IBLIS (2016)

4 komentar
Sudah sering saya katakan bahwa modal niat saja tidak cukup dalam membuat film. Satu film jelek tidak serta merta naik derajat kualitasnya karena niat mulia pembuatnya. Iblis karya sutradara Rano Dimas ini jelas diniatkan untuk menjadi horor murni tanpa embel-embel seks atau komedi konyol tak lucu. Bukan itu saja, karena naskah buatan Almar AS pun coba memberi eksplorasi psikologis pada karakternya. Tujuan itu tentunya baik dan apabila sukses bukan kemustahilan jika Iblis dapat menjadi The Babadook-nya Indonesia. Kehadiran Rudi Soedjarwo pun sedikit memberi harapan, karena setidaknya ia tak akan membiarkan film yang ia produseri berakhir sebagai sampah tingkat amatiran. 

Opening credit-nya cukup menjanjikan. Kentara sekali pengalaman Rano Dimas menjadi penata gambar dan astrada di Stay with Me membuatnya mampu menerapkan visual elegan khas Rudi Soedjarwo. Kisahnya sendiri dimulai tatkala Denis (Christian Loho) berkunjung ke rumah seorang paranormal bernama Suryo (Betet Kunamsinam) guna meminta pertolongan atas teror misterius yang telah beberapa lama menghampiri. Denis mengaku kerap mendapat gangguan dari sesosok makhluk hitam pekat bercakar panjang (lebih mirip akar) yang kemudian diidentifikasi oleh Suryo sebagai Iblis. Ditengarai Iblis tersebut muncul sebagai manifestasi kegelapan hati Denis, khususnya setelah ia membongkar perselingkuhan istrinya (Stevie Dominque). 
Usaha naskahnya memberi sentuhan psychological disorder pada tokoh Denis gagal total karena sepanjang durasi 82 menit, begitu minim waktu diluangkan untuk melakukan pendalaman karakter. Berkaca pada The Babadook misalkan, apabila kita hilangkan unsur hantu-hantuan, film tersebut berubah menjadi thriller psikologis tentang hilangnya kewarasan seorang ibu. Tapi coba terapkan itu pada Iblis maka, well...jadilah sajian kosong. Kekokohan naskah sejatinya bukan suatu kewajiban dalam film horor, namun ketika terdapat usaha menyelipkan unsur gangguan mental pada tokohnya, naskah jadi perlu diperhatikan. Sayang, naskah Iblis kurang dalam mengeksplorasi. Cerita bisa lebih kuat andai sosok Iblis lebih diposisikan sebagai sosok simbolik yang keberadaannya ambigu daripada sepenuhnya nyata. 
Soal naskah, jangankan kualitas, karena kuantitas plot juga amat minim ketika Rano Dimas lebih doyan menyusun filmnya lewat kumpulan jump scare. Berkebalikan dengan formula standar film, di sini cerita justru hanya tampil sebagai sempilan, sisanya berisi penampakan hantu tanpa henti lewat cara repetitif sekaligus tidak kreatif: seorang tokoh tengah melakukan hal random, cue music hadir, muncul tangan berbentuk akar secara perlahan, kemudian ditutup hentakan scoring sembari karakternya berteriak ketakutan. Begitu terus secara berulang-ulang. Memang ada sekitar dua atau tiga momen mengerikan, tapi menengok seberapa banyak usaha menakut-nakuti dilakukan, jumlah itu jelas tidak signifikan. Salahkan desain cakar Iblis yang alih-alih menyeramkan justru mirip tentakel (if you know what I mean). 

Di samping kekurangan mayor, terdapat pula serpihan-serpihan yang mengusik pikiran saya. Pertama, kenapa rumah Denis terlihat sangat kosong seolah tak berpenghuni? Apa uangnya terkuras habis saat membeli rumah besar itu sampai tak bersisa untuk mengisi perabotan? Kedua, teror yang ia dan sang istri alami jelas sudah kelewat batas, tapi kenapa tiada wacana untuk pergi atau ungkapan rasa tidak betah? Ketiga, film ini membedakan "hantu" dan "iblis", tapi apa sesungguhnya perbedaan di antara mereka selain pure evil dan arwah gentayangan? Keempat, kenapa Denis dan istrinya seolah berada di dunia berbeda? Saya paham intensi memaparkan retaknya hubungan mereka, tapi bukan berarti harus disajikan seliteral itu. Ibarat akting, seorang aktor tidak harus berteriak-teriak supaya terlihat marah. Begitulah Iblis. Banyak hal janggal serta potensi terbuang tapi minim keseraman.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

4 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

review the hunting ground sama concussion dong hehe

Rasyidharry mengatakan...

Soon :)

kunamsinam mengatakan...

terima kasih reviewnya

Yondri Pratama mengatakan...

mas rasyid, review ISENG dong.. thx :D