REVIEW - LEGENDA KELAM MALIN KUNDANG
Terkadang dalam misteri, enigma dan ketidaktahuan justru lebih mengikat ketimbang saat kebenaran telah nampak benderang. Itulah mengapa paruh pertama Legenda Kelam Malin Kundang bergulir begitu adiktif, sedangkan paruh keduanya bak sebatas obligasi yang mesti penonton ikuti. Mungkin serupa dengan perasaan waktu kita tetap bertahan di atas kereta hanya karena belum tiba di tujuan, alih-alih sungguhan menikmati perjalanannya.
Kisahnya efektif mengundang keingintahuan, ketika sebagaimana Alif (Rio Dewanto), si pelukis mikro yang menderita amnesia pasca kecelakaan mobil, penonton dibiarkan berkutat dalam ketidakpastian. Alif melupakan banyak hal, dari alasan sang istri, Nadine (Faradina Mufti), terasa menjaga jarak, hingga fakta lebih mendasar seperti wajah sang ibu di kampung.
Komposisi musik gubahan Yudhi Arfani dan Zeke Khaseli dibiarkan terus menggumamkan bunyi-bunyian eksentrik, menciptakan rasa atmosferik ala mimpi buruk, yang sedikit mengingatkan pada bagaimana David Lynch menyusun nuansa karyanya. Adegan pembuka dan beberapa arah pengembangan kisahnya pun menciptakan komparasi dengan Lost Highway, salah satu judul favorit Joko Anwar selaku penulis naskah (bersama Aline Djayasukmana dan Rafki Hidayat), editor, sekaligus produser film ini.
Anomali membesar sejak kedatangan perempuan (Vonny Anggraini lewat salah satu pameran versatilitas terbaik sepanjang karirnya) yang mengaku sebagai Amak dari Alif. Identitasnya tak mampu dikonfirmasi, namun si perempuan tahu segala detail masa lalu Alif, termasuk asal dari luka di dahinya. Naskahnya membentangkan proses penyelidikan yang manjur menjerat atensi, berkat ketepatan mengatur timing antara melempar tanda tanya dan menebar remah-remah petunjuk secara bertahap.
Pengarahan Rafki Hidayat dan Kevin Rahardjo dalam debut mereka pun cukup rapi menangani jalinan misteri yang digulirkan dengan sabar, meski metode keduanya dalam mengeksekusi jumpscare (yang jadi taktik generik naskahnya untuk berkompromi dengan penonton kasual) belum seberapa efektif menggenjot intensitas.
Selain problematika maternal, gesekan rumah tangga Alif dan Nadine turut jadi sorotan. Di sinilah Legenda Malin Kundang mengambil jalan yang enggan ditempuh film Indonesia lain, yakni memposisikan seks sebagai media bagi pasangan meruntuhkan pertengkaran mereka. Seksualitas yang cenderung ditabukan oleh karya lokal arus utama, bukan semata dipandang selaku luapan nafsu, melainkan alat komunikasi cinta.
Di bilik kamar mandi, Alif dan Nadine menelanjangi tubuh serta perasaan masing-masing, sebelum dipungkasi oleh elemen favorit saya dalam tiap naskah buatan Joko: Obrolan. Joko selalu bisa memberi sentuhan menggelitik pada aktivitas karakternya bertukar kata, membuatnya hidup sebagai salah satu menu lezat, daripada sebatas pengisi durasi yang hambar.
Sayang, begitu memasuki fase "menjawab misteri", filmnya beralih bentuk menjadi kompilasi eksposisi. Penonton hanya dibiarkan duduk menanti, sementara pembuat filmnya sibuk sendiri mengungkap satu per satu fakta menggunakan strategi monoton berupa penglihatan yang silih berganti protagonisnya alami.
Faktor kejut (yang rasanya sudah semua penonton nantikan hingga eksistensi twist itu sendiri kehilangan daya kecohnya) di paruh akhir pun tak mendatangkan dampak maksimal, sebab Joko seolah cuma berfokus pada ambisinya menggiring legenda Malin Kundang ke arah sekelam mungkin.
Tapi jika ditilik lebih lanjut, Legenda Malin Kundang tetaplah upaya kreatif mendekonstruksi cerita rakyat menuju bentuk yang lebih relevan. Dia bukan lagi hikayat sarat pesan moral konservatif tentang anak durhaka, tapi pergumulan batin individu yang kesulitan beranjak dari luka lama.
Merantau bukan lagi sekadar perjalanan meninggalkan kampung halaman, juga masa lalu yang terkadang ingin kita habisi akibat rasa sakit dan malu, namun ada kalanya memunculkan rindu sehingga menyulut dilema penuh pilu. Bukan tubuh dari si Malin Kundang modern ini yang membatu, melainkan hatinya yang dipadati rahasia. Mungkin bagi orang-orang seperti Alif, hal tersulit bukanlah menghadapi masa kini, tapi gema yang diperdengarkan masa lalu.

%20(1).png)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar