THE LITTLE HOURS / THE TRANSFIGURATION / THE VILLAINESS

10 komentar
The Little Hours, selaku film pertama adalah adaptasi The Decameron, novella dari abad 14 karya penulis asal Italia, Giovanni Boccaccio. Terdiri dari 100 cerita pendek yang dituturkan tokoh-tokohnya selama 10 hari, sutradara sekaligus penulis naskah Jeff Baena mengangkat dua kisah pertama di hari ketiga. Selanjutnya ada The Transfiguration, drama gelap yang mengaitkan kesulitan karakternya menjalani kehidupan sosial dengan cerita vampir ala Nosferatu, sembari memindahkan konteks dongeng vampir dari lingkup kultural kulit putih menuju kulit hitam. Terakhir adalah The Villainess yang pada Festival Film Cannes 2017 mendapat empat menit standing ovation.
The Little Hours (2017)
Film dengan Aubrey Plaza memerankan suster di biara terpencil tentu takkan berlangsung normal. Nyatanya, suster di sana memang unik, kalau bukan nakal. Fernanda (Aubrey Plaza) yang galak kerap berbohong agar bisa kabur di pagi hari, Ginevra (Kate Micucci) gemar bergosip, dan Alessandra (Alison Brie) berharap dapat pergi demi memperbaiki hidup. Mengolok-olok tukang kebun, meludahi, bahkan memukulinya jadi rutinitas mereka. Baena menggambarkan para "pelayan Tuhan" sebagai manusia dengan hasrat terpendam, termasuk si pendeta, Tommasso (John C. Reilly) yang doyan mabuk. Meski provokatif pula erotis, Baena mengedepankan komedi yang seluruhnya didasari improvisasi mumpuni jajaran cast, khususnya Plaza lewat deadpan khasnya yang di sini condong pada sikap kasar ketimbang canggung. Bangunan dunianya menarik, dengan akurasi setting abad pertengahan namun dialog plus perilaku tokohnya modern. Kegilaan berlipat begitu Massetto (Dave Franco), pelayan yang kabur setelah berselingkuh dengan istri majikannya, memasuki sentral cerita. Seiring konflik meninggi dan kejutan merangsek, Baena keteteran menyusun tone, meninggalkan kebingungan, apakah harus tertawa, tercengang, atau terjerat oleh drama tentang represi nafsu duniawi manusia. Namun tak menghalangi The Little Hours memberi 90 menit keliaran padat nan menyenangkan. (3.5/5)

The Transfiguration (2016)
Milo (Eric Ruffin) menganggap Nosferatu yang buruk rupa, hidup terasing di kegelapan lebih realistis daripada ketampanan serta tubuh berkilau Edward Cullen. Bagi Milo, istilah "realistis" bisa diterapkan sebab vampir konvensional mencerminkan dirinya yang terasing, punya kepercayaan diri rendah, korban bully, dan ingin menjadi karnivora puncak rantai makanan, di mana Milo berburu di malam hari, menghisap darah sekaligus merampas uang korban. Demikian film ini cerdik membangun metafora lewat naskah Michael O'Shea (juga sutradara). O'Shea memaparkan dampak kesulitan sosialisasi remaja yang memancing krisis identitas, sehingga coping terhadap sosok idola pun dipakai mencari jati diri. Tapi bukan selebritis atau figur pahlawan yang Milo puja, melainkan vampir. Pertemuan Milo dengan Sophie (Chloe Levine) yang juga teralienasi tanpa disadari menariknya dari lubang persembunyian. Ibarat vampir menemukan penawar atau manusia yang mendapatkan arti. Sebagai horor, The Transfiguration menyajikan beberapa pemandangan menjijikkan, walau dalam kuantitas terbatas. Tempo lambat ditambah alur tipis ketika sedang tak bermain analogi bisa menjauhkan penonton umum, tapi sungguh observasi mendalam untuk problematika sosial kelam, termasuk tendensi bunuh diri. (3.5/5)

The Villainess (2017)
Penonton tak lagi menghendaki film laga generik berisi pamer otot si pahlawan dan peluru yang asal dimuntahkan sebanyak mungkin. Diawali dwilogi The Raid, Hollywood menjawab lewat John Wick, dan kini Korea Selatan punya jagoan sendiri. Langsung menggebrak lewat sekuen panjang yang bagai tanpa cut selama enam menit (empat menit sudut pandang orang pertama, dua menit orang ketiga), The Villainess merupakan ambisi Jung Byung-gil menjauhi keklisean. Long take dan gerak kamera yang sekilas semrawut tapi terencana membungkus hampir semua adegan aksi. Alurnya mengetengahkan kehidupan Sok-hee (Kim Ok-bin) yang sejak kecil dilatih sebagai mesin pembunuh dan sekarang menjalankan misi untuk intelijen Korea Selatan. Guna menceritakan masa lalu kelam Sok-hee, flashback kerap dipakai, yang mana menyimpan banyak rahasia, acap kali muncul mendadak, bahkan sempat hadir flashback dalam flashback, membuktikan ambisi Byung-gil tampil beda dan bergaya. Kurang substansif sekaligus berisiko membingungkan, sang sutradara mampu meminimalkan kekacauan sehingga tatanan alur tetap setia dalam jalur. Sempat pula diselipkan sekilas momen manis di bawah guyuran hujan yang berguna mengikat hati penonton, memudahkan kita berpihak pada protagonis. Ok-bin berada di jajaran atas tokoh wanita perkasa, membantai puluhan lawan seorang diri, termasuk di kegilaan klimaks kala laju kencang bus tidak kuasa menahan aksinya. (4/5) 

10 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Sip min langsung masuk list yg mau di tonton.

Icha Hairunnisa mengatakan...

Baru nonton yang The Little Hours. Aubrey Plaza sinting hahahaha. Tapi menurutku yang paling mencuri perhatian itu si Alison Brie. Endingnya menurutku kurang memuaskan :(

Btw, Bang Rasyid paling suka film yang ada Aubrey Plazanya yang The Little Hours, Ingrid Goes West, atau Safety Not Guaranteed? Pengen tau aja sih hehehehe.

KieHaeri mengatakan...

baru selesai download nih Mas Rasyid rencana nanti malam di tonton buat teman begadang hehe. Oh ya mas ada rencana untuk nonton film Loving Vincent? Terobosan baru sebuah genre animasi dengan gaya lukisan

Rasyidharry mengatakan...

@Icha Belum nonton Ingrid, tapi suka banget Safety, paling memfasilitasi gayanya Aubrey. Tapi lebih ngakak nonton interview dia di talk show sih haha

@Ungki Loh udah ada sub-nya? Film sih udah di tangan

KieHaeri mengatakan...

Belum nih mas hehe baru ada subtitle bahasa Arab hehe, saya belum cek subscene tadi

Rasyidharry mengatakan...

Nanti deh nunggu sub English. Lha dengerin Bahasa Indonesia aja masih belepotan apalagi Inggris :D

k3pui mengatakan...

Tiga2 nya ud ada di tangan tapi blom sempat nonton, liat review ini yg bakalan pindah ke top list nonton sih kykna si villainess, oya film korea A Day (2017) wajib nonton , dah ada sub indo nya, genre thriller ala groundhog day, tapi ini punya arti yg lbh mendalam , must watch lah

aryo mengatakan...

Barusan nonton villaines... seharusnya tidak terlalu membingungkan sih. Cuman gw bingung, bukan karna alurnya yg sering flashback, tapi lebih karena gw susah ngidentifikasi wajah2 pemainnya. Haha. Orang yg sama sering gw gak ngeh. Tapi ada juga sih plot yg gw masih pertanyakan. Boleh dibahas di sini nggak ya? Takut spoiler...

aryo mengatakan...

Yg jelas gw feel sorry banget buat sok hee... ga tega liat perempuan dimainin perasaannya kaya gitu. Haha... setangguh apapun, tetep dari sisi itunya feminimnya dapet banget. Bravo.

Rasyidharry mengatakan...

Haha damn, nggak bermaksud rasis, but that was my problem too.
Itulah, makanya puas banget lihat dia hajar orang-orang itu.
Boleh kok, kasih aja SPOILER ALERT :)