20TH CENTURY WOMEN (2016)
Rasyidharry
Agustus 01, 2017
Annette Bening
,
Billy Crudup
,
Comedy
,
Drama
,
Elle Fanning
,
Greta Gerwig
,
Lucas Jade Zumann
,
Mike Mills
,
REVIEW
,
Sangat Bagus
11 komentar
Manusia tumbuh, berkembang, terbentuk kepribadiannya, dengan mendapat pengaruh dari hal-hal berskala besar di sekitar. Pergerakan kultur populer, kondisi perekonomian, atau peperangan. Dan ketika semua bergeser, manusia pun turut serta, entah ikut berevolusi memunculkan kesesuaian, berusaha beradaptasi, atau justru dihantam gegar budaya. Namun ada pula hal personal, yang meski sekilas nampak mikro dibanding beragam peristiwa masif di atas, punya dampak tak kalah besar bagi hidup seseorang. Hal itu adalah orang-orang di sekitar kita; orang tua, saudara sahabat. 20th Century Women tidak lain memoir dari sutradara/penulis naskah Mike Mills mengenai wanita-wanita di masa lalunya.
Mengambil setting tahun 1979, kita diajak mengunjungi Dorothea Fields (Annette Bening) sebagai perwujudan ibunda Mills, janda yang tinggal bersama putera tunggalnya yang berusia 15 tahun, Jamie (Lucas Jade Zumann). Selain mereka, tinggal pula dua penyewa di rumah itu, fotografer berambut merah penderita kanker leher rahim bernama Abbie (Greta Gerwig) dan William (Billy Crudup) si tukang kayu sekaligus mekanik. Lalu ada Julie (Elle Fanning), teman Jamie sejak kecil yang kerap diam-diam memanjat scafolding untuk bermalam di kamarnya, adalah gadis remaja yang selalu berganti pasangan seks namun menolak berhubungan dengan Jamie. Menurut Julie, seks bakal menghancurkan persahabatan keduanya.
Serupa banyak hubungan ibu-anak (personally saya mengalami), Dorothea dan Jamie merasa asing terhadap satu sama lain. Berbagai daya upaya dilakukan Dorothea guna mendidik Jamie termasuk membawa banyak lelaki sebagai sosok ayah menggantikan sang suami. Tapi lambat laun ia justru semakin jauh, tak memahami sikap puteranya. Jamie sendiri, di fase remaja awal yang dikuasai teenage angst, menganggap tahu segalanya, bisa melakukan semuanya. Ketika Dorothea yang lahir di era Great Depression menggemari buaian nada Louis Armstrong, Jamie yang tumbuh di tahun 70-an memuja gebrakan punk yang tengah merajai skena musik dunia. Tercipta culture gap.
Demi menyambung jurang pemisah tersebut, Dorothea meminta bantuan Abbie dan Julie untuk membimbing Jamie. Tiga wanita beda usia mengelilingi Jamie membawa permasalahan personal berbeda pula. Mencuat pertanyaan "does it take a man to raise a man?". Melalui surat cinta kepada wanita-wanita tercinta ini, Mills tegas menjawab, "tidak". Cukup ungkapan kasih, apa pun caranya, siapa pun pemberinya, tanpa batasan gender. Penuh kasih pula Mills merangkai memoar ini, menghadirkan momen kaya rasa yang membentang dari kehangatan menyentuh hati sampai kejenakaan. Balutan humor bukan saja memancing tawa, pun seringkali penuh makna seperti kala Abbie mengajak mengucapkan "menstruation" bersamaan. Satu adegan itu merangkum seluruh tema dari bentrok budaya, feminisme, sampai topik utama soal pembelajaraan hidup seorang remaja.
Bicara tentang wanita berpengaruh tentu membutuhkan penampilan kuat aktris selaku pemerannya. Annette Bening memimpin jajaran cast, menghidupkan seorang ibu yang selalu berdiri tegak, terlihat mantap sikap pula pemikirannya. Namun di balik senyum penuh keyakinannya tersirat keraguan menguasai perasaan. Greta Gerwig masih mengandalkan pesona quirky energetic, kali ini ditambah semangat punk guna menambal kerapuhannya. Begitu juga Elle Fanning, si gadis berjiwa bebas yang bagai sanggup menaklukkan dunia. Ketiganya mengitari Jamie, membuat pertumbuhannya makin berwarna serupa spektrum berkilauan yang nampak setiap mobil karakternya melintas, bak gambaran betapa progresi hidup (senang atau sedih) tidak monochrome. Soal warna, kombinasi art direction dengan tata rias dan kostum turut menyegarkan mata. Saya langsung terpikat sejak rambut merah Abbie dan baju kuning milik Julie si pirang berbaur di rumah Dorothea yang punya dinding juga perabot beraneka warna.
Mills memastikan para wanita itu menetap di hati penonton. Sama seperti Jamie, ketiganya jadi sosok berharga yang seolah telah tinggal lama menemani keseharian kita, berujung menghasilkan penutup menyentuh yang menyinggung esensi hidup. Kita memperoleh dan kehilangan, orang-orang datang lalu pergi. Bahwa hidup senantiasa bergerak membawa perubahan kultur beserta individu di dalamnya, menghasilkan memori yang menjaganya tetap hidup. Dan 20th Century Women merupakan sajian langka yang bakal terus hidup di hati penontonnya dalam waktu lama.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
11 komentar :
Comment Page:Kapan nih review Baywatch?
Nggak tertarik nonton :D
Jgn gitu dong bang. Soalnya saudara angkat saya yg jadi pemeran utamanya
Review Baby Driver bang, mantav jiwa itu!
Hasselhoff? :D
Besok deh nunggu di bioskop 6 September
kehidupan wanita di amrik sono ya...
modern, bebas, cerdas, ditambah tanggung jawab mungkin...
Memang condong ke Amerika (masa itu, yang kuat mewakili pertemuan tiga generasi (Silent Generation, Baby boomers & X)
Gak ada alasan untuk menonton film baywatch kecuali Alexandra Dadario, hehehe...
buat gw ni film 9/10
suka bgt gaya sinematografinya..
trus film mike mills yg gw suka bgt juga, "Beginner"
Itu juga bagus, saling melengkapi. Kalau ini tentang ibu, Beginners ayah :)
Posting Komentar