THEEB (2014)
Seiring berjalannya usia, seorang bocah kelak akan tumbuh menjadi pria dewasa. Tentunya tumbuh kembang itu tidaklah instant, butuh proses berkepanjangan untuk menempa mental menuju pendewasaan. Tapi apakah hal serupa dapat diterapkan pada mereka yang tumbuh di tengah zona perang penuh gesekan? Disaat kematian, kehilangan orang tercinta, siksaan fisik sekaligus psikis, konflik moral ambigu, hingga intrik politik menjadi makanan sehari-hari, bagaimana pengaruhnya akan pendewasaan seseorang? "Theeb" karya Naji Abu Nowar yang menjadi perwakilan Yordania untuk Oscar 2016 ini memang ber-setting pada 1916 saat terjadinya Revolusi Arab, namun hingga hari ini, nyaris 100 tahun setelahnya, kisahnya tetap relevan sebagai gambaran akan coming-of-age seorang anak dalam kehidupannya di tengah zona perang.
Theeb (Jacir Eid Al-Hwietat) adalah bocah anggota suku seminomaden bernama Bedouin. Dia sering menghabiskan waktu bersama kakaknya, Hussein (Hussein Salameh Al-Sweilhiyeen) untuk memberi makan unta yang mereka ternak atau berlatih menggunakan senapan. Segala pengetahuan mengenai unsur kehidupan didapat Theeb dari sang kakak, karena tidak sekalipun ia diperlihatkan pergi meninggalkan tempat sukunya bermukim. Sebagai anak kecil, pastinya Theeb dipenuhi rasa ingin tahu. Karena itulah saat suatu malam datang dua tamu asing, perhatiannya langsung tersita pada mereka. Salah satu dari tamu tersebut adalah tentara Inggris bernama Edward (Jack Fox), dan kehadiran seorang foreigner pastinya memberikan rasa penasaran tinggi pada Theeb. Terus ia amati segala tindak tanduk serta barang milik Edward, mulai dari rokok sampai kotak misterius yang akan membuatnya marah besar ketika Theeb menyentuhnya.
Rasa ingin tahu itu juga mendorong kenekatan Theeb untuk mengikuti Hussein dan kedua tamu tadi menyusuri jalur berbahaya yang dipenuhi para bandit. He expected to see the outside world, but finally found out that it's more dangerous than it seems. Para tokohnya terlibat dalam perjalanan yang oleh sutradara Naji Abu Nowar dideskripsikan sebagai "Arab western". Definisi itu tidak keliru, karena berbagai aspek film ini memang mengundang komparasi khususnya dengan karya-karya Sergio Leone. Tengok saja baku tembaknya, landscape padang pasir gersangnya, juga pencarian akan "dunia baru". Abu Nowar mengemas keheningan sebagai pembangun atmosfer kesunyian sekaligus kengerian saat seseorang berpetualang di alam liar. Sedangkan sinematografi garapan Wolfgang Thaler tak hanya suatu keindahan pemandangan, tapi juga sempurna dalam memaparkan sulit nan berbahayanya perjalanan yang ditempuh.
"Theeb" diisi unsur Revolusi Arab dan intrik politik, namun tak sampai mengambil fokus utama. Semua itu hanyalah latar demi memperkuat pengembangan karakter. Karena dengan kondisi penuh kekacauan semacam itu, penonton dapat memahami bagaimana bisa seorang bocah "dipaksa" untuk tumbuh dewasa dalam waktu singkat. Selama prosesnya sendiri, saya berhasil diajak merasakan ketakutan yang menguasai karakternya. Theeb adalah bocah cilik yang tak pernah melihat apapun diluar pemukiman sukunya. Dia sendirian dan tidak berdaya. Dari situlah intensitas tinggi mampu dihadirkan film ini. Sebuah adegan baku tembak bisa terasa sangat intens, karena protagonisnya hanya rakyat sipil biasa dengan satu-satunya tujuan yakni bertahan hidup. Dan mereka harus dihadapkan dengan para bandit yang tidak segan menghabisi musuhnya. Bahkan sebuah adegan saat Theeb berusaha memanjat keluar dari sumur sanggup begitu menegangkan sebagai hasil dari kuatnya pemaparan ketidakberdayaan karakter.
Jacir Eid Al-Hwietat memberikan akting terbaik dari aktor cilik tahun ini. Meski diharuskan memunculkan rasa takut dan dilema, sama sekali ia tidak pernah terjebak dalam luapan emosi berlebihan. Semuanya subtil sekaligus believable. Bukan perkara gampang, karena Theeb dihadapkan pada situasi rumit, seperti saat ia ragu untuk memberikan minum untuk seorang bandit. Penonton tidak diperlihatkan banyak, hanya gestur penuh keraguan sebagai respon natural dari insting bertahan hidup serta rasa takut. Berkat kompleksitas yang mampu dibawa Jacir Eid Al-Hwietat dalam aktingnya pula "Theeb" sanggup berakhir sebagai griping coming-of-age story mengenai bocah polos yang mengikuti curiosity-nya dan berakhir menemukan kedewasaan. Jadi apa yang anda lakukan jika sosok yang teramat anda benci ternyata merupakan peluang terbaik untuk bertahan hidup? Theeb tahu jawabannya berkat tempaan berat hasil dari perjalanannya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar