THEIR FINEST (2016)
Rasyidharry
September 15, 2017
Bill Nighy
,
Drama
,
Gaby Chappe
,
Gemma Arterton
,
Jack Huston
,
Lone Scherfig
,
Paul Ritter
,
Rachel Portman
,
REVIEW
,
Sam Claflin
,
Sangat Bagus
4 komentar
Mungkin beberapa dari anda ingat sedikit perdebatan pada ulasan untuk Dunkirk-nya Nolan. Apabila perspektif saya susah diterima atau dimengerti, simak Their Finest. Bukan demi membandingkan kedua film (dua wujud yang sama sekali berbeda), melainkan soal bagaimana mengangkat potensi inti suatu peristiwa penting sebagai karya sinematik yang relevan bagi masanya. Melalui proses Catrin Cole (Gemma Arterton) menulis naskah berbasis kisah nyata perjuangan dua saudari mengarungi samudera demi menyelamatkan para pasukan di Dunkirk, kita diajak memahami bahwa otentitas bukan berarti membatasi emosi pun melucuti optimisme.
Di tengah Perang Dunia II, kementrian informasi divisi film Inggris berencana membuat film yang mencerminkan kenyataan tanpa mengesampingkan optimisme. Tujuannya adalah membangkitkan nasionalisme didasari harapan. Atas rekomendasi Tom Buckley (Sam Claflin), Catrin bergabung bersamanya di tim penulis naskah dengan tugas mewakili suara wanita pada kisah evakuasi Dunkirk. Di samping pekerjaan itu, Catrin turut menghadapi masalah berwujud Ellis (Jack Huston), sang suami yang dihantam kegagalan sebagai pelukis pasca tak lagi terjun ke medan perang akibat cedera kala Perang Sipil Spanyol.
Diangkat dari novel Their Finest Hour and a Half karya novelis wanita, Lissa Evans oleh Gaby Chappe, penulis naskah yang juga seorang wanita, tidak heran gesekan toxic masculinity melawan feminisme kental terasa. Begitu istrinya memperoleh pendapatan lewat menulis naskah sedang Ellis belum mendapatkan pameran, ia menyarankan Catrin pulang ke Wales agar aman dari serangan bom. Tapi jelas, alasan sesungguhnya yakni enggan menerima kenyataan "kalah" secara ekonomi dari Catrin. Bukan cuma Catrin, banyak tokoh wanita Their Finest digambarkan punya kekuatan masing-masing, kerap datang menyelamatkan situasi saat para pria tidak ada, tidak mampu, maupun menjadi pihak yang butuh diselamatkan, sebutlah Ambrose Hilliard (Bill Nighy), aktor senior keras kepala yang mulai redup masa jayanya.
Di samping feminisme, Their Finest merupakan surat cinta bagi medium film. Penonton disuguhi sihir sinema, mulai di fase penulisan naskah ketika Catrin, Tom, dan Raymond (Paul Ritter) terlibat diskusi panas menyusun cerita, hingga tahap produksi yang memamerkan trik lama guna memanipulasi kemunculan ratusan ribu prajurit di Dunkirk. Dua contoh adegan ini menggambarkan keajaiban transfer ide ke karya tulis, lalu menghidupkannya di gambar bergerak. Sutradara Lone Scherfig (An Education, One Day) nyata menyimpan kecintaan kuat terhadap film, terlihat dari pengadeganan yang bagai curahan rasa ketimbang semata visualisasi kalimat di atas kertas. Sedangkan kalimat di atas kertas bernama naskah digambarkan selaku testamen personal, susunan beragam memori yang disatukan sedemikian indah.
Film adalah banyak bentuk: hiburan, cermin realita, pengantar pesan, dan lain-lain. Scherfig dan Chappe membawa Their Finest sebagai, dan berisi mengenai film dalam wujud tertinggi, yaitu gabungan segala bentuk tadi. Sebuah olahan emosi (bahagia, sedih) yang memiliki nilai hiburan, memunculkan kekaguman penonton kala menyaksikan imaji yang mengalahkan kemustahilan di layar, sembari tetap berpijak pada realita penjaga relevansi. Terangkum dalam ucapan Tom bahwa "films are like life with the boring bits cut out". Esensi awal film sebagai tempat kreasi tanpa batas menyatu bersama emosi jadi acuan filmnya, yang turut dituangkan Rachel Portman lewat kemegahan orkestra gubahannya.
Satu-satunya lubang Their Finest terjadi ketika sebuah peristiwa menyentak jelang akhir yang terkesan memaksakan dramatisasi. Toh dampak emosinya kuat, tersalurkan berkat sensitivitas, baik dalam pengarahan Scherfig maupun penampilan jajaran pemain. Tatkala Bill Nighy adalah tipikal "grumpy old man" yang kadang menggelitik namun senantiasa mencengkeram sewaktu menangani momen drama secara lembut tapi menusuk, Gemma Arterton masih penggerak utama. Mata, tutur kata, sampai bahasa tubuhnya mengajarkan poin penting terkait menunjukkan kekuatan dan melancarkan protes yang tak melulu bersinonim dengan hujatan keras, di mana ketepatan, kecerdasan, dan kecerdikan bersikap merupakan bukti tak terbantahkan. Aliran air matanya menjelang penutup bakal menyulitkan penonton membendung haru.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:Gemma disini udah terlihat mature bgt..
Contoh orang yang makin bertambah usia, makin matang, makin cantik :D
Maap nih, tapi ane sama sekali kurang sreg sama period drama khas Inggris yg diatas tahun 2014. Pakemnya sama. Aura brit nya sama. Musik klasik dimana mana. Mulai agak jenuh juga sih. Macem A united kingdom sama Suffragette. Period drama yg ane suka cuman King Speech, Sense and Sensibility sama Atonement. :3
Oh,saya malah kurang suka period drama mau bikinan mana dan era kapan. Nggak cocok sama mannerism-nya. Their Finest suka karena fokus love letter ke film :)
Posting Komentar