STAY WITH ME (2016)
Salah satu miskonsepsi yang paling jamak muncul dalam film romansa adalah eksploitasi keindahan sinematografi untuk memunculkan suasana romantis. Visual memikat tidak haram hukumnya, tapi hanya mengandalkan itu lalu mengesampingkan kekuatan penceritaan justru membuat filmnya hambar. Patut diingat, film bisa disamakan dengan music video atau pre-wedding video, di mana dalam kedua media tersebut, gambar indah memang (harus) jadi kekuatan utama. Stay with Me garapan Rudi Soedjarwo ini mengambil pendekatan serupa. Teruntuk pangsa pasar remaja, cara tersebut mungkin efektif, tapi masalahnya Stay with Me mengusung konflik percintaan jauh lebih dewasa, bukan sekedar cinta monyet masa muda.
Film ini mengisahkan sepasang kekasih, Boy (Boy William) dan Deyna (Ully Triani) yang telah bersumpah akan saling mencintai dan bersama untuk selamanya. Namun sebuah tragedi memaksa Deyna pindah ke Eropa meninggalkan Boy. Enam tahun berselang, Boy telah menjadi seorang sutradara sekaligus memiliki istri dan seorang anak. Sampai tiba saat di mana hubungan Boy dan istrinya memburuk, takdir mempertemukannya kembali dengan Deyna yang kini pun telah memiliki suami dan anak. Tidak butuh waktu lama bagi kenangan romansa masa lalu di antara keduanya kembali hadir, membawa Boy dan Deyna menjalin hubunngan sekali lagi.
Sungguh, Stay with Me punya potensi luar biasa untuk menjadi suguhan percintaan mature tanpa melupakan sisi romantisme. Kedua protagonisnya dihadapkan pada problema rumit, bukan percikan konflik sederhana ala cinta monyet. Filmnya bisa saja mengambil sudut pandang menarik tentang perselingkuhan. Pertanyaan "bagaimana jika penyatuan cinta sejati terbentur status pernikahan?" bisa amat menarik untuk digali. Ada pula gesekan antara cinta dan materi, berpotensi membuat filmnya lebih berpijak pada isu kehidupa nyata daripada sekedar bermanis-manis dalam kisah cinta happily ever after bak di negeri dongeng. Sayang, naskah karya Rudi Soedjarwo dan Anggi Septianto hanya menjadikannya selingan belaka.
Dari segi teknis, Stay with Me memang jempolan. Sinematografi dari Arfian konsisten mengumbar keindahan visual berisikan warna-warna lembut nan manis. Scoring karya Andi Rianto meski tak jarang kelewat megah di beberapa adegan dengan intensitas emosi kelas menengah, mampu hadir selaras bersama visualnya. Kulit luar film ini memang manis, tapi tidak dengan ceritanya. Naskah hanya berorientasi menunjukkan hasil, bukan proses mencapai kesana. Tiba-tiba kita melihat Boy dan Deyna berpisah, hubungan Boy dan istrinya memburuk, proyek film Boy gagal, dan sebagainya. Rudi dan Anggi lalai mengajak penonton menyelami seluruh aspek cerita, khususnya hubungan Boy dan Deyna.
Belum sempat saya jatuh cinta pada keduanya, film sudah mencapai akhir suatu konflik, lalu berpindah ke poin berikutnya. Tidak ada pemikat hati dalam kakunya percintaan karakter utama. Interaksi mereka didominasi adegan tertawa, seolah ingin menunjukkan betapa bahagianya hubungan tersebut. Tapi seperti sebuah inside joke di mana hanya "orang dalam" yang tertawa, saya ibarat outsider, tidak tahu kenapa mereka bahagia dan saling mencintai. Maka wajar ketika saya mendengar seseorang berujar "ngapain mereka ketawa sih? garing gitu", karena penonton dibiarkan di luar tanpa diajak terlibat lebih jauh apalagi ikut merasakan cinta keduanya.
Lemahnya naskah sama sekali tidak membantu Boy William atau Ully Triani menghantarkan performa maksimal. Dibandingkan beberapa penampilan sebelumnya, Boy William memang mengalami peningkatan. Aktingnya tidak lagi berlebihan dan aksen "barat" miliknya lebih tepat guna. Tapi tatkala karakternya berkontemplasi alias hanya diam memandang kosong, ekspresi Boy pun sama kosongnya. Tidak ada kesedihan, hanya kekosongan. Ditambah lagi Rudi Soedjarwo gemar mengambil adegan sunyi dengan take panjang berisikan Boy dalam kediamannya. Akibatnya, film ini seringkali terasa melelahkan karena tidak terjadi apapun di layar termasuk parade emosi sang aktor. Ully Triani sebagai debutan justru lebih sukses menyuntikkan nyawa pada karakternya berkat curahan emosi believable tak berlebihan, meski lagi-lagi kelemahan di naskah menghalangi terciptanya chemistry kuat di antara mereka.
Beberapa menit terakhir selaku klimaks sedikit menyelamatkan Stay with Me dari kedataran emosi sepanjang durasi. Konflik puncak antara Boy dan Deyna jujur saja cukup menyesakkan. Namun perasaan itu hadir karena sebagai pria, saya tahu bagaimana kacaunya perasaan Boy menghadapi permasalahan tersebut, hingga mampu bersimpati padanya, bukan karena naskah atau pengadeganan kuat. Momen itu sedikit memberi nilai positif, namun tidak menutupi fakta bahwa secara keseluruhan, Stay with Me hanya satu lagi sajian romansa tanpa kekuatan emosi yang hanya menggantungkan diri pada kekuatan visual. Film ini sekedar mengungkapkan hasil tanpa eksplorasi proses guna menjalin ikatan antara penonton dengan kisah maupun karakter. Potensi menjadi romansa yang lebih dewasa pun turut memudar bersama dangkalnya penceritaan.
Ticket Powered by: Bookmyshow ID
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Sangat salut sama usahanya bang Rasyid... untuk selalu update (dengan segera) review film-film terbaru, terutama film indonesia. Saya baca review2 terdahulu sama sekarang, uda makin lihai nih komen soal akting pemerannya disamping cerita/naskah filmnya sendiri. Tetap pertahankan bang!
Thanks, don't read my old reviews though hahaha
Salam kenal ya mas rasyid. Ternyata update bgt sama film terbaru indonesia.
Oy barusan saya habis baca review mas rasyid dari 2012 tp g semua c.
Terima kasih udah kasih ide buat liat film yg berkualitas meskipun belum sempat liat semuanya.
Salam kenal ya mas dari say, pecinta film amatir.
Salah satu tujuan saya nge-review memang untuk kasih referensi film bagus yang sering terlewat. Syukurlah kalau tersampaikan.
Makasih sudah menyempatkan baca :)
pas adegan pasangannya ketawa2 berdua saya jadi ikut ketawa juga ngga tau kenapa
Posting Komentar