SON OF SAUL (2015)
Melalui film pemenang Best Foreign Language Film (perwakilan Hungaria) di ajang Oscar 2016 ini, definisi "character-driven movie" dibawa ke tingkatan lebih jauh oleh sutradara Lazlo Nemes juga menulis naskah bersama Clara Royer. Karakter utamanya bernama Saul Auslander (Geza Rohrig), pria Yahudi asal Hungaria yang tergabung sebagai anggota Sonderkommando dalam kamp konsentrasi di Auschwitz. Para Sonderkommando bertugas menyingkirkan mayat para korban hollocaust dan mendapat beberapa "keistimewaan" seperti barak tersendiri, makanan, hingga rokok karena pihak Nazi membutuhkan mereka untuk selalu bugar. Karena itu pula tentara Nazi tidak asal membunuh anggota Sonderkommando sebagaimana tahanan lainnya.
Di kemunculan pertamanya, kita melihat Saul berjalan perlahan menuju fokus kamera, dan semenjak itu, selama 107 menit durasi film amat jarang dia menghilang dari frame. Camerawork Matyas Erdely didominasi dua jenis shot, yakni close-up sisi depan seolah penonton tengah bertatap muka dengan Saul, atau di belakang bahu, membuntuti ke mana ia melangkah. Matyas Erdely mengeliminasi kehadiran Saul dari layar hanya ketika suatu peristiwa sangat perlu ditekankan. Bukan itu saja, penggunaan aspect ratio 1.37 : 1 (kotak) plus shallow focus (fokus di satu titik, sisanya blur) menyempitkan bidang pandang.
Dampak teknik pengambilan gambar tersebut adalah atensi nyaris sepenuhnya tertuju pada Saul. Penonton diposisikan sebagai observer, bukan sekedar di tataran tingkah laku, namun langsung ke dalam batin sang karakter. Kita melihat tatapan matanya, pula ekspresi mikro yang subtil tapi kuat menyiratkan bagaimana sang tokoh begitu terguncang atas rangkaian pemandangan horor di kesehariannya mengurusi mayat-mayat. Dia tidak ekspresif, lebih sering menatap kosong yang justru menegaskan betapa kengerian tersebut telah mengganggu isi pikirannya. Geza Rohrig menampilkan akting solid, menekankan di ketersiratan rasa ketimbang pengekspresian emosi gamblang.
Senantiasa di dekat Saul, kita pun tak lebih banyak tahu daripada sang protagonis, sebatas memahami bahwa Saul terenggut perhatiannya oleh mayat seorang bocah yang hendak diautopsi. Merasa sang bocah harus diberikan pemakaman layak sesuai ajaran Yahudi, Saul mempertaruhkan nyawanya, berpindah dari satu unit ke unit lain guna mencari seorang Rabbi. Hanya itu yang ia pikirkan, tanpa mempedulikan carut marut di sekelilingnya termasuk rencana pemberontakan Sonderkommando. Lalu apakah sang bocah benar anak Saul atau sekedar bentuk usahanya menebus rasa bersalah setelah sekian lama membuang mayat rekan-rekan sejawat? Mungkin senyuman simpul di akhir film bisa menjadi jawaban.
Saul tidak memperhatikan (atau peduli) terhadap segala hal di atas, begitu pula penonton, di mana seringkali saya dibuat bingung oleh kekacauan yang mendadak hadir. Kebingungan itu memang sengaja diciptakan Nemes supaya mengerucutkan fokus pada Saul seorang sekaligus meletakkan penonton pada kondisi yang sama dengannya. Tujuan itu tercapai, namun di sisi lain kenyamanan mengikuti alur penceritaan jadi terganggu. It's too chaotic and confusing. Tapi paling tidak "Son of Saul" telah berhasil menyuguhkan temvariasi sudut pandang serta cara penceritaan bagi tema hollocaust.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:bener bgt mas...teknik pengambilan gambarnya dan aktingnya bagus,di sisi lain film ini punya hollocaust (yg tidak manusiawi) tapi si saul adalah org yg manusiawi ato mencoba menjadi manusiawi..
jadi dia org yg manusiawi yg perkerjaannya tidak manusiawi
dan racikan sang sutradara berhasil..
kang sudah nonton series Stranger Things dari Netflix, menurut saya itu bagus
Duh belom sempet nonton series kecuali AHS hehe
Coba nonton hunt wilderpeople bang film terbaru 2016, rasakan sensasi the grand budapest hotel terulang kembali 😃
Oh pasti nonton filmnya Taika Waititi yang satu itu
Emang terkenal nyeleneh filmnya orang itu bang 😂
Posting Komentar