HEAVEN KNOWS WHAT (2014)
This movie by Ben Safdie and Joshua Safide is in the same realm with "Requiem For A Dream". It's dark, hard to watch and more importantly, doesn't glamorize the drugs itself. Perbedaan antara "Heaven Knows What" dengan karya Darren Aronofsky tersebut adalah penyajian kekacauan pada tokoh yang lebih berpijak pada realisme tanpa harus kehilangan nuansa "horor". Saya menyukai pilihan berutur itu, karena cukup banyak film dengan karakter sentral pengguna narkoba justru membuat "teler" nampak keren baik secara disengaja maupun tidak. Tapi dalam film yang berbasis dari unpublished memoir tulisan Arielle Holmes (juga memerankan sosok fiksional dirinya) ini, penonton dihadapkan pada dampak destruktif para pengguna. Dan tidak ada satu adegan pun yang bakal membuat penonton berujar "oh, that's kinda cool" kecuali anda memang sama kacaunya dengan sang tokoh utama.
Iringan musik elektronik yang akan membuat pendengarnya teringat pada perasaan saat tengah mabuk berat atau pusing berat menjadi pembuka. Scoring tersebut sempurna menggambarkan kondisi Harley (Arielle Holmes), homeless girl yang seolah tak pernah menghabiskan waktu bebas dari pengaruh heroin. Harley punya badan kurus, rambut lepek, dan mata yang membuatnya seperti selalu mengantuk. Dia tampak kacau, terlebih karena obsesinya terhadap sang pacar, Ilya (Caleb Landry Jones). Istilah "cinta mati" patut disematkan untuk perasaan Harley pada Ilya. Bahkan ia nekat mencoba bunuh diri dengan mengiris urat nadi supaya Ilya mau memaafkannya. Harley rela mati, tapi Ilya sendiri nampak tak pernah peduli. Hal tersebut menempatkannya dalam dua obsesi yang sama-sama destruktif, yakni heroin dan Ilya. Tak mampu ia hidup tanpa keduanya, tapi justru dua hal tersebut yang secara konstan menghandurkan kehidupannya.
Sebuah film yang pada pengenalan konflik sudah memperlihatkan adegan bunuh diri eksplisit secara begitu menyakitkan pastilah tak memberikan pengalaman menonton yang nyaman. Saya bisa dengan santai menikmati film eksploitasi bersimbahkan darah, tapi tidak dengan drama kelam seperti ini. Sutradara Ben dan Joshua Safdie tak perlu banyak memberi dramatisasi. Cukup dengan ketelanjangan realita saat seseorang secara rutin menjalani hidup penuh tendensi menjadi destruktif sudah merupakan pengalaman menonton yang menyayat perasaan. Penonton menjadi saksi saat Harley berjalan sendiri menuju lubang hitam akibat heroin. Setiap adegan yang memperlihatkan ia menyuntikkan narkoba disajikan secara kasar pula menyesakkan. Tidak ada dreamlike atmosphere seperti halnya film yang berbentuk glamorisasi narkoba. Hanya Harley duduk di ruangan sempit seperti toilet atau kamar berantakan yang menghadirkan kepengapan.
Untuk romansanya, mudah bagi seorang sutradara menyajikan percintaan Harley dan Ilya sebagai suatu hal keren. Mencuri di minimarket, bercinta di tempat umum, memakai narkoba bersama adalah beberapa formula yang kerap dieksploitasi agar sebuah fucked up relationship mampu dijual sebagai pengagungan terhadap keliaran lifestyle penuh kebebasan. Tapi "Heaven Knows What" tidak melakukan itu. Melihat bagaimana hubungan antara Harley dan Ilya berjalan, hanya satu kata yang terlintas: kacau. Ilya memperlakukan sang wanita seperti sampah, menantangnya bunuh diri, membuang barang-barangnya, melecehkan secara verbal, dan segala bentuk tindakan tak menyenangkan lain. Meski begitu Harley tetap mencintainya, terus mengejar perhatiannya. Tapi tak pernah sedikitpun saya merasa digiring untuk meyakini bahwa kesabaran Harley adalah bentuk romantisme yang patut mendapat dukungan. Karena memang tidak. Ketergantungan akan narkoba serta romansa destruktif tak memberi kebaikan apapun, dan filmnya tegas menyatakan hal tersebut.
Membawa sebuah pesan moral bukan berarti film ini coba menggurui. "Heaven Knows What" nihil paksaan, tanpa ceramah moralitas. Penonton hanya diajak melihat tiap sisi realitas dalam spektrum yang mungkin tak pernah mereka temui sehingga terasa mengejutkan. Tentunya demi mencapai tujuan penceritaan, suatu film harus menggiring penonton untuk sampai kesana, tapi Safdie bersaudara melakukannya tanpa memberi kesan manipulatif. Segala emosi dan ketidaknyamanan muncul dengan sendirinya karena saya memang terusik dengan konflik yang tersaji di layar. Realitas dan film sebagai karya fiksi harus sebisa mungkin dikaburkan untuk memberikan perasaan seperti itu. Selain gaya bertutur apa adanya, penampilan Arielle Holmes menjadi aspek paling efektif. Memerankan bentuk fiksional dari masa lalunya membuat Holmes tak kesulitan membaur dengan karakter. Holmes mempertontonkan lapisan akting dimana seorang aktris tak hanya "meniru" tapi sepenuhnya "menjadi".
Pada akhirnya tetap masih ada kekurangan berwujud kekosongan dalam film ini. Disaat Harley tak sedang tenggelam dengan salah satu obsesinya atau tidak tengah dalam kondisi breakdown, "Heaven Knows What" seperti hanya diisi oleh adegan-adegan filler tanpa impact apapun. Kurangnya tingkat kepadatan dalam narasi ikut mempengaruhi dinamika juga mengurangi kekuatan emosi. But still, "Heaven Knows What" isn't just a solid drama but also an important story about the darkside of human's life.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar