnya, Pia (Anya Geraldine), seketika dipenuhi ketakutan selepas mobil mereka menabrak seorang perempuan berbaju merah.
Perempuan itu pun acap kali muncul dalam bentuk hantu yang meneror keseharian keduanya, bahkan mendatangkan banyak kematian. Peristiwa tersebut diberitakan oleh beragam media, lengkap dengan foto eksplisit tiap korban, yang tidak lebih dari hasil tangkapan layar dari adegan kematian yang sebelumnya hadir. Para pembuatnya punya cukup uang untuk mengakuisisi hak pembuatan ulang judul film ternama, tapi tak mampu merekayasa headline berita palsu secara layak.
Jika bersedia lupakan cacat detail di atas, anda akan terhibur oleh cara tutur Shutter, yang mengganti pendekatan atmosferik versi aslinya dengan progresi misteri serba ngebut. Cocok bagi generasi TikTok yang ogah berlama-lama dihadapkan pada ketiadaan. Vino menunjukkan alasan mengapa ia sudah tujuh kali berperan dalam remake film asing (delapan bila menghitung 2nd Miracle in Cell No. 7), lewat penampilan solid sebagai Darwin si pengecut yang senantiasa memilih opsi "flight" ketimbang "fight" kala menghadapi persoalan pelik.
Sedangkan horornya, seperti telah disinggung di awal tulisan, tampil familiar. Departemen penyuntingan serta pengarahan Herwin Novianto selaku sutradara di momen-momen bertempo tinggi pun cenderung canggung. Tapi sekali lagi, bagi "penonton baru", beberapa teror si hantu perempuan merah, termasuk saat ia mengintip dari balik kaca mobil yang tengah melaju, cukup efektif mengundang kengerian.
Terpenting, berkat kesetiaan mengikuti pakem film orisinalnya, naskah buatan Alim Sudio bukan sebatas memenuhi durasi menggunakan jumpscare, namun bersedia memposisikan cerita sebagai penopang utama. Sungguh disayangkan, poin soal "cerita di atas penampakan" enggan ditiru oleh sineas horor tanah air kala mengambil inspirasi dari kompatriotnya asal Thailand.
Satu keputusan cerdik yang dipilih Shutter adalah terkait pemakaian lagu Di Belakangku (versi cover oleh Egha De Latoya), memberi interpretasi creepy bagi baris lirik "Kau peluk aku sebelum membunuhku" dan "Aku menunggumu mati di depanku", guna membungkus kilas balik tragis nan menusuk hati, yang menyoroti kekejaman maskulinitas toxic budaya fratbro. Andai si perempuan tidak perlu mati untuk memperoleh keadilan.
 

%20(1).png)
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar