THE KILLING OF A SACRED DEER / BRIGSBY BEAR / CAPTAIN UNDERPANTS: THE FIRST EPIC MOVIE
Rasyidharry
Desember 18, 2017
Animated
,
Bagus
,
Barry Keoghan
,
Colin Farrell
,
Comedy
,
DaveMcCary
,
David Soren
,
Drama
,
Ed Helms
,
horror
,
Jordan Peele
,
Kevin Hart
,
Kyle Mooney
,
Mark Hamill
,
Nick Kroll
,
REVIEW
,
Thomas Middleditch
,
Yorgos Lanthimos
8 komentar
Saat saya merasa 2017 tidak bisa lebih gila pasca menyaksikan Mother!, The Killing of a Sacred Deer yang membawa Yorgos Lanthimos dan Efthymis Filippou memenangkan naskah terbaik di gelaran Festival Film Cannes akhir Mei lalu justru mampu lebih menghantam jiwa daripada karya Darren Aronofsky tersebut. Sebaliknya, Brigsby Bear buatan DaveMcCary menghangatkan jiwa lewat aura positif yang dimiliki, begitu pula Captain Underpants: The First Epic Movie selaku adaptasi dari buku cerita anak Captain Underpants yang imajinatif.
Dalam naskah pertunjukan Iphigenia in Aulis yang dipentaskan pada 405 SM, Agamemmon, pemimpin koalisi Yunani, tidak sengaja membunuh rusa suci milik Artemis. Sebagai balasan, Artemis mengirim badai, memaksa Agamemmon mengorbankan puterinya, Iphigenia, agar badai itu berhenti. Dalam The Killing of a Sacred Deer, keluarga ahli bedah bernama Steven (Colin Farrell) lumpuh dan bakal mati mengenaskan kecuali ia bersedia membunuh satu dari mereka. Kelalaian saat operasi yang mengakibatkan kematian pasien jadi penyebab "kutukan". Martin (Barry Keoghan sebagai tokoh paling mengerikan tahun ini), putera si pasien, mewakili peran Artemis. Seperti biasa, karakter ciptaan Lanthimos bicara dalam nada datar, membangun suasana yang tambah mengerikan seiring tirai cerita tersingkap. Belum lagi ditambah iringan musik menyayat. Metode itu turut berfungsi memaparkan soal "topeng". Semanis apapun lip service diucapkan karakternya, tiada ekspresi tampak. Sebaliknya, mereka bernyawa kala meluapkan kejujuran, walau teramat buruk dan kejam. Di tangan Lanthimos, konflik batin mendorong kesan hilangnya kemanusiaan baik secara fisik maupun mental, menghasilkan setumpuk pemandangan tidak nyaman. Ironisnya, justru saat itu wajah asli manusia terungkap. (4/5)
Brigsby Bear bicara mengenai dampak budaya populer, bahkan menyertakan Mark Hamill selaku ikon geekdom dalam penampilan singkat yang membuat para penggemar berharap ia lebih banyak memamerkan talenta voice acting-nya. Protagonisnya adalah James (Kyle Mooney), seorang geek yang terobsesi pada program anak tentang beruang pahlawan semesta berjudul Brigsby Bear Adventures. Beda dengan Napoleon Dynamite misalnya, Mooney yang turut menulis naskah bersama Kevin Costello menciptakan sosok geek yang "toleran", mau beradaptasi, menyentuh hal di luar obsesinya, bersedia terlibat interaksi sosial, sehingga mudah disukai. Geekiness dalam Brigsby Bear bukan sikap alienasi, melainkan kepolosan. Ada twist di awal yang takkan saya ungkap, intinya James mendapati acara favoritnya berhenti diproduksi, lalu memutuskan membuatnya sendiri. Lubang terkait logika maupun isu psikologis bertebaran seiring proses James melahirkan mahakarya, namun termaafkan berkat usungan semangat positifnya. Berpesan soal berdamai dengan masa lalu untuk memulai awal baru, iringan piano manis gubahan David Wingo melengkapi kehangatan tutur filmnya. (4/5)
"Normal" bukan kata yang cocok diharapkan dari adaptasi novel anak yang memiliki judul-judul seperti The Sensational Saga of Sir Stinks-A-Lot atau The Attack of the Talking Toilets. Itu sebabnya tak perlu kita memusingkan bagaimana mainan hadiah sereal bisa membuat dua bocah usil, George (Kevin Hart) dan Harold (Thomas Middleditch), menghipnotis kepala sekolah mereka yang galak, Mr. Krupp (Ed Helms), menjadi Captain Underpants, pahlawan super dari komik buatan keduanya. Tapi, jangankan kekuatan super, Captain Underpants tidak punya kostum kecuali celana dalam dan jubah berbahan dasar gorden. Professor Poopypants (Nick Kroll), dengan rencana menghapus tawa adalah sang penjahat, pun Melvin (Jordan Peele) si kutu buku penjilat tanpa selera humor. Tapi musuh sejati filmnya adalah kekakuan pengekang hak anak-anak bersenang-senang. Perlawanan penuh kreativitas hadir kala sutradara David Soren mendobrak pola normatif, mencampur aduk gaya animasi (komik strip, muppet, sampai flip-o-rama) sebagaimana Harold gemar seenaknya menyertakan lumba-lumba dalam komik. Amat kaya visualnya, sukar dipercaya film ini merupakan animasi komputer produksi DreamWorks dengan bujet terendah ($38 juta). Captain Underpants: The First Epic Movie dengan dominasi fart jokes dan celana dalam titular character-nya jelas tak sebodoh tampak luarnya. (4/5)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:Yorgos Lanthimos adala filsuf abad 21 yg menjelma sineas, atau mungkin sebaliknya wkwkwk. Pertanyaannya adalah kenapa reviewnya kudu digabung bang? padahal gue ngarepnya review yg otonom lho, hehe
Kayak yang udah dijelasin di short review pertama, khusus buat film yang nggak tayang di bioskop/festival sini, review bakal digabung. Udah nggak punya cukup waktu & tenaga hehe.
dulu pas SD baca komiknya kapten kolor di perpus daerah, dan sangat menghibur, sepertinya wajib nonton juga versi gambar geraknya
Saya sebaliknya, begitu nonton jadi pengen baca :D
Kapten Cawet.. dari judul nya sudah tergiur utk menonton nya..
Ane nonton captain underpants ngakak2...enak alur ceritanya ditambah animasinya menyenangkn mata karna cerah...
Ttg film sacred deer, ane udah nonton bang setelah liat review abang, namun saya agak bingung maksud film ini apa? Soalnya agak ironis ketika karakter2 yg begitu berkutat dengan dunia "eksak" / "science" / "rasional" lalu dihadapkan dengan konflik yg berbau irasional / sulranatural... Mungkin abang mau jelasin bang... Makasih bang sebelumnya
Buat penjelasan paling lengkap, buka aja halaman Wikipedia film ini, terus buka link ke mitologi Yunani yang jadi sumber adaptasinya. Soal tubrukan antara rasional/irasional emang sering jadi ciri Yorgos sih
Posting Komentar