T2 TRAINSPOTTING (2017)
Rasyidharry
September 20, 2017
Anjela Nedyalkova
,
Anthony Dod Mantle
,
Bagus
,
Comedy
,
Danny Boyle
,
Drama
,
European Film
,
Ewan McGregor
,
Ewen Bremmer
,
John Hodge
,
Jonny Lee Miller
,
REVIEW
,
Robert Carlyle
24 komentar
Dalam T2 alias Terminator 2: Judgment Day, T-800 kembali ke masa lalu kemudian diburu oleh T-1000 yang sadis. Sedangkan pada T2 Trainspotting, Mark Renton (Ewan McGregor dengan secuplik seringai yang sama) pulang ke kampung halaman, mengenang masa muda, sebelum dikejar oleh Francis Begbie (Robert Carlyle) si sosiopat yang hendak menuntut balas atas peristiwa 20 tahun lalu (ending Trainspotting) kala Mark membawa kabur 16.000 pound. Rujukan usil judulnya cukup menjelaskan cara sutradara Danny Boyle dan penulis naskah John Hodge menangani adaptasi lepas dari novel Porno dan Trainspotting karya Irvine Welsh ini, yang serupa film pertama, mau bersenang-senang, menggila di antara kelamnya cerita.
Apabila Darren Aronofsky melalui Requiem for A Dream menekankan tragedi depresif akibat adiksi narkoba, Boyle dan Hodge, tanpa melupakan dampak buruknya, menempatkan tokoh-tokohnya selaku pecandu heroin sebagai bagian hegemoni Brit culture, khususnya di lingkup pemuda kelas pekerja. Sikap semaunya, penyalahgunaan obat, adalah keliaran yang dipuja, sebagaimana idola mereka (Iggy Pop, Pulp, Blur) yang senantiasa didengarkan karyanya dan saat itu menguasai musik dunia. Tapi itu 2 dekade lalu. Jatuhnya gerakan Britpop menandai perubahan jaman. Bagi yang enggan mengikuti perubahan bakal tertinggal, tenggelam, atau seperti ungkapan Simon (Jonny Lee Miller yang semakin karismatik), "A tourist in his/her own youth".
Mark adalah turis masa mudanya, pulang ke Edinburgh pasca menjalani hidup "normal" di Amsterdam, yang nyatanya gagal berjalan lancar. Simon bersama kekasihnya, gadis Bulgaria bernama Veronika (Anjela Nedyalkova) mencari uang dengan pemerasan. Spud (Ewen Bremmer sempurna mencampur keanehan dan kemurnian hati tokohnya) masih terjebak adiksi, menjauhkannya dari sang putera. Sedangkan Franco baru saja kabur dari penjara 5 tahun sebelum masa hukuman (25 tahun) berakhir. Singkat cerita, kuartet ini belum berubah. Kesamaan yang langsung Boyle tegaskan melalui penggunaan Lust for Life milik Iggy Pop di opening layaknya pembukaan film pertama. T2 tak sekedar langsung menghentak, tapi menghentak dengan rasa sekaligus energi yang penggemar Trainspotting kenal baik.
Walau diawali saling pukul akibat pengkhianatan Mark 20 tahun lalu, reuni Simon dengannya (kemudian Spud) berujung tawaran bisnis membuka rumah pelacuran berkedok sauna. Kebutuhan akan modal besar tentu memaksa ketiganya melakukan tindak kriminal demi menghimpun uang. Jika dahulu semata disulut ambisi dan gejolak masa muda, penyebab para protagonis bersedia terjun lagi ke dunia hitam kini amat beralasan. Rasa bersalah ditambah kejatuhan ke titik nadir mendorong Mark, pun Spud yang ingin meninggalkan candu agar bisa akur dengan mantan kekasih pula anaknya. Simon awalnya hendak membalas perbuatan Mark, namun seiring pertemanan yang kembali terjalin niat itu perlahan bak memudar.
Walau "pendewasaan" rasanya bukan istilah tepat, kuartet Edinburgh kita tak lagi seliar dahulu. Sesekali heroin masih mengalir di pembuluh darah, tapi kecuali Spud, itu sekedar atas nama nostalgia. Bagai fosil yang sudah habis masanya, kejahatan dilakukan sebagai usaha nekat cenderung putus asa agar bertahan hidup atau penebusan kesalahan demi menjalin kasih yang putus. Hal kedua merupakan tema besar T2 Trainspotting. Bukan Mark seorang, bahkan Franco yang berkat penampilan meyakinkan Carlyle menjalarkan rasa ngeri pada tiap kemunculan pun bergejolak hatinya mendapati si putera tunggal enggan meneruskan jalan kekerasan miliknya, memilih menempuh pendidikan manajemen hotel.
Melalui sekuelnya, Trainspotting tidak lagi berusaha menciptakan kontroversi, selaras dengan gaya Boyle yang meski bersama sinematografi Anthony Dod Mantle tetap menghadirkan momen sureal plus kesan disorientasi lewat pemakaian dutch angle, bayangan, gerak kamera dinamis, atau warna-warni neon, urung menyertakan keanehan macam "the worst toilet in Scotland" atau "bayi merayap". Juga konklusi yang memilih fokus pada rekonsiliasi berbasis nilai moral. Toh T2 Trainspotting masih familiar, entah karena banyak referensi film pertama, cameo, lagu-lagu, maupun keseluruhan semangatnya. Adanya perbedaan merupakan bagian proses perkembangan natural yang wajar, bahkan layak diterima karakternya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
24 komentar :
Comment Page:Minta review film TURAH gan katanya film indo yg masuk nominasi Oscar best foreign
Cari di search box blog aja, udah ada kok dari akhir 2016 :)
Mas kapan review american assassins?
Mas kapan review american assassins?
kapan review film jadul lagi bang??
Ditunggu review film pengabdi setan hehe
Lewat, khusus bulan ini lagi selektif, bulan depan gila-gilaan lagi :D
Wah kalau film jadul sudah nggak sempat ditulis lagi sayangnya
Sip! :)
Gerbang Neraka ada rencana direview gak Bang :-)
Yg gak bakalan gue lupain di film pertamanya: "the worst toilet in Scotland"
Ada alasan khusus kenapa dilewat mas?
Kira kira kapan nih bang reviewnya? Udah ga sabar hehe
judul filmnya bikin penasaran, bingung n blank jadi satu..
Antara masuk daftar nonton atau skip..
abis baca review di atas, saya niatkan lagi menontonnya..
Simply karena dibanding film lainnya itu yang paling terlihat biasa :)
Ada dong, baru nonton sore nanti
Boyle kayaknya demen banget bikin karakternya mandi tai :D
Kalau sudah nonton film pertama, T2 jelas wajib tonton :)
Kamis malam atau Jumat pagi minggu depan sudah ada :)
Wih ngga sabar. Sebenernya saya udah nonton sih. Tapi penasaran sama reviewnya bang rasyid sama atau engga sama saya hehe
Jokan belum pernah mengecewakan, jadi optimis :)
Berarti ttp nonton ya mas?
Oh nggak, kalau film baru yang ditonton pasti ditulis
Choose life
Posting Komentar