GOING CLEAR: SCIENTOLOGY AND THE PRISON OF BELIEF (2015)
"When the banks became cathedrals,
and a fox became God"
Sepenggal kalimat di atas berasal dari lirik lagu "Violet Hill" milik Coldplay. Saya menyukai bagian lirik tersebut berkat kesempurnaannya menggambarkan kondisi religiusitas manusia dewasa ini. Agama banyak dimanfaatkan sebagai alat pengeruk uang, dan orang-orang sinting mengaku sebagai Tuhan (atau Rasul-Nya) dalam rangka meraih keuntungan pribadi...or they're just simply crazy. Perkumpulan cult dengan para pemimpin gilanya banyak bertebaran di seluruh dunia. Untuk Indonesia sendiri kita pastilah mengenal Lia Eden yang belum lama ini berencana memarkir UFO di monas. Bagi kita yang bukan pengikut "ajaran sesat" macam itu akan mudah menganggap apa yang diajarkan sebagai hal menggelikan. Tapi kita tak bisa menutup mata bahwa begitu banyak orang memperayai hal "menggelikan" tersebut, dan bergabung sebagai pengikut setia. Apa yang membuat mereka percaya? Bagaimana cara membuat mereka percaya?
Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, Alex Gibney melakukan investigasi yang tidak tanggung-tanggung menelusuri "one of the biggest, and the most controversial religious movement", yakni Scientology. Berdasarkan statistik dari American Religious Identification Survey (ARIS), jumlah penganut Scientology di Amerika mencapai 25.000 orang pada tahun 2008. Sebagian dari kita pastinya juga tahu bahwa dua nama besar Hollywood, Tom Cruise dan John Travolta termasuk anggota aktif yang tidak segan menuturkan pada publik mengenai keterlibatan mereka, juga seringkali "mengkampanyekan" ajaran Scientology. Melalui wawancara dengan mantan pengikut Scientology serta beberapa footage pendukung, film yang dibuat berdasarkan buku "Going Clear: Scientology, Hollywood and the Prison of Belief" karya Lawrence Wright ini coba mengupas tiga hal; sejarah Scientology, penyiksaan yang dialami anggota, serta kisah personal tiap-tiap interviewee.
Supaya memahami ajarannya, tentu kita harus memahami dulu pembuatnya. Film ini memulai penelusuran dengan pemaparan mengenai L. Ron Hubbard, pencipta Scientology. Penelusurannya menarik, karena bukan hanya membawa saya paham akan latar belakang Scientology sendiri, tapi juga menciptakan benang merah penghubung dengan pergerakan cult lain di seluruh dunia. Hubbard atau yang sering dipanggil oleh pengikutnya sebagai LRH dulunya merupakan anggota angkatan laut Amerika, tapi diberhentikan setelah memerintahkan kru kapal menyerang pulau milik Meksiko. Begitu perang usai, ia berpindah haluan sebagai penulis cerita sci-fi untuk suatu majalah. Cerita yang ia tulis nantinya banyak berpengaruh dalam ajaran Scientology, seperti kepercayaan bahwa 75 juta tahun lalu, seorang penguasa tiran antar-galaksi bernama Xenu membawa milyaran orang ke Bumi untuk dibuang ke kawah gunung berapi sebelum diledakkan memakai bom hidrogen. Mereka lalu bertransformasi menjadi "Thetan" lalu merasuk dalam diri manusia yang baru lahir, menciptakan berbagai rasa seperti takut, cemas dan lain sebagainya. Crazy right?
Kegilaan itulah sumber benang merah yang saya sebutkan. Bagaimana pencipta ajaran cult seperti Hubbard (which this movie suggests) memiliki gangguan kejiwaan, tenggelam dalam obsesi kuat terhadap sesuatu hingga berujung pada proses make believe. Salah seorang narasumber menyatakan bahwa motivasi Hubbard membentuk Scientology bukan semata-mata keuntungan materi, karena jika hanya itu, sudah sejak lama ia kabur. Hubbard terus bertahan, bahkan rutin mempraktekkan ajarannya. Lalu bagaimana orang-orang dapat mempercayai kegilaan itu? Secara implisit filmnya memberi dua jawaban. Pertama, karena tahapan awal Scientology tidak jauh beda dengan ilmu Psikoanalisis berisikan katarsis. Dalam proses yang disebut "auditing", seorang anggota diminta menceritakan masalah yang ia alami berkali-kali. Setelah melewati proses tersebut, secara alamiah beban seseorang akan lebih ringan, dan itu dimanfaatkan untuk mengambil kepercayaan mereka.
Jawaban kedua tidak jauh beda dengan alasan mayoritas orang memeluk agama mereka masing-masing. Karena itulah yang diajarkan sedari kecil. Dari situ filmnya memunculkan pemikiran menarik. "Apakah para penganut Scientology yang sejak kecil dicekoki ajaran itu adalah seorang bodoh?" "Apa bedanya dengan kita yang memeluk sebuah kepercayaan karena faktor orang tua?" Perbadingan itu tepat, karena bukan konteks ajaran yang dibicarakan, melainkan proses pemahaman berujung rasa percaya yang terjadi dalam diri seseorang. Meski kesimpulan ini tidak dipaparkan secara eksplisit oleh filmnya, saya dibuat mampu memahami alasan kenapa banyak orang menganut Scientology beserta hal menggelikan di dalamnya.
Paruh pertama "Going Clear" seperti hiburan menyenangkan saat saya diajak "mentertawakan" berbagai unsur Scientology seperti kisah tentang Xenu di atas. Kemudian filmnya bergerak menuju kearah lebih gelap, emosional, juga disturbing. Semenjak awal pembentukannya, Hubbard berusaha membuat Scientology terhindar dari pajak dengan memposisikan diri sebagai agama, bukan organisasi pencari keuntungan. Sepeninggal Hubbard, usaha itu dilanjutkan oleh David Miscavige. Saya dibuat terkejut oleh data berapa banyak nilai dari Scientology serta uang yang diperoleh. Investigasi Alex Gibney memaparkan lebih banyak kejutan mengerikan ketika saya mendapati bahwa Scientology tak segan melakukan tindakan ekstrim demi menyingkirkan pengancam keberlangsungan "gereja". Mereka menyiksa para anggota dengan dalih rehabilitasi, mendeklarasikan perang dengan IRS, sampai membuat anggotanya putus hubungan dari keluarga mereka. Bahkan John Travolta dan Tom Cruise pun tak berkutik (jika ingin) melawan. Dan itu hanya puncak gunung es dari seluruh kegilaan. Semakin jauh film melangkah, semakin mengerikan kenyataan yang ditemui.
Banyak dari narasumber adalah mantan pengikut yang kini aktif menyuarakan perlawanan mereka (termasuk sutradara Paul Haggis). Tidak ada anggota aktif, atau dari pihak Scientology menjadi interviewee. Bahkan tiap kali seorang narasumber bertutur mengenai keputusannya keluar, layar berubah warna menjadi putih terang bercahaya, seolah menggambarkan keputusan tersebut adalah suatu pencerahan. Setiap kemunculan footage berupa pembelaan dari anggota Scientology, film ini langsung memberi counter, entah berupa penuturan narasumber atau pengemasan Alex Gibney yang mengesankan bahwa pembelaan itu tak lebih dari sekedar ucapan menggelikan. Timbul pertanyaan "apakah dengan ini filmnya bisa disebut berat sebelah dan tidak objektif?" Namun sejatinya, pertanyaan yang lebih tepat adalah "haruskah film ini menjadi objektif?", disaat begitu banyak bukti menyudutkan seperti rekaman manakala pihak Scientology melakukan teror pada mantan anggota yang dianggap membahayakan.
No, this movie doesn't need to be (that) objective. Sebagai suatu investigasi, sudah cukup banyak bukti dipaparkan demi mematahkan "praduga tak bersalah". Film ini juga memiliki emosi yang cukup untuk menggaet simpati saya ketika mendengar penuturan beberapa narasumber yang harus terpisahkan dari orang-orang tercinta. Dalam durasi 120 menit, terdapat banyak hal diungkapkan lewat kata-kata, sehingga butuh konsentrasi supaya segala penuturan fakta mampu kita sebagai penonton cerna. "Going Clear: Scientology and the Prison of Belief" bukan saja menyuguhkan eksplorasi mendalam tentang Scientology, tapi secara tersirat juga lebih luas lagi yaitu teruntuk segala perkumpulan cult di seluruh dunia. Money is a powerful thing, and with the misusing of religion, someone can get enough money and power to be untouchable. What a dark and scary face of our reality.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar