A WAR (2015)
Membahas peperangan apalagi memakai sudut pandang kemanusiaan memang tak pernah ada habisnya hingga tiba masa di mana hal tersebut tidak terulang lagi. Film ber-setting medan perang baik yang mengusung pesan anti-war atau sekedar glorifikasi terhadap desingan peluru jumlahnya pun sudah tak terhitung, sehingga filmmaker mesti berusaha lebih keras supaya karyanya meninggalkan kesan di hati penonton. A War karya Tobias Lindholm sekaligus perwakilan Denmark di ajang Oscar 2016 (berhasil menembus nominasi final) ini sekilas tanpa inovasi. Tengok saja judulnya yang mengundang pertanyaan, apakah (A) Klise dan malas, atau (B) straight to the point, menggambarkan keseluruhan kisah di dalamnya.
Penonton langsung dibawa menuju Provinsi Helmand, Afganistan, tempat pasukan militer Denmark yang dipimpin Claus Michael Pedersen (Pilou Asbæk) tengah bertugas. Misi utama mereka adalah berpatroli demi melindungi warga sipil dari pasukan Taliban. Suatu ketika saat tengah menjalankan misi, terjadi kecelakaan yang menewaskan salah seorang pasukan. Merasa bertanggung jawab, Claus memilih ikut terjun ke lapangan, memimpin pasukannya secara langsung. Sementara itu, secara bersamaan alurnya kerap berpindah menyoroti kehidupan keluarga Claus di rumah, termasuk bagaimana repotnya sang istri, Maria (Tuva Novotny) merawat ketiga anak mereka sendirian.
Patut ditekankan bahwa A War bukanlah film perang dengan dominasi adegan baku tembak. Fakta tersebut sudah bisa diterka bila menengok bujet yang hanya berjumlah $1.2 juta. Selain ledakan ranjau di adegan awal, sepanjang durasi 115 menit hanya ada satu momen berisikan hujan peluru, itupun tidak tersaji dalam skala besar dan jauh dari kesan bombastis. Membagi kisah menjadi dua babak, fokusnya lebih menitikberatkan pada problema moralitas baik di dalam maupun luar medan perang. Paruh pertamanya berupa frontline drama, mengetengahkan pada keharusan Claus mengambil keputusan-keputusan dilematis sebagai hasil gesekan antara nurani dengan prosedural. Sampai semuanya berpuncak pada baku tembak antara militer Denmark melawan Taliban, di mana keputusan Claus berujung konsekuensi yang harus ia dan keluarganya tanggung.
Paruh keduanya berupa courtroom drama, membawa konflik dari garis depan peperangan menuju ruang persidangan. Jika babak pertama berfungsi memaparkan, maka babak keduanya mengajak penonton merenungi perihal moralitas selaku tema film. Dalam naskah garapan Tobias Lindholm, terdapat pembeda antara A War dengan formula milik Hollywood, yakni tatkala Claus tidak diposisikan seutuhnya sebagai "sosok putih". Penonton sama sekali tidak digiring untuk mendukung atau mengutuknya, karena kita sendiri tidak bisa (semudah itu) menentukan kebenaran, di mana selalu ada reasonable doubt dalam tiap sisi. Keputusan Lindholm untuk tidak menyederhanakan kompleksitas tema memberikan bobot tersendiri di tengah perjalanan alur yang sesungguhnya predictable.
Selain momen titik balik di pertengahan film, A War sesungguhnya terasa amat familiar, mulai dari tema, cerita, bahkan perpindahan fokus menuju ruang persidangan juga bukanlah suatu hal baru meski harus diakui Lindholm cukup kokoh menghantarkan tiap aspeknya. Penggunaan shaky cam dalam taraf sewajarnya untuk adegan battlefield menguatkan suasana chaotic realistis, menjauhkan filmnya dari kesan glorifikasi peperangan berbalut kemewahan visual. Courtroom drama-nya pun mampu menggugat perspektif saya akan moralitas. Namun lagi-lagi semuanya terlalu familiar, menyebabkan A War tidak memberi impact atau provokasi lebih kuat.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Dari penjelasan ceritanya kok mirip sama Paths of Glory nya kubrick ya? Apakah "familiar" nya juga karena ini?
Unsur courtroom drama nya mirip walaupun kasusnya beda. Yang bikin familiar dibandingg film-film perang lain adalah caranya menghantarkan pesan
Posting Komentar