THE GIRL ON THE TRAIN (2016)

11 komentar
Wajar bila adaptasi novel berjudul sama karya Paula Hawkins ini amat dinanti, dianggap sebagai "Gone Girl"-nya 2016. Selain sama-sama diangkat dari novel, "The Girl on the Train" juga mengetengahkan misteri menghilangnya sesosok wanita berpadukan tuturan psycho-drama dalam kehidupan rumah tangga. Tapi di tangan Tate Taylor yang filmografinya terdiri atas judul-judul macam "The Help" hingga "Get on Up", intensitas lalai dibangun dan ia bagai lebih tertarik menekankan jalinan melodrama, menciptakan hasil akhir sebuah suspense-free thriller dengan tumpuan utama pada drama yang bahkan tak pernah cukup kuat menggaet atensi penonton.

Sang wanita di kereta adalah Rachel Watson (Emily Blunt) yang tiap harinya berangkat kerja menggunakan kereta. Di tiap perjalanan itulah Rachel kerap memandang ke luar jendela, terpikat akan romantisme Megan (Haley Bennett) dengan sang suami, Scott (Luke Evans). Penyebabnya tak lain kegagalannya membangun rumah tangga. Tidak tahan menghadapi adiksi alkohol Rachel, Tom (Justin Theroux) memilih meninggalkan sang istri, menikah lagi dengan selingkuhannya, Anna (Rebecca Ferguson). Rachel makin terbenam dalam adiksi, bahkan sering "meneror" Tom dan Anna baik melalui telepon tanpa akhir atau mendadak muncul di kediaman mereka. 
Erin Cressida Wilson merangkai alur memakai gaya interwoven storylines di mana kisah Rachel, Megan, dan Anna bergantian mengambil fokus, bergerak secara non-linier, melompat antar tiap setting waktu. Kita mempelajari masa lalu Rachel, terungkap pula pernikahan Megan tak sebahagia kelihatannya, hingga mencapai sekitar 25 menit durasi tatkala Rachel terbangun di kamar dalam kondisi berlumuran darah tanpa mengingat kejadian malam sebelumnya. Tidak lama kemudian Megan diberitakan menghilang. Intensinya jelas, menggiring penonton untuk menebak-nebak apa yang sesungguhnya terjadi pada malam hilangnya memori Rachel dan apakah ia terlibat dalam kasus menghilangnya Megan.

Karakter dengan memory loss cukup jadi bekal trik membangun misteri sebab kondisi tersebut memicu kerancuan ingatan karakternya, memberi kesempatan filmmaker menyelipkan berbagai momen misleading. Apalagi alur filmnya bergulir non-linier sehingga fakta dapat disembunyikan lewat perpindahan cerita maupun permainan waktu. Untuk itu, alur "The Girl on the Train" telah cukup baik menjalankan tugasnya menipu persepsi penonton sebelum akhirnya mengungkap twist mengejutkan. Tapi terdapat dua alasan mengapa kejutan tersebut akhirnya tak berarti. 
Alasan pertama dipicu kegagalan Tate Taylor menghadirkan ketegangan. Film ini tampil kelam pula elegan didukung warna bernuansa dingin sinematografi Charlotte Bruus Christensen serta iringan musik elektronik karya Danny Elfman. Such a well-made and good-looking movie but unfortunately, also a flat one. Tidak ada alasan penonton mesti peduli lalu terserap, ikut berusaha memecahkan misteri kala plotnya sendiri jarang meluangkan waktu mengupas hal tersebut. Konsentrasi terbesar justru diberikan bagi drama psikologis yang hanya berusaha pamer betapa kacau kondisi tokoh-tokohnya. Megan is just a two-dimensional nymph while Anna is underdeveloped. Tatkala urung tercipta keterikatan penonton akan misteri, twist sebanyak dan semengejutkan apapun takkan berdampak. Ditambah lagi Taylor terlampau bertele-tele menyampaikan jawaban, menjadikannya predictable

Memposisikan psycho-drama sebagai shock value tentu sah saja, walau artinya menanggalkan potensi eksplorasi kompleks tentang kehancuran individu yang dipicu cinta, nafsu, serta trauma. "The Girl on the Train" efektif melakukan itu hingga mencapai twist, menciptakan alasan kedua yakni justifikasi terhadap perilaku karakter. Twist-nya mengajak penonton menerima, memaklumi perbuatan Rachel yang termasuk adiksi alkohol dan creepy stalkingEmily Blunt is outstanding as she looks wasted and messed up through the whole movie. Sosok Rachel nampak rapuh luar biasa berkatnya, belum lagi totalitas ledakan emosi yang kerap dipertunjukkan. Tapi bahkan akting Oscar-worthy Blunt pun tak mampu mengangkat kualitas "The Girl on the Train" yang menambah panjang daftar kekecewaan sepanjang 2016. 

11 komentar :

Comment Page:
Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

jika alur non linier dan fokus ke banyak karakter, berarti film ini mengikuti alur dan gaya penceritaan dari novelnya secara mentah.
sebebarnya dr novel pun gone girl lebih baik daripada the girl on the train

Ardhy mengatakan...

film terbaik dunia 2016 versi movfreak mana nih?

Rasyidharry mengatakan...

Ya, gaya tuturnya setia sama novelnya

Rasyidharry mengatakan...

Maaf ya tahun ini bakal ada sedikit keterlambatan :)

nissssss mengatakan...

ngefans berat ama emily blunt, cuma girl on train bukan termasuk favorit gue sih

Lya Lutfuntika's Writing Compilation mengatakan...

Review why him downk bank

Achyar Nur Sohid mengatakan...

Bang Rasyid, review Arrival bang.. Kutunggu..

Unknown mengatakan...

Bang, review film dangal. Recommended

Unknown mengatakan...

Yah mengecewakan ternyata
Apalagi udah baca novelnya pula
Jadi ragu mau nontonnya

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

setelah nonton kecewa sekali
tidak memorable dan memikat tokohnya
masih jauh dibawah gone girl eksekusi filmnya

Anonim mengatakan...

Gak masuk list rekomendasi.
sebelum tayang, aku udah baca novelnya dulu. aku emang suka genre thriller. tapi emang pada dasarnya ini novel, ceritanya tidak terlalu berat, tapi tetap bikin penasaran. untuk novel sejenis ini rentan untuk jadi film karena eksekusi yang salah bisa bikin boring, terutama pada bagian awal. setengah di awal kita dibuat mengikuti gimana hancurnya hidup rachel. dan diselingi dengan kisah 2 wanita lain, yang membuat kita bertanya-tanya di mana titik temunya. twist mulai muncul setengah di akhir karena kunci cerita mulai dibuka satu persatu,, untuk filmnya aku baru liat scene awal dan langsung nyerah.. kayaknya gak bakal semenarik novelnya. padahal aku mau baca novelnya karena ada Blunt di film ini..