A LETTER TO THE PRESIDENT (2017)
Rasyidharry
Desember 05, 2017
Abdul Qader Aryaee
,
Asad-Ullah Tajzai
,
Aziz Deldar
,
Drama
,
Leena Alam
,
Mahmood Rub
,
Mammnon Maghsodi
,
REVIEW
,
Roya Sadat
,
Sangat Bagus
6 komentar
Selain mewakili Afganistan dalam ajang Academy Awards tahun depan, A Letter to the President mengundang perhatian sebagai film karya sutradara wanita pertama pasca berakhirnya rezim Taliban, Roya Sadat. Mendirikan perusahaan Roya Film House di ruang bawah tanah apartemen, menjalani pengambilan gambar selama 40 hari secara sembunyi-sembunyi sambil mengurus bayinya, menanggung biaya produksi sendiri dengan menjual kendaraan, apartemen, juga perhiasan. Perjuangan berat itu terbayar lunas tatkala sekitar 60 orang penonton lokal kompak bertepuk tangan merespon adegan terbaik filmnya.
Respon itu mengejutkan Roya, mengingat A Letter to the President berani menggoncang patriarki yang turun temurun diberlakukan di Afganistan berdasarkan interpretasi semau sendiri terhadap hukum Islam. Sesuai judulnya, tokoh utama film ini, Soraya (Leena Alam) mengirim surat untuk Presiden Afganistan (Mammnon Maghsodi), mengharapkan bantuan setelah dirinya divonis mati oleh pengadilan. Lalu kisahnya kembali ke belakang, mengungkap kejahatan yang dituduhkan ke Soraya yang berprofesi sebagai kepala divisi penegakan kriminal di Kabul.
A Letter to the President menunjukkan mengapa film pengusung feminisme sebaiknya ditangani pula oleh wanita. Roya melahirkan sosok Soraya yang kokoh, pantang mundur sekaligus berani melawan tekanan pria yang merasa maskulinitas serta harga diri mereka tercoreng. Diawali keputusannya enggan menyerahkan wanita pelaku zina pada tetua setempat guna diadili, Soraya membuat Komandan Essmat (Abdul Qader Aryaee) selaku anggota Taliban penguasa Kabul, mertuanya (Asad-Ullah Tajzai) yang seorang gangster, dan suaminya, Karim (Mahmood Rub), kebakaran jenggot.
Kecuali bagi kaum seksis, sejam pertama A Letter to the President begitu mengobrak-abrik emosi. Pekerjaan Soraya yang memaksanya kerap pulang malam dipandang aib keluarga, sementara Karim terhina akibat sang ayah menganggapnya laki-laki tak berguna yang gagal mengatur istri. Ketidakadilan plus kemunafikan sistem patriarki berkedok syariah mencapai puncaknya sewaktu Karim bebas mabuk-mabukan sampai larut, bahkan menenggak alkohol di depan anak-anaknya. Sebaliknya, saat mendengar kabar Soraya menyentuh minuman keras di suatu pesta yang belum tentu faktual, Karim naik darah, mencap Soraya wanita amoral, menodongkan pistol di kepala istrinya.
Tindakan sewenang-wenang pria adalah racun di sini, termasuk yang tidak disadari, seperti saat kebodohan Behzad (Aziz Deldar) si fotografer memberi dampak paling destruktif bagi Soraya. Tapi Soraya menolak hancur. Disokong kilatan mata Leena Alam yang tak pernah redup seberat apapun cobaan mendera. Soraya melangkah mantap, menghadiahi kita salah satu adegan paling powerful dalam sejarah sinema feminis berupa tamparan telak di wajah penindas hak wanita. Tidak hanya 60 penonton Afganistan saja yang bertepuk tangan, saya pun sontak melakukan hal serupa.
Babak akhir A Letter to the President, ketika fokus berpindah menuju investigasi Behzad, lebih banyak menyoroti para pria ketimbang Soraya, yang notabene merupakan tempat nyawa filmnya bersemayam. Beberapa pengadeganan terkesan menyeret, tidak begitu solid membangun suasana "berpacu dengan waktu", berujung melemahkan intensitas pula konklusi yang mestinya membuat kita tersentak. Untungnya, kekurangan tersebut urung menahan laju A Letter to the President menyeruak di jajaran film terbaik sekaligus terpenting tahun ini.
Note: Diputar dalam rangkaian Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
6 komentar :
Comment Page:Kira2 film sperti imi bakal rilis secara luas gak ya...apa harus nunggu situs donlot an nya.
Indonesia malah sedang menuju ke arah pemahaman nilai-nilai seperti ini. Sungguh ironis.
@Redo Pastinya nggak akan tayang di bioskop Indonesia
@Anonim Di sini pemakluman ke patriarki terjadi sejak dulu, bedanya, tanpa menerapkan syariat Islam.
Kalau event film kayak gini di jakarta apa ya , dan biasanya dimana.kapan ?
Bentuk festival sih nggak ada, cuma JAFF Jogja & Balinale. Tapi kalau screening film alternatif sering ada di Radiant Cinema, Kineforum, Kinesaurus
Thanks mas, padahal kemaren saya ke tim nnton marlina ngak tau kalau di kineforum lagi tayang selamat pagi malam ,padahal pengen banget nnton film itu
Posting Komentar