VIDEO MAUT (2016)
Wahai produser dan filmmaker kacrut, tahukah kalian betapa beratnya perjuangan saya membela nama perfilman Indonesia di mata para apatis? Ini bukan pernyataan kesombongan. Bukan pula permintaan diberi tanda jasa. Tapi sungguh, bahkan pada masa ketika kualitas film kita secara umum telah meningkat, masih cukup sulit menarik atensi banyak pihak supaya mereka bersedia membuka mata, meluangkan waktu guna melangkahkan kaki ke bioskop menonton film Indonesia. Berulang kali saya berdepat entah secara langsung maupun lewat dunia maya mengenai kepantasan menonton film lokal. Jadi mengapa tiap kali ada suguhan bagus yang bisa dipakai sebagai alasan menarik animo, selalu muncul sampah yang tak hanya berkualitas rendah, juga meremehkan filmmaking itu sendiri.
Saya bukanlah moralis apalagi ulama, sehingga merasa sah saja apabila suatu film horor mengumbar keseksian aktris. Karena contoh klasik macam Texas Chainsaw Massacre sekalipun melakukannya. Tidak pula saya termasuk golongan snob penolak keklisean tutur mengenai sekelompok remaja bodoh dengan otak mesum terjebak di tempat terpencil saat berlibur. Buktinya saya menikmati salah satu adegan Video Maut ketika Maya (DJ Rizuka) di-bondage lalu berlarian memakai bikini. Namun menjadi percuma apabila kesenangan horor justru terlupakan. Bagaimana bisa penampakan-penampakan hantu kalah seram dibanding beberapa foto mayat di dinding kantor polisi? Sangat disayangkan pameran gore menjanjikan pada klimaks tak mampu menutupi setumpuk kekurangan tadi.
Tiada harapan muluk bahwa naskah karya Ashivery Kumar akan tampil cerdas. Sedikit mengganggu, tapi biarlah ceritanya berusaha menjadi versi jauh lebih bodoh dari Ringu tatkala teror hantu diceritakan tersebar lewat video yang dikirim melalui Whatsapp. Biar juga naskahnya urung menjelaskan mengapa sang hantu memilih teknik penyebaran melalui video, toh barang supranatural memang sukar dijabarkan. Tapi tolong, setidaknya dalam naskah film layar lebar, pelajari arti kata-kata yang digunakan. Jangan sampai salah mengartikan "bukti" sebagai "motif". Ketahuilah pula jika kata "tembang" menurut KBBI artinya "nyanyian", sehingga kalimat "bernyanyi tembang lagu" berarti "bernyanyi nyanyian lagu". Keburukan cerita bisa dimaklumi, namun pemilihan kata merupakan aspek lebih mendasar. Tolonglah diperhatikan.
Sebagai film horor, saya memaklumi tingkah laku bodoh karakternya, entah berlari ke jalan buntu atau melompat dari lantai dua. Tapi bagaimana bisa seorang dokter rumah sakit jiwa berkata "pasien ini mengalami gangguan kejiwaan, anda bisa menyebutnya gila". Mana ada psikiater/psikolog menyatakan pasiennya "gila". Ditambah lagi ketika seorang polisi menanyakan diagnosis sang pasien, dokter itu jadi orang pertama yang menyebutnya kerasukan. Mohon ditinjau ulang juga, mungkinkah seorang polisi dengan enteng mengobral fakta rahasia suatu kasus pada sang dokter, terlebih jika polisi itu tak percaya akan diagnosa "kerasukan" dari dokter tersebut. Sekali lagi, mohon lakukan riset terlebih dulu sebelum menuliskan karakter berbentuk apapun. Mohon.
Wahai para produser dan filmmaker selaku sosok industri perfilman tanah air, boleh anda tak memperhatikan kualitas karya demi mementingkan pundi-pundi uang. Saya pun paham ketika pembuat film ini menyelipkan unsur meta lewat curhatan seorang produser bahwa drama berbobot tak laku dan lebih baik membuat film horor. Curhatan itu layak dihargai. Tapi bisakah anda tidak meremehkan proses pembuatan film itu sendiri? Selain karena Video Maut nampak digarap asal, di dalamnya terdapat kisah tentang proses syuting film horor. Bagaimana bisa H-1 di lokasi syuting hanya terdapat empat orang cast beserta sutradara tanpa satu kru sekalipun melakukan persiapan? Kalian hendak melakukan pengambilan gambar untuk film layar lebar, bukan porno amatir macam Bandung Lautan Asmara. Sekali lagi tolonglah, masih banyak masyarakat Indonesia apatis akan film negerinya sendiri, jangan jejalkan lebih banyak karya-karya tidak niat seperti ini.
Ticket Powered by: Bookmyshow ID
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
12 komentar :
Comment Page:Hahaha. Baru kali ini tampak marah-marah.
Banyakan curhat dibanding reviewnya. Ok om.... ane akan bersikap objektif... keep fighting. So far ane cuma ntn the raid di bioskop.
Ini belum marah, review mas gagah itu marah haha
Dulu saya juga sama kok, tinggal berusaha open mind, dan perlahan nonton
saya juga selalu menyempatkan waktu untuk nonton film indonesia yg saya prediksi bagus
meski kenyataannya beberapa berakhir mengecewakan
tapi msh ada segelintir film indonesia yg berakhir kepuasan
Nggak masalah, memang harus selektif kok. Terus tonton ya :))
apa yg ada di pikiran filmaker nya buat filem kaya git????..sampe heran...
Berbicara perfilman Indonesia, dulu sempat bagus dekade 50-an dan 60-an. Dipioneri Usmar Ismail, film Indonesia berhasil tembus bioskop-bioskop kelas I. Padahal, sebelum Negara ikut campur dengan membatasi kuota impor film, bioskop-bioskop ―terutama di Jakarta― mana mau memutar film Indonesia. Anggapan mereka kualitas film Indonesia buruklah, dan sebagainya.
Baru memasuki 70-an dan 80-an tren itu mulai menurun. Rezim Suharto yang represif betul-betul mengawas ketat perfilman melalui Departemen Penerangannya. Bila ada sedikit saja yang bertentangan dengan ideologi dan kebijakan pemerintah, maka film tersebut diberangus. Banyak sutradara akhirnya kehilangan kreativitas dan berujung tumbuh suburnya film-film seks. Terbukti pada 90-an menjadi puncak kejayaan film-film berjenis ini. Mulai dari Gairah Binal, Ranjang Birahi, Puncak Kenikmatan, hingga Permainan Erotik.
Lalu bagaimana dekade 2000-an? Masih! Tapi dengan format yang baru. Hingga sekarang saya tak habis pikir kenapa beberapa produser di Indonesia sulit sekali membuat film bermutu. Intervensi negara sudah tidak seketat dulu, kecuali menyangkut pornografi. Tapi kenapa masih saja buat film yang orientasinya pasar dan keuntungan? Padahal, film Laskar Pelangi telah memperlihatkan ―terlepas dari novelnya yang sebelumnya telah meledak― bahwa film ini peraih perolehan penonton terbanyak. Dan belum ada yang mengunggulinya sampai saat ini.
Terakhir, menyangkut Mas Gagah lebih baik legowo dulu, Mas. Perfilman Indonesia membutuhkan antitesis dari maraknya film-film seks berbalut komedi dan horor. Ibarat dialektika, keduanya akan menjadi simpul positif bagi perfilman tanah air. Jadi, kalau mau kritik film-film religi, mulai sekarang, baiknya ingat lagu kotak, "pelan-pelan saja."
Tentang produser, karena masih banyak produser kita yang nggak tahu naskah bagus itu kayak gimana, jadi tetep sering acc film jelek. Laskar Pelangi itu ramuannya sempurna buat penonton sini: adaptasi novel tenar + cerita emosional + inspiring, dan (untungnya) digarap bagus. Saya suka film segmented yang total orientasi kualitas, tapi melihat kondisi industri yang masih merangkak ini, saya juga apresiatif sama yang bisa komersil tapi cukup berkualitas, contoh terdekatnya 'Juara' yang baru rilis.
Saya nggak masalah kok sama religi, malah 'Mencari Hilal' itu salah satu film favorit tahun kemarin. Hal yang saya benci itu kesan menggurui & minim toleransi, karena film religi itu pasti berpesan, kalau selipan pesannya justru "sepihak" dengan permasalahan fatal di Indonesia, itu nggak bagus. Lagian kalau bahas agama, banyak keindahan yang bisa dieksplorasi film religi, kenapa nggak ke arah sana? Lewat review, saya memang berniat menyuarakan sesuatu daripada sekedar bilang satu film itu bagus/jelek. Dan kalau diperhatikan, saya sudah "pelan-pelan" kok mengkritisi film-film Indonesia hehe
Anyway, makasih banyak komentar & opini panjangnya, selalu bahagia kalau ada yang membawa opini/diskusi secara sehat begini :)
Mungkin mereka lelah hahaha
saya juga kadang bingung, apa yg mereka cari dengan membuat film seperti ini
setau saya film ini seperti ini di bioskop sudah gaada yg minat nonton
Yak, emang semakin sepi. Alasannya kemungkinan besar kayak yang saya tulis di komentar panjang atas. Produser sini banyak nggak paham kualitas bahkan industri film sendiri. Gampang dikibulin mana yang bagus, mana yang laku
Posting Komentar