FREE FIRE (2016)
Rasyidharry
Mei 06, 2017
Action
,
Amy Jump
,
Armie Hammer
,
Ben Wheatley
,
Brie Larson
,
Cillian Murphy
,
Comedy
,
Jack Reynor
,
Lumayan
,
Michael Smiley
,
REVIEW
,
Sharlto Copley
2 komentar
"Free Fire" to shootout is like Steven Spielberg's "Duel" to car chase. Keduanya sama-sama mengambil momen paling ditunggu dalam film aksi, kemudian mengembangkannya menjadi materi feature. Sutradara merangkap penulis naskah Ben Wheatley (Kill List, Sightseers, A Field in England) seolah berkata pada penonton, "Kalian suka baku tembak? Silahkan nikmati 90 menit parade desingan peluru". Pasca horor psikologis, horor psychedelic, komedi hitam, sampai satir dystopian drama, Free Fire makin memperkaya warna filmografi sang sineas asal Inggris.
Bertempat di sebuah gudang di Boston tahun 1978, filmnya mengisahkan dua anggota IRA (Irish Republican Army), Chris (Cillian Murphy) dan Frank (Michael Smiley) yang hendak membeli senjata dari Vernon (Sharlto Copley). Turut hadir pula Justine (Brie Larson) selaku penghubung dua belah pihak. Namun bahkan sejak dibuka oleh Ord (Armie Hammer) pertemuan ini sudah bermasalah ketika Vernon tidak membawa senjata sesuai pesanan. Konflik makin memanas akibat terungkapnya sebuah fakta, memecah baku tembak di antara mereka. Tidak ada pahlawan di sini, hanya dua kubu kriminal yang tak segan menumpahkan peluru.
Penggemar Quentin Tarantino dan karya-karya awal Guy Ritchie (Lock, Stock and Two Smoking Barrels, Snatch) akan terpuaskan oleh bagaimana Wheatley membangun intensitas di satu lokasi berisi tokoh-tokoh gila yang gemar bersumpah serapah dan bertingkah kasual sembari saling tembak bak sedang menikmati keseruan bermain bersama teman. Wheatley memang tidak berniat menjadikan Free Fire gelaran serius. Entah gaya deadpan Armie Hammer, kepiawaian Sharlto Copley memerankan tokoh bodoh, sikap histeris Brie Larson di beberapa kesempatan, maupun komedi hitam berupa barter peluru yang bagai menggantikan bahasa verbal pertengkaran karakter adegan Justine dan Harry (Jack Reynor) adalah contoh terbaik setia memancing tawa.
Naskah hasil tulisan Ben Wheatley bersama Amy Jump amat kaya dalam perbendaharaan kalimat, alhasil karakternya seperti memiliki ratusan cara guna mengungkapkan ejekan atau luapan perasaan. Walau sejatinya mayoritas karakter tampak homogen, tidak seberwarna kata-kata yang terlontar dari mulut mereka, tak jadi masalah sewaktu interaksinya konsisten menciptakan banter menarik.
Seperti telah disebut, Free Fire adalah usaha transformasi satu aspek film aksi (shootout) menjadi sorotan utama. Peristiwa yang umumnya berlangsung 10 sampai 15 menit diperpanjang berkali lipat, dan tak pelak memunculkan masalah terkait tensi. Pembukaannya efektif menanam benih konflik yang dieskalasi bertahap sebelum memuncak saat tembakan pertama meletus. Berikutnya, repetisi gagal dihindari, sebab Free Fire memang punya alur tipis yang disusun potongan-potongan situasi yang bisa menarik andai Wheatley menekankan pentingnya suatu tujuan, fokus di pergulatan untuk mencapainya. Tapi kecuali momen "berebut telepon", sederet usaha karakter (menggapai koper, bergegas menuju tempat perlindungan, dll.) tenggelam dalam baku tembak acak yang meski "berisik", minim variasi dan gaya.
Free Fire jelas mengasyikkan, namun kurang soal balutan ketegangan akibat ketiadaan "ancaman" pada shootout-nya. Karakternya kerap kena tembak, terpaksa susah payah menyeret tubuhnya ke sana kemari karena terluka, namun tak sampai meregang nyawa. Penonton pun akan santai saja mendapati seseorang tertembak, toh ia bakal baik-baik saja, setidaknya hingga 15 menit terakhir kala Wheatley mulai menggandakan skala, memakai cara lain selain lesatan liar peluru, serta menyelipkan adegan brutal nan menyakitkan. Andai second act-nya memiliki kegilaan serupa, niscaya Free Fire lebih menggigit. But this is still such a hillarious, chaotic yet fun "bang bang bang" parade.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Nonton dimana nih?
Udah tayang di bioskop dari Jumat minggu lalu lho
Posting Komentar