MEN WHO SAVE THE WORLD / LELAKI HARAPAN DUNIA (2014)

Tidak ada komentar
Terdapat banyak cara untuk sebuah film menyampaikan kritik terhadap isu tertentu. "Men Who Save the World" atau yang mempunyai judul lokal "Lelaki Harapan Dunia" ini memakai pendekatan komedi satir yang dilontarkan dengan semangat "seenaknya sendiri". Menikmati film yang menjadi perwakilan Malaysia untuk ajang Oscar 2016 ini memang jangan terlalu serius, atau guyonannya bakal terasa rasis dan homophobic. Sutradara sekaligus penulis naskah Liew Seng Tat bertutur pada penonton seperti kita semua adalah teman akrabnya. Sebagaimana teman baik saling bertukar candaan, banyak ungkapan yang sekilas "tidak pantas" namun sesungguhnya tanpa maksud bersikap ofensif. Semua hanya didasari niatan bercanda menciptakan tawa. Tapi komedi memang erat kaitannya dengan kultural dan latar belakang audience. Lucu atau tidak, ofensif atau tidak, semua dipengaruhi oleh aspek tersebut. Maka menjadi wajar bila film seperti ini akan memecah penonton menjadi dua kubu.

Ber-setting di sebuah kampung, filmnya berkisah tentang keinginan Pak Awang (Wan Hanafi) untuk memindahkan sebuah rumah (disebut "rumah amerika" karena seluruhnya berwarna putih) yang terletak di tengah hutan. Rumah itu akan ia berikan pada sang puteri sebagai kado pernikahan. Pak Awang sendiri adalah mantan penyanyi terkenal yang kini telah pensiun. Status tersebut membuatnya dihormati seluruh warga kampung, sehingga mereka pun tak keberatan mengerahkan seluruh tenaga untuk membantu proyek pemindahan rumah itu. Bersamaan dengan dimulainya pemindahan rumah, penonton diajak berpindah melihat karakter Solomon (Khalid Mboyelwa Hussein), imigran gelap asal Afrika yang kabur dari kejaran polisi setelah tertangkap basah menjual barang di jalanan. Solomon secara tidak sengaja menemukan rumah tersebut dan bersembunyi disana, tanpa tahu keputusan itu akan menciptakan konflik pelik dan histeria warga kampung yang meyakini ada hantu "orang minyak" tengah menebar teror mematikan.
"Men Who Save the World" merupakan sindiran terhadap sisi klenik yang mengakar kuat dalam masyarakat. Warga kampung dalam film ini digambarkan terus mengasosiasikan berbagai kejadian buruk yang menimpa dengan gangguan hantu dari rumah amerika. Ketika sapi dan unta hilang, maka itu ulah hantu. Ketika seorang anak perempuan mengalami luka secara tiba-tiba, maka itu akibat serangan hantu. Padahal warga kampung digambarkan sebagai pemeluk Islam yang sering berkonsultasi dengan pemuka agama setempat, Tok Bilal (Jalil Hamid). Bahkan disaat akhirnya mereka meminta bantuan seorang dukun, para pemuda dan laki-laki kampung tak keberatan berpatroli di malam hari sambil mengenakan daster dan kerudung, karena menurut sang dukun, hantu orang minyak suka memangsa gadis perawan. Liew Seng Tat berhasil mengajak saya mentertawakan kebodohan warga yang mengatasnamakan diri mereka sebagai "lelaki harapan dunia". Pantas saja dunia ini seolah dipenuhi harapan palsu.
Humor Liew Seng Tat memang seenaknya. Seorang warga dipanggil "Cina", bahkan dalam sebuah kesempatan ia mengajarkan cara mempertajam penglihatan dengan menyipitkan mata. Sedangkan Solomot sebagai pria berkulit hitam digambarkan sebagai sosok mengerikan tak ubahnya hantu. Terdengar ofensif memang, tapi lagi-lagi keberhasilan komedi tergantung pada siapa filmnya bicara. Saya menemukan humornya sebagai hal yang lucu, karena saya besar di lingkungan dimana orang Jawa "mengejek" sahabatnya yang keturunan Tionghoa sebagai "Cina", dan sebaliknya mereka balas berkata "dasar Jawa". Sebutan itu semata-mata hanya candaan tanpa intensi merendahkan. Liew Seng Tat juga nampak berniat menyindir masyarakat yang makin mudah tersinggung menanggapi isu rasisme. Disaat kita tahu itu hanyalah lelucon, tak perlu ditanggapi serius, hingga semua pihak sama-sama senang. Tapi saya pun tak menyalahkan penonton yang tersinggung oleh humornya karena itu sangatlah wajar.

Kekurangan gaya komedinya justru karena menciptakan distraksi terhadap pesan utama. Saya memahami satir mengenai kebodohan masyarakat tadi, tapi pada akhirnya bukan itu yang membekas begitu film usai. Saya hanya ingat pada kelucuan bodohnya, bukan sindiran yang sesungguhnya amat relevan itu. Terlalu banyak pula subplot yang coba diselipkan oleh Liew Seng Tat, seperti mengenai para pejabat hingga kisah transvetism. Semuanya menarik dan lagi-lagi sanggup memancing tawa, tapi tidak dipaparkan secara mendalam supaya tak berujung sebagai sisipan komedik belaka. Disatu sisi "Men Who Save the World" memang penuh keanehan dan visual gag menyenangkan, karena dimana lagi anda akan melihat film tentang usaha memindahkan rumah dari tengah hutan? Tapi disisi lain hanya itu yang bisa ditawarkan. Alhasil meski Wan Hanafi begitu cakap berakting, dan fakta bahwa film berakhir sebagai tragicomedy tentang kejatuhan pria yang dulunya amat dihormati, "Men Who Save the World" tak pernah lebih dari sekedar komedi menghibur.

Tidak ada komentar :

Comment Page: