ASSASSINATION CLASSROOM: GRADUATION (2016)
I love the first movie (review), salah satu adaptasi live action favorit saya sejauh ini. Walau harus diakui tanpa narasi mumpuni serta memaksakan begitu banyak kisah ke dalam satu film berdurasi (hanya) 110 menit, absurditas komedi dan karakter membuatnya mudah dicintai. Selang setahun kemudian, sekuel bertajuk Graduation yang masih disutradarai oleh Eiichiro Hasumi rilis. Mengemban tugas sebagai babak penutup, filmnya bagai menyadari keharusan mengakhiri cerita secara emosional sehingga asupan drama khususnya mengenai masa lalu Koro-sensei (Kazunari Ninomiya) diperbanyak sampai mengambil alih fokus utama. Sayangnya keputusan tersebut justru melucuti segala daya tarik film pertamanya.
Sebagaimana pendahulunya, Graduation bak tersusun atas segmen-segmen minim kohesifitas, atau jikalau ada, terasa dipaksakan. Awalnya kisah menyoroti festival sekolah yang dianggap memberi peluang besar bagi murid kelas 3E membunuh Koro-sensei karena kondisi ramai bakal memecah konsentrasinya. Di saat bersamaan pemerintah mengirim sniper bernama Red Eye (Tsuyoshi Abe) guna menghabisi Koro-sensei. Tidak berapa lama fokus berpindah pada pengungkapan jati diri Kaede Kayano (Maika Yamamoto), flashback masa lalu Koro-sensei beserta hubungannya dengan Aguri Yukimura (Mirei Kiritani), dan masih banyak lagi.
Paruh awal Graduation mempertahankan nuansa serupa film pertama, yakni kemunculan tokoh-tokoh unik yang bertujuan membunuh Koro-sensei. Hanya saja, semua itu semakin terasa repetitif, tidak lagi menghadirkan efek hiburan signifikan. Bagi murid-murid kelas 3E, usaha membunuh sang guru sudah jadi rutinitas biasa, begitu pula perasaan saya menyaksikan kegiatan tersebut. Karena biar segila apapun, rutinitas berulang pastilah suatu saat menimbulkan kebosaan. Begitu pula kemunculan segelintir "pembunuh" lain yang jauh dari kesan menarik. Red Eye maupun Kaede plus tentakelnya jelas kalah unik dibanding Ritsu (Kanna Hashimoto) si artificial intelligence atau Irina Jelavic (Kang Ji-young) sang pembunuh seksi (baca: bitchy).
Sewaktu tone berganti menuju drama-romantis, intensitas Graduation semakin menurun. Pergantian ini memang perlu demi penggalian karakter Koro-sensei, tapi pace lambat cenderung dragging, dangkalnya naskah karya Tatsuya Kanazawa, ditambah chemistry lemah dari Kazunari Ninomiya dan Mirei Kiritani membuat pertengahan film alih-alih romantis justru melelahkan. Kecuali momen saat Koro-sensei a.k.a Shinigami dan Aguri "berpegangan tangan", kesan romantis kurang berhasil mencuri perasaan. Akibat berlama-lama pada sub-plot ini, bukan saja intensitas menurun, waktu yang penonton habiskan bersama murid-murid kelas 3E turut terpangkas. Padahal konklusi film jelas membutuhkan itu demi memperkuat dinamika emosi.
Fokus menuju drama otomatis mengeliminasi kesempatan memunculkan komedi absurd selaku kelebihan terbesar Assassination Classroom. Segelintir momen mampu mengundang senyum, tapi hanya sebatas itu, nihil gelak tawa. Daya bunuh jokes-nya berkurang drastis karena kehadirannya tak lagi alami, dipaksakan hadir sekedar untuk memenuhi kewajiban memasukkan unsur komedi. Harapan sempat kembali tatkala klimaks menyuguhkan pertarungan Koro-sensei melawan sesosok monster, sayang, pasca building menjanjikan, klimaks selesai terlampau cepat, meninggalkan kita pada kekecewaan menanti sajian pamungkas penuh gebrakan. Konklusinya berpotensi mengaduk-aduk emosi tatkala dilema para siswa kelas 3E mencapai puncak, tapi setelah sekitar satu jam melelahkan, Assassination Classroom: Graduation justru berakhir meninggalkan kerinduan atas kehebatan film pendahulunya menyuguhkan hiburan menyenangkan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 komentar :
Comment Page:Baca manga/Nonton anime-nya gak bang?
Dulu sempet baca tapi belom lanjut lagi sih
Nggak dilanjut aja? Mumpung dah tamat :)
Wah lagi menyibukkan diri sama komik-komik Marvel :)
yang sama eh ada jadwal kuliah? ๐๐๐
Posting Komentar