BRIDGE OF SPIES (2015)
Tidak ada lagi yang harus dibuktikan seorang Steven Spielberg. Dia sudah mendefinisikan summer blockbuster lewat Jaws, menciptakan sosok ikonik bernama Indiana Jones, menyentuh imaji serta emosi semua orang lewat E.T., menghidupkan dinosaurus dalam Jurassic Park, hingga memenangkan dua piala Oscar untuk sutradara terbaik berkat Schindler's List dan Saving Private Ryan. Keberhasilan secara idealis dan komersil sudah ia capai. Dengan usia yang sebentar lagi menginjak 69 tahun tahun, Spielberg memang tinggal melakukan apa yang ia inginkan, membuat film sesuai dengan selera yang mencirikannya. Karena itu harusnya kita tahu apa harus berekspektasi seperti apa terhadap Bridge of Spies yang menandai kolaborasi keempatnya bersama Tom Hanks. Spielberg menyukai kisah nyata di masa lalu yang kental unsur humanis, dan cenderung mengemasnya secara dramatis (tapi tidak berlebihan) untuk mengaduk emosi penonton.
Film ini berpatokan dari insiden nyata yang dikenal sebagai "1960 U-2 Incident". Peristiwa tersebut terjadi pada 1 Mei 1960 saat perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet tengah berlangsung. Saat itu pesawat pengintai U-2 milik Amerika yang dipiloti oleh Francis Gary Powers (Austin Stowell) ditembak jatuh saat tengah mengambil gambar di atas daerah Soviet. Powers pun ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan mata-mata. Tapi Bridge of Spies memulai kisahnya sebelum itu, tepatnya saat FBI melakukan penangkapan terhadap mata-mata Soviet bernama Rudolf Abel (Mark Rylance). Demi menciptakan proses pengadilan yang adil, pemerintah Amerika pun meminta James B. Donovan (Tom Hanks) untuk menjadi pembela Abel.
Namun pada kenyataannya proses itu hanya formalitas dan kepalsuan belaka. Hakim tidak mengindahkan bukti-bukti kuat yang mampu menjadi landasan penangguhan penahanan. CIA berusaha mengorek pembicaraan Abel dengan Donovan, meski secara hukum hal tersebut sifatnya rahasia antara klien dan pengacara. Masyarakat pun mulai memandang Donovan sebagai pengkhianat yang memihak mata-mata. Hal yang diinginkan oleh mayoritas pihak adalah Abel mendapat proses peradilan yang di atas kertas sesuai aturan, namun harus tetap dijatuhi hukuman mati bagaimanapun kondisinya. Menarik jika melihat fakta film ini berbasis kisah nyata yang terjadi lebih dari 40 tahun lalu. Naskah garapan Matt Charman dan Coen Brothers masih memiliki cerita yang sesuai dengan manusia saat ini yang cenderung memuja sampul kebaikan tanpa meninjau guna memahami isi dan esensi di dalamnya. Kisahnya punya jalinan kuat yang aplikatif pada kondisi saat in. Karena itu mudah untuk terikat dan terbawa secara emosional dengan konfliknya.
Kisah penangkapan mata-mata kedua belah pihak itu kemudian mulai berkaitan saat pihak Soviet menawarkan pertukaran antara Abel dengan Powers. Donovan pun ditunjuka sebagai negosiator dalam pertukaran tersebut karena pemerintah Amerika menolak terlibat langsung. Disaat yang berdekatan, seorang mahasiswa Amerika bernama Frederic Pryor (Will Rogers) ditangkap oleh pasukan Stasi karena kedapatan menyeberang ke Jerman Timur melewati tembok Berlin yang tengah dibangun. Pryor pun dipenjara atas tuduhan sebagai mata-mata. Dalam prosesnya, Donovan berusaha melakukan perundingan supaya pihak Soviet dan Jerman Timur sama-sama bersedia melakukan pertukaran. Bukan hal mudah, karena itu artinya harus terjadi pertukaran 2-for-1 diantara ketiga negara.
Sebagai "lahan bermain" favoritnya, Spielberg sudah paham betul bagaimana mengemas kisah seperti ini. Senjata utamanya berupa kisah kemanusiaan, dimana Spielberg berusaha menunjukkan bagaimana harga tiap manusia adalah sama. Tidak peduli mata-mata atau bukan, sistem peradilan yang ia terima haruslah sama. Tidak peduli berguna bagi kepentingan politik dan militer atau tidak, tiap sandera punya harga yang sama pula. Semuanya dikemas secara solid. Spielberg tahu bagaimana memainkan dinamika alurnya. Kapan harus berjalan lambat, kapan harus memberikan klimaks emosional, kapan pula Donovan harus unjuk gigi supaya sebagai karakter utama mampu mengambil hati penonton. Terlihat kematangan sang sutradara lewat film ini. Begitu cermat dan tidak terburu-buru memamerkan ambisinya membuat sajian dramatis atau thriller menegangkan.
Bridge of Spies jelas sajian well-made dan well-paced, tapi trademark cerita dari Spielberg yang saya paparkan di atas justru mengurangi tingkat efektifitas film. Spielberg cenderung menyukai drama uplifting dengan aura positif kental. Faktor itu membuat filmnya predictable. Ketegangan yang harusnya muncul pun tidak maksimal, karena kita tahu bagaimana semua akan berakhir. Melihat Donovan bernegosiasi, memainkan kata-kata melawan pihak Soviet dan Jerman Timur memang menarik. Saya terikat dengan tiap dialog yang terucap, sebuah keberhasilan bagi film berbasis dialog seperti ini. But it lacks of thrilling moment. Begitu pula dramanya. Ada sedikit getaran menyaksikan konklusi filmnya, tapi bukan momentum emosional tinggi layaknya puncak pencapaian Spielberg saat Liam Neeson berurai air mata di Schindler's List. Begitu pula scoring Thomas Newman yang pastinya jauh dari buruk, tapi belum menciptakan sinkronisasi emosional seperti bagaimana musik John Williams dan gambar Spielberg menyatu.
Semua aspek film ini dikemas dengan baik. Saya pun tidak akan terkejut jika di perhelatan Oscar 2016, Bridge of Spies menerima beberapa nominasi seperti Best Picture, Best Director, atau Best Actor untuk Tom Hanks. Sama seperti keseluruhan filmnya sendiri, Hanks berakting baik. Dia sempurna menghidupkan sosok Donovan yang penuh idealisme, berhati mulia, tapi juga memiliki sense of humor. Bagaimana Hanks berdialog jelas memancarkan seorang pengacara yang handal dalam bersilat lidah serta mengatur strategi negosiasi. Sedikit celetukan maupun ekspresi minor pun beberapa kali membuat saya tertawa kecil. Tapi semua itu pun nampak terlalu mudah bagi Hanks. Sama seperti sang aktor, tidak ada yang salah sesungguhnya dengan film ini. Hanya saja Bridge of Spies bagai usaha Spielberg mengulangi formula masterpiece drama-nya yang notabene telah ia ulang berkali-kali, tapi dalam kualitas minor.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:"Tapi semua itu pun nampak terlalu mudah bagi Hanks.."
Yap, setuju! Karakternya sendiri terlalu heroik, dan malah jadi semacam minor untuk keseluruhan filmnya.
Padahal seneng banget sama pesan yang dibawa, tapi gaya Opa Spielberg emang selalu "overly dramatic" sih, not my cup of tea
Posting Komentar