GHOST IN THE SHELL (2017)
Rasyidharry
Maret 30, 2017
Ehren Kruger
,
Ghost in the Shell
,
Jamie Moss
,
Jess Hall
,
Juliette Binoche
,
Kurang
,
Motoko Kusanagi
,
REVIEW
,
Rupert Sanders
,
Scarlett Johansson
,
Science-Fiction
,
Takeshi Kitano
,
William Wheeler
18 komentar
Diangkat dari manga berjudul sama karya Masamune Shirow, "Ghost in the Shell" berusaha mengundang minat publik lewat dua aspek visual: gambaran dunia penuh hologram canggih di tiap sudut kota dan Scarlett Johansson. Sejak trailer perdananya dirilis, mata semua orang langsung tertuju pada "nude" bodysuit yang dia kenakan, meski banyak pula pihak melontarkan kritikan soal whitewashing di balik pemilihan aktris non-Asia untuk memerankan Major Motoko Kusanagi sang protagonis. Pada akhirnya memang ScarJo dan tata visualnya yang menyelamatkan saya dari kebosanan menyaksikan sajian "dingin" nan kosong ini. "Ghost in the Shell" feels like a pretty but empty shell.
Major (Scarlett Johansson) terbangun dan mendapati tubuhnya telah digantikan bahan sintetis buatan Dr. Ouelet (Juliette Binoche) dari Hanka Robotics. Walau demikian otaknya masih bertahan, menjadikan Major sosok pertama yang memiliki tubuh sekuat robot namun pikiran layaknya manusia. Setahun berselang, Major memimpin pasukan anti-terorisme bernama Section 9 yang diketuai Daisuke Aramaki (Takeshi Kitano). Kala menjalankan misi memburu kriminal yang berusaha melakukan sabotase pada sistem Hanka Robotics, perlahan Major mulai mengetahui misteri di balik ingatan masa lalunya yang hilang.
Gedung-gedung tinggi berhiaskan gemerlap neon, ramainya orang lalu lalang memenuhi jalanan kota, langit yang bagai selalu mendung. Berbagai suasana tersebut tentu terasa familiar, sebab sederet film bernuansa cyberpunk lain telah memberi penggambaran sama. Bedanya, "Ghost in the Shell" memberi sentuhan tambahan berupa hologram raksasa pengganti papan iklan. Walau urung dimanfaatkan untuk menyelipkan kritik sosial soal masyarakat modern bergelimang teknologi (juga sudah kerap dilakukan film lain), mata tetap akan terhibur oleh pemandangan ganjil itu. Keganjilan memikat serupa hadir pula melalui kemasan tata artistik indoor yang menunjukkan kecanggihan teknologi sampai desain karakter unik, sebutlah sepasukan robot geisha. Jess Hall selaku sinematografer piawai mengatur penempatan objek juga warna hingga mayoritas adegan bak lukisan indah sekaligus aneh dari masa depan.
Sebagaimana telah disinggung, meskipun film ini indah di luar, namun kosong di dalam. Lingkungannya tak punya pengaruh berarti. Selain enak dilihat, dunianya mengalami krisis identitas. Hal ini kentara di caranya menangani transisi setting dari Jepang. "Ghost in the Shell" tidak gamblang menyatakan detail lokasi, yang mana bukan masalah. Tapi ketimbang total membaurkan setting, filmnya seperti modifikasi Jepang setengah matang. Section 9 dipimpin orang Jepang yang selalu bicara Bahasa Jepang. Masa lalu Major erat kaitannya dengan orang Jepang. Ditambah lagi kemunculan robot Geisha. Ambiguitas lokasi yang baik bakal membuat penonton sadar kemiripannya dengan tempat tertentu secara tersirat. "Ghost in the Shell" justru sebaliknya. Tampak jelas berada di Jepang, tetapi memaksakan diri menolaknya selaku bentuk kemalasan para penulis naskah mengakali pemilihan cast aktor-aktor Barat (I'm not talking about whitewashing by the way).
Pendekatan naskah garapan Jamie Moss, William Wheeler dan Ehren Kruger terhadap artificial intelligence juga pertanyaan tokoh utama seputar eksistensi pun terlampau dangkal. Makna kemanusiaan serta pencarian Major atas hakikatnya sebagai makhluk hidup berlalu begitu saja, gagal merangkai penceritaan bermakna. Nihil permainan emosi, terasa datar. Semakin "dingin" tatkala sutradara Rupert Sanders meredam gejolak, membuat para tokohnya berbicara lirih cenderung datar bagaikan robot di tengah suasana adegan yang mayoritas sunyi pula ditemani cahaya temaram. Minim luapan kebahagiaan, kesedihan, amarah, atau bentuk ekspresi perasaan apapun. Ironis ketika "Ghost in the Shell" yang mengajak penonton menyaksikan perjalanan Major mencari sisi kemanusiaan malah berakhir sama dengan robot-robot di dalamnya. Dingin, tanpa hati. Saat filmnya sendiri enggan memanusiakan sang tokoh bagaimana penonton bisa merasakan itu?
Serupa di "Snow White and the Huntsman" Rupert Sanders kurang mampu merangkai aksi menarik. Tidak peduli berapa sering ia memanfaatkan slow motion, percuma kala intensitas gagal dipacu. Sanders sekedar meniru sekuen aksi yang melibatkan Scarlett Johansson sebagai Black Widow kemudian menambahkan gerak lambat selaku langkah klise guna memunculkan cool aspect. Satu-satunya yang Sanders paham adalah cara memaksimalkan pesona sang aktris. ScarJo memakai bodysuit warna kulit, tank top, bahkan backless di satu momen. Sanders tahu sudut kamera mana yang sanggup mengeksploitasi fisik aktrisnya supaya terlihat jelas di mata penonton, mulai hero shot kala ia menghajar musuh di genangan air hingga menjatuhkan diri dari puncak gedung. ScarJo sendiri membuktikan ia mumpuni melakoni adegan aksi, meyakinkan sebagai seorang action heroine.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
18 komentar :
Comment Page:Mau tanya nih, kemarin pas liat posternya di bioskop itu nudesuit-nya ScarJo warnanya jadi biru bukan warna kulit. Apa di filmnya yg tayang di Indonesia warna nudesuitnya sama kayak di trailer yg sewarna kulit atau jadi biru?
Ternyata memang gak mudah ya bang kita berharap ekspektasi lebih kalau anime dibuat live-action oleh Hollywood.
Tapi Ghost In The Shell masih mending daripada Dragonball Evolution sama The Last Airbender kali ya ?
Oh pengaruh lighting ruangan dan coloring postr aja. Tuh lihat poster yang di atas. Jadi kayak biru kan?
Jelas mending. Ghost in the Shell cuma mengecewakan, bukan sampah macam dua itu :D
Bodohnya saya pas waktu itu sempet nonton "sampah" itu, hahaha.
Btw next anime live-action yang bakalan digarap Hollywood apa ya ? Bagi infonya dong bang.
Untuk versi animenya lebih rumit tapi Apakah filmm ini masih layak nonton mas?? atau ada opsi film lain yang lebih layak??
Syukurlah gak kena sensor.
kalo baracas,, gimana mas?? layak kah??
Lah emang saya nggak? haha
Death Note!
Minggu ini sih nggak ada banyak pilihan. Lebih menghibur Smurfs haha
Nggak nonton. Baca review-review-nya parah :)
Oh seriesnya yang bakalan tayang di Netflix itu ya bang ?
Kalo buat feature filmnya gak ada rekomendasi nih di tahun 2017 ?
Itu feature kok, bukan series. Netflix kan udah sering nggarap film panjang.
Kalau produksi Hollywood cuma 2 itu. Paling tahun depan ada Alita: Battle Angel
Oalah kirain series, bolehlah ditunggu Death Note-nya.
Lumayan pada top cast-castnya, tentang cyborg lagi ya bang ? Semoga aja bisa lebih baik dari GITS.
Btw makasih bang buat infonya.
Sutradara Death Note si Adam Wingard (You're Next & Blair Witch), jadi menjanjikan. Alita ini yang meragukan, garapannya Robert Rodriguez yang akhir-akhir ini filmnya melempem.
Setelah nonton ini, satu kata yg terus terngiang-ngiang, "HAMBAR".
Entah kenapa konflik yg seharusnya rumit malah dibikin gampang, mengurangi keseruannya.
Mungkin ini tradisi Hollywood kalau adaptasi anime. Yg rumit dibikin simpel, yg mendalam diubah jadi dangkal.
Personally nggak masalah dengan kesederhanaan karena film bagus nggak harus njelimet. Tapi ya, GitS ini terlalu hambar. Menyederhanakan boleh, asal tetap menghibur, which is kurang berhasil dilakukan film ini.
Posting Komentar